Setop Mogok Nasional, KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MK

Ada 12 poin yang akan digugat oleh KSPI

Jakarta, IDN Times - Aksi mogok nasional selama tiga hari yang dilakukan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama 32 federasi berakhir pada 8 Oktober 2020. Untuk langkah selanjutnya, Presiden KSPI Said Iqbal akan menggugat Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Langkah lebih lanjut yang akan diambil secara konstitusional antara lain membuat gugatan melalui jalur hukum untuk membatalkan omnibus law UU Cipta Kerja, melanjutkan gerakan aksi secara konstitusional,” kata Iqbal lewat keterangan tertulis, Jumat (9/10/2020).

Lalu apa saja yang masih menjadi poin gugatan KSPI ke MK?

1. Uang pesangon yang dikurangi

Setop Mogok Nasional, KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MKIlustrasi buruh Tangerang menolak omnibus law (ANTARA FOTO/Fauzan)

Said Iqbal menjelaskan terkait dengan beredarnya hoaks tentang 12 poin permasalahan sekitar omnibus law UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan yang tidak sesuai dengan faktanya.

Pertama, soal uang pesangon yang dikurangi. Iqbal menjelaskan, faktanya uang pesangon memang dikurangi. Bahkan hal ini diakui sendiri oleh Pemerintah dan DPR, jika uang pesangon dari 32 kali dikurangi menjadi 25 kali.

19 dibayar pengusaha dan 6 bulan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan atau JKP yang akan dikelola BPJS Ketenagakerjaan.

KSPI berpandangan, ketentuan mengenai BPJS Ketenagakerjaan yang akan membayar pesangon sebesar 6 bulan upah tidak masuk akal. Dari mana sumber dananya? Menurut Iqbal, pengurangan terhadap nilai pesangon, jelas-jelas merugikan kaum buruh.

“Selain itu, karena dalam omnibus law buruh kontrak dan outsourcing tanpa batasan jenis industri dan bisa seumur hidup, maka besar kemungkinan tidak ada pengangkatan karyawan tetap. Ketika tidak pengangkatan, dengan sendiri pesangon akan hilang,” ujarnya.

Baca Juga: Selain Mogok Kerja, Buruh Siap Demo 8 Oktober Tolak RUU Cipta Kerja

2. UMSP dan UMSK dihapus, UMK tetap ada dengan persyaratan

Setop Mogok Nasional, KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MK(Ilustrasi buruh) IDN Times/Bagus F

Selanjutnya yang masih menjadi poin gugatan adalah Upah Minimum Sektoral (UMSP dan UMSK) yang dihapus. Sedangkan UMK ada persyaratan. Menurut Said Iqbal, dihapusnya UMSK dan UMSP merupakan bentuk ketidakadilan.

Sebab, sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai upah minimumnya sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk.

“Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara,” ujar Iqbal.

Fakta lain, kata dia, UMK ditetapkan bersyarat yang diatur kemudian oleh pemerintah. Bagi KSPI, hal ini hanya menjadi alibi bagi Pemerintah untuk menghilangkan UMK di daerah-daerah yang selama ini berlaku, karena kewenangan untuk itu ada di pemerintah. Padahal dalam UU 13 Tahun 2003, UMK langsung ditentukan tanpa syarat.

Fakta yang lain, UU Cipta Kerja yang wajib ditetapkan adalah upah minimum provinsi (UMP). Ini makin menegaskan kekhawatiran kami bahwa UMK hendak dihilangkan, karena tidak lagi menjadi kewajiban untuk ditetapkan.

Adapun yang diinginkan buruh adalah UMSK tetap ada dan UMK ditetapkan sesuai UU 13 Tahun 2013 tanpa syarat, dengan mengacu kepada kebutuhan hidup layak (KHL).

3. Memungkinkan adanya upah buruh dihitung per jam

Setop Mogok Nasional, KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MKIlustrasi buruh di salah satu perusahaan di PPU (IDN Times/Ervan Masbanjar)

Aturan dalam omnibus law tentang perubahan terhadap Pasal 88B UU 13 Tahun 2003 memungkinkan adanya pembayaran upah satuan waktu, yang bisa menjadi dasar pembayaran upah per jam.

“Di mana upah per jam yang dihitung per jam ini pernah disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan. Adapun permintaan buruh adalah menegaskan di dalam Ommibus Law UU Cipta kerja, bahwa upah per jam tidak dibuka ruang untuk diberlakukan,” kata Iqbal.

4. Hak cuti berpotensi hilang

Setop Mogok Nasional, KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MKIlustrasi aktivitas buruh di salah satu pabrik kopi di Sumatra Utara. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Cuti panjang bukan lagi kewajiban yang harus diberikan pengusaha, sehingga berpotensi hilang. Dalam UU 13 tahun 2003 Pasal 79 Ayat (2) huruf d diatur secara tegas, bahwa pengusaha harus memberikan hak cuti panjang selama 2 bulan kepada buruh yang sudah bekerja selama enam tahun.

Sedangkan dalam omnibus law, pasal yang mengatur mengenai cuti panjang diubah, sehingga cuti panjang bukan lagi kewajiban pengusaha.

“Buruh juga meminta agar cuti haid dan melahirkan tidak dipotong upahnya. Sebab kalau upahnya dipotong, maka buruh akan cenderung untuk tidak mengambil cuti,” ujar Iqbal.

Karena meskipun cuti haid dan melahirkan tetap ada di undang-undang, tetapi dalam pelaksanaan di lapangan tidak akan bisa berjalan jika upahnya dipotong, karena pengusaha akan memaksa secara halus buruh perempuan tidak mengambil cuti haid dengan menakut-nakuti upahnya akan dipotong.

“Adapun permintaan buruh adalah, semua hak cuti buruh dikembalikan sebagaimana yang diatur dalam UU 13 tahun 2003,” ujar Iqbal.

5. Outsourcing di semua jenis industri

Setop Mogok Nasional, KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MKIlustrasi (IDN Times/Lia Hutasoit)

Outsourcing (pemborongan pekerjaan) bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan tanpa terkecuali. Padahal, dalam Pasal 65 UU No 13 Tahun 2003 outsourcing harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Tetapi di dalam omnibus law justru menghapus pasal 65 UU 13 tahun 2003 yang memberikan batasan terhadap outsourcing. Sehingga outsourcing bisa bebas di semua jenis pekerjaan.

Fakta lain, dalam UU 13 Tahun 2003, outsourcing hanya dibatasi di lima jenis pekerjaan, sesuai dengan Pasal 66 Ayat (1): Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

“Tetapi dalam omnibus law, Pasal 66 Ayat (1) yang memberikan batasan mengenai pekerjaan yang boleh menggunakan pekerja outsourcing dihapus. Artinya, semua jenis pekerjaan bisa di outsourcing. Di sini akan terjadi perbudakan modern,” ujar dia.

Adapun permintaan KSPI adalah meminta outsourcing dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu dan tidak boleh seumur hidup, atau kembali sesuai UU 13 Tahun 2003.

6. Karyawan kontrak tidak ada lagi batasan waktu

Setop Mogok Nasional, KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MKIlustrasi pekerja atau buruh pabrik. (IDN Times/Zainul Arifin)

Pasal 59 UU 13 tahun 2003 di omnibus law, tidak lagi diatur mengenai berapa lama kontrak (PKWT) harus diberlakukan. Sehingga menurut Said Iqbal, bisa saja terjadi PKWT seumur hidup.

Jika hal ini diterapkan, menurutnya maka buruh Indonesia tidak memiliki kepastian terhadap masa depan. ‘No job security’. Buruh tidak lagi memiliki harapan untuk diangkat menjadi karyawan tetap, karena pengusaha cenderung akan mempergunakan karyawan kontrak yang bisa diberhentikan kapan saja.

“Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing sebesar 60 persen hingga 75 persen tanpa kepastian kerja, upah rendah, tidak ada jaminan sosial. Data ini hasil survei FSPMI bersama lembaga nirlaba jerman FES di tiga provinsi yaitu Jabar, Jatim, dan Kepri,” ujarnya.

Permintaan KSPI adalah meminta tetap harus ada batas waktu kontrak bagi pekerja kontrak atau PKWT, sehingga tidak membuka ruang bagi pengusaha untuk mengontrak buruh berulang-ulang tanpa ada pengangkatan menjadi karyawan tetap.

7. Perusahaan bisa PHK kapan pun secara sepihak

Setop Mogok Nasional, KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MKIlustrasi pekerja. IDN Times/Lia Hutasoit

Perusahaan yang melakukan PHK secara sepihak, dalam omnibus law tidak lagi dikategorikan batal demi hukum dan upah selama proses perselisihan PHK tidak dibayar.

Hal ini, karena omnibus law menghapus pasal 155 UU 13 Tahun 2003 yang mengatur: (1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum; (2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.

Jika tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa PHK tanpa izin dari lembaga penyelesaian hubungan industrial adalah batal demi hukum dan tidak ada kewajiban untuk membayar upah hak lain selama proses perselisihan berlangsung, PHK akan semakin mudah.

Selain itu, Omnibus law juga mempermudah PHK, sebagaimana terlihat dalam Pasal 154A, khususnya Ayat 1 huruf (b) dan (i) yang mengatur: Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: (huruf b) perusahaan melakukan efisiensi; dan (huruf i) pekerja/buruh mangkir.

Padahal sebelumnya, Mahkamah Konstitusi sudah memberikan putusan bahwa PHK karena efisiensi hanya bisa dilakukan ketika perusahaan tutup permanen. Dengan pasal ini, bisa saja perusahaan melakukan PHK dengan alasan efisiensi meskipun sedang untung besar.

Selain itu, dalam omnibus law PHK bisa dilakukan karena buruh mangkir (tanpa dijelaskan berapa lama mangkir, sehingga bisa hanya 1 hari) . Padahal dalam UU 13 Tahun 2003 PHK karena mangkir hanya bisa dilakukan setelah mangkir 5 hari berturut-turu dan dipanggil minimal 2 kali secara tertulis.

“Adapun permintaan buruh, semua hal yang mengatur mengenai PHK dikembalikan kepada UU No 13 Tahun 2003,” kata Said Iqbal.

8. Jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang

Setop Mogok Nasional, KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MKIlustrasi pekerja. IDN Times/Lia Hutasoit

Jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang karena outsourcing dan karyawan kontrak bebas, di mana mereka akan mudah direkrut dan dipecat, maka sulit bagi mereka bekerja hingga masa pensiun. Sehingga tidak mendapatkan jaminan pensiun. Sekarang saja, menurut Iqbal, masih banyak buruh outsourcing yang tidak mendapatkan jaminan pensiun atau jaminan sosial yang lain.

“Adapun permintaan buruh adalah meminta agar aturan mengenai outsourcing dan kontrak dikembalikan seperti semula, sehingga lebih memberikan kepastian kerja dan dengan sendirinya buruh akan terjamin hak jaminan sosialnya,” ujar dia.

9. Membuka peluang karyawan berstatus tenaga kerja harian

Setop Mogok Nasional, KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MKIlustrasi buruh, pekerja (IDN Times/Arief Rahmat)

Omnibus law mengatur hubungan yang fleksibel dengan mudah rekrut dan pecat. Sehingga Iqbal menilai, mungkin saja akan banyak buruh yang berstatus sebagai tenaga kerja harian.

Hal ini justru akan meningkatkan jumlah pekerja informal di industri padat karya. Misalnya, pabrik boneka, sepatu, baju, tidak lagi mendirikan bangunan pabrik tetapi cukup mendirikan kantor saja.

Pengusaha bisa saja memberikan order ke masyarakat atau buruh yang bekerja dari rumah (home industry). Dengan sistem seperti ini, tidak ada lagi perlindungan untuk buruh. Upah hanya dibayarkan seenaknya dan tidak ada jamian kesehatan dan jaminan pensiun.

Dampak lebih lanjut, hasil produksi dari para buruh ini menjadi tidak kompetitif dan terjadi eksploitasi terhadap tenaga buruh. Sekarang saja, hal seperti ini sudah terjadi di sektor garmen, sepatu, makanan minuman, dan boneka. Padahal tujuan omnibus law ini salah satunya adalah menambah jumlah pekerja formal dari perpindahan sektor informal.

“Permintaan buruh adalah meminta agar ada kejelasan waktu kerja, sehingga tidak membuka ruang bagi pengusaha untuk mempekerjakan buruh dengan sistem harian,” kata Iqbal.

10. Tenaga kerja asing bebas masuk

Setop Mogok Nasional, KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MKKSPI Lanjutkan Mogok Nasional pada Rabu (7/10/2020) (Dok. KSPI)

Omnibus law menghilangkan kewajiban bagi tenaga kerja asing untuk memiliki izin. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 42 Ayat (1) UU 13 tahun 2003 disebutkan: Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Sedangkan dalam omnibus law diubah dengan hanya memiliki pengesahan RPTKA. Tidak lagi memerlukan izin seperti dalam aturan sebelumnya. Hal ini dinilainya akan mempermudah TKA masuk. Apalagi praktiknya, saat ini saja TKA unskill sudah banyak yang masuk.

“Permintaan buruh adalah, mengembalikan pasal mengenai TKA sesuai dengan UU 13 Tahun 2003,” ujarnya.

11. Buruh dilarang protes dengan ancaman PHK

Setop Mogok Nasional, KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MKIlustrasi buruh, pekerja (IDN Times/Arief Rahmat)

Kekhawatiran ini adalah dampak dari meluasnya buruh outsourcing dan kontrak. Karyawan kontrak yang tidak nurut atau banyak protes, menurut Iqbal pasti tidak akan diperpanjang kontraknya.

Belum lagi diakomodirnya bahwa alasan efisiensi bisa dijadikan alasan untuk melakukan PHK. Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet untuk menyingkirkan buruh yang vocal dengan alasan pengurangan (efisiensi).

“Buruh meminta PHK karena alasan efisiensi dilakukan sebagaimana Putusan MK, hanya bisa dilakukan ketika perusahaan tutup permanen,” ujar dia

12. Libur Hari Raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti

Setop Mogok Nasional, KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MKGubernur DKI jakarta Anies Baswedan temui massa demonstran di Bundaran HI (IDN Times/Axel Harianja)

Libur Hari Raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti bisa saja terjadi, sebagai dampak dari penerapan jam kerja yang fleksibel dan upah per jam sebagaimana lihat tanggapan kami di atas. Sehingga hari libur pun, buruh bisa saja diwajibkan tetap bekerja.

“Hal itu sendiri dibenarkan oleh pemerintah, bahwa hari libur di luar tanggal merah tidak diatur dalam undang-undang tetapi dalam kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, buruh meminta, meskipun hari libur ditetapkan oleh kebijakan pemerintah, ditegaskan bahwa buruh tidak boleh diwajibkan untuk bekerja,” kata Iqbal.

Setop Mogok Nasional, KSPI Akan Gugat UU Cipta Kerja ke MK(IDN Times/Arief Rahmat)

Baca Juga: RISET IDEAS: UU Cipta Kerja Lahirkan Ketimpangan Tenaga Kerja 

Topik:

  • Dwi Agustiar
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya