Tolak UU Cipta Kerja, WALHI Absen Hadiri Rapat Bersama DPR RI

WALHI enggan terlibat pembahasan lanjutan UU Cipta Kerja

Jakarta, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) absen dari Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi IV DPR RI, dengan agenda acara pembahasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) terhadap pelaksanaan penggunaan dan pelepasan kawasan hutan.

“Kami menilai bahwa produk regulasi ini inkonstitusional, dan kami menolak terlibat dan dijadikan justifikasi, baik langsung maupun tidak langsung dalam proses-proses tersebut,” kata Direktur Eksekutif WALHI Nur Hidayati lewat keterangan tertulis, Kamis (12/11/2020).

Baca Juga: Tampung Masalah UU Cipta Kerja, Mahfud MD Siap Bentuk Tim Kerja

1. WALHI menilai UU Cipta Kerja cacat prosedur dan proses formil

Tolak UU Cipta Kerja, WALHI Absen Hadiri Rapat Bersama DPR RIIlustrasi pohon tumbang. Istimewa

Nur Hidayati menilai, UU Cipta Kerja cacat secara prosedural dan proses formil. Bahkan menabrak undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Secara materiil, hampir secara keseluruhan undang-undang ini bermasalah, melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, dipaksakan isinya tanpa memiliki landasan, dan secara terang benderang merupakan bagian dari State Capture Corruption,” ujarnya.

2. UU Cipta Kerja membiarkan eksploitasi kawasan hutan

Tolak UU Cipta Kerja, WALHI Absen Hadiri Rapat Bersama DPR RI(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

Dalam konteks subtansi pembahasan RDPU, setidaknya ada tiga hal yang paling bermasalah menurut Nur, termasuk kaitannya dalam UU Cipta Kerja. Pertama, UU Cipta Kerja melakukan ‘pemutihan’ kejahatan korporasi, dengan membiarkan keterlanjuran industri ektraktif dalam kawasan hutan.

“Alih-alih mengatur penegakan hukum, justru diberi ruang waktu untuk melengkapi administrasi hingga tiga tahun,” ujarnya.

3. WALHI menolak keras UU Cipta Kerja

Tolak UU Cipta Kerja, WALHI Absen Hadiri Rapat Bersama DPR RIANTARA FOTO/Siswowidodo

Kedua, pasal afirmatif perlindungan kawasan hutan justru dihapus UU Cipta Kerja. Sehingga, menurut Nur, batas minimum kawasan hutan sebesar 30 persen pada satu wilayah dihapus.

Ketiga, terkait kejahatan korporasi, khususnya dalam kawasan hutan, justru pasal strict liability pertanggung jawaban mutlak pada Pasal 88 di UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dikebiri. Redaksinya diubah sehingga tidak lagi menjadi konsepsi pertanggungjawaban mutlak dalam penegakan hukum kejahatan korporasi dalam kejahatan lingkungan hidup.

“Bagi kami UU Cipta Kerja ini merupakan puncak pengkhianatan negara terhadap hak-hak rakyatnya,” kata Nur.

Baca Juga: Walhi Tolak Hadiri Rapat dengan DPR Bahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya