Hasil Riset, 5 Persen Siswa SMAN dan SMKN di Jakarta Rentan Bunuh Diri

Siswa perkotaan paling banyak melakuan ide bunuh diri

Jakarta, IDN Times - Doktor bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat, Nova Riyanti Yusuf, dalam temuan penelitiannya, mengungkap fakta cukup mencengangkan tentang percobaan bunuh diri oleh remaja di Jakarta.

Dalam temuannya, lima persen pelajar dari 910 pelajar SMAN dan SMKN akreditasi A di DKI Jakarta memiliki ide bunuh diri. Pelajar yang terdeteksi berisiko bunuh diri memiliki risiko 5,39 kali lebih besar untuk mempunyai ide bunuh diri dibandingkan pelajar yang tidak terdeteksi berisiko bunuh diri setelah dilakukan kontrol terhadap kovariat: umur, sekolah, gender, pendidikan ayah, pekerjaan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, status cerai orangtua, etnis, keberadaan ayah, keberadaan ibu, kepercayaan agama, depresi, dan stresor.

1. Bunuh diri paling banyak terjadi pada usia 20 tahun dan daerah perkotaan

Hasil Riset, 5 Persen Siswa SMAN dan SMKN di Jakarta Rentan Bunuh DiriIDN Times/Hendra Simanjuntak

Data WHO Global Estimates 2017, menunjukkan kematian global akibat bunuh diri yang tertinggi berada pada usia 20 tahun, terutama pada negara yang berpenghasilan rendah dan menengah.

Di tahun 2016, WHO mencatat bahwa kematian pada remaja laki-laki usia 15–19 tahun disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kekerasan interpersonal, dan menyakiti diri sendiri, sementara perempuan disebabkan oleh kondisi maternal dan menyakiti diri sendiri.

Menurut Riskesdas 2013, pada sampel populasi usia 15 tahun ke atas, sebanyak 722.329, prevalensi keinginan bunuh diri sebesar 0,8 persen pada laki-laki dan 0,6 persen pada perempuan. Selain itu, keinginan bunuh diri lebih banyak terjadi di daerah perkotaan daripada di desa.

Baca Juga: Waspada, 5 Jenis Psikologi Orang yang Berpotensi Melakukan Bunuh Diri 

2. Harus ada deteksi dini ide bunuh diri pada remaja

Hasil Riset, 5 Persen Siswa SMAN dan SMKN di Jakarta Rentan Bunuh DiriIDN Times/ M. Idris

Ide bunuh diri, ancaman, dan percobaan bunuh diri merupakan hal serius yang harus segera ditangani sehingga dibutuhkan langkah preventif untuk menurunkan angka kejadiannya. Untuk kasus bunuh diri pada remaja, salah satu hal penting yang dapat dilakukan yaitu deteksi dini, yang bertujuan untuk menemukan faktor risiko penyebab bunuh diri pada remaja.

“2015 dilakukan penelitian Global School-Based Student Health Survey (GSHS) oleh Kementerian Kesehatan dengan jumlah responden 10.837 pelajar SMP dan SMA, yang dikategorikan sebagai umur remaja, dengan hasil 5,2 persen memiliki ide bunuh diri, 5,5 persen sudah memiliki rencana bunuh diri, dan 3,9 persen sudah melakukan percobaan bunuh diri,” kata Nova.

“Dalam penelitian ini ditemukan beberapa faktor risiko yaitu pola pikir abstrak yang menimbulkan perilaku risk-taker, transmisi genetik yang dapat menimbulkan sifat agresif dan impulsif, memiliki riwayat gangguan jiwa lain, lingkungan sosial yang tidak mendukung, dan penyalahgunaan akses internet yang merupakan beberapa alasan remaja memiliki ide bunuh diri,” jelas Nova yang pada saat menjadi anggota DPR periode 2009-2014 menyukseskan terbitnya UU Kesehatan Jiwa.

3. Middle adolescence adalah fase yang sangat rentan bunuh diri

Hasil Riset, 5 Persen Siswa SMAN dan SMKN di Jakarta Rentan Bunuh DiriIDN Times/Fitria Madia

American Academy of Child and Adolescent Psychiatry membagi fase remaja menjadi tiga, yaitu Early Adolescence (11 – 13 tahun),  Middle Adolescence (14 – 18 tahun), dan Late Adolescence (19 – 24 tahun).

Fase middle adolescence adalah fase yang sangat rentan karena remaja berpikir secara abstrak tetapi juga mempunyai keyakinan tentang keabadian (immortality) dan kedigdayaan (omnipotence) sehingga mendorong timbulnya perilaku risk-taking.

Pada fase risk-taking ini, remaja lebih memiliki pola pikir abstrak sehingga dapat tertantang untuk mencoba segala hal, termasuk ke arah pola hidup yang tidak baik, seperti penggunaan tembakau dan alkohol, bereksperimen dengan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif, aktivitas seksual yang tidak aman, pola makan yang buruk, dan kenakalan remaja (Centers for Disease Control and Prevention, 2010).

Perilaku risk-taking akan berdampak terhadap morbiditas, fungsi, dan kualitas hidupnya pada saat dewasa. Tentunya jika remaja tersebut tidak berakhir pada mortalitas (kematian prematur) akibat perilaku risk-taking tersebut. Beban morbiditas dan mortalitas akibat non-communicable disease telah meningkat di seluruh dunia dan sangat cepat perkembangannya di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, sementara beban akibat penyakit menular mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan urgensi untuk dilakukan langkah preventif deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri di remaja.

Mengenai deteksi dini, Nova menjelaskan upaya awal yang telah dilakukan di Indonesia adalah pengembangan instrumen untuk mengukur risiko bunuh diri pada orang dewasa. Instrumen tersebut diberi nama Evaluasi Pelayanan Kasus Kesehatan Jiwa (EPK2J) yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan.

“Untuk pencegahan, pemerintah telah banyak melakukan program sebagai langkah preventif seperti Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) dan Konselor Sebaya, Rapor Kesehatanku, Usaha Kesehatan Sekolah dengan beberapa jalur intervensi atau penanganan masalahnya, Poskestren, Sekolah Ramah Anak (SRA), Program kesehatan jiwa berbasis sekolah, dan Program di FKTP,” imbuh Nova.

4. Fakta kasus bunuh diri di Indonesia

Hasil Riset, 5 Persen Siswa SMAN dan SMKN di Jakarta Rentan Bunuh DiriIDN Times/Muhammad Arief Rahmat

WHO menyoroti bahwa banyak negara yang gagal melakukan perhitungan akurat tentang jumlah kasus bunuh diri termasuk Indonesia yang tidak mempunyai sistem pencatatan data bunuh diri secara nasional. Padahal pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 804.000 kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia (World Health Organization, 2014).

Suicide rate atau angka bunuh diri didasarkan pada jumlah orang yang meninggal karena bunuh diri per 100.000 penduduk. Data nasional yang bisa dipakai adalah Suicide Mortality Rate atau angka kematian akibat bunuh diri yang dikeluarkan World Health Organization, namun dikatakan bahwa bunuh diri di Indonesia (3,4/100.000 populasi) terlalu sedikit karena tidak dilaporkan.

Berdasarkan data Global School-Based Student Health Survey (2015) di Indonesia, ide bunuh diri remaja perempuan adalah 5,9 persen dan laki-laki 4,3 persen. Namun percobaan bunuh diri pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, yaitu 4,4 persen dan perempuan 3,4 persen.

Baca Juga: Mengenal Borderline Personality Disorder, Sebabkan Perilaku Bunuh Diri

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya