Menjamurnya Hoaks COVID-19 dan Vaksin di Tanah Air

Pembuat hoaks mencari perhatian

Jakarta, IDN Times - Selama pandemik virus corona tersiar banyak hoaks atau kabar bohong terkait COVID-19 maupun vaksinasi.

Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Dedy Permadi, mengungkapkan pihaknya telah mencatat ada 1.436 isu hoaks terkait COVID-19 dan vaksin. Data tersebut diperoleh hingga 15 Februari 2021 dan terus mengalami penambahan.

"Hingga hari ini total 1.436 temuan isu hoaks yang tersebar ke 2.456 unggahan di platform media sosial," ungkap Dedy kepada IDN Times, Senin (15/2/2021) lalu.

Dihubungi terpisah, Epidemiolog Universitas Griffth, Australia, Dicky Budiman, menilai hoaks menjadi tantangan dalam proses pengendalian pandemik di suatu wilayah. Apalagi khusus terkait vaksin COVID-19, bermacam hoaks telah muncul jauh sebelum vaksinnya ditemukan.

"Sangat ya (mempengaruhi). Hoaks ini luar biasa. Untuk diketahui hoaks terkait vaksin COVID-19 sebagaimana juga gerakan antivaksin COVID-nya sudah lahir dulu, jauh sebelum vaksinnya ditemukan," kata dia, Rabu (17/2/2021).

Baca Juga: Dear Pemerintah, Jangan Kalah Gencar dengan Hoaks COVID-19

1. Hoaks paling banyak menyebar di Facebook

Menjamurnya Hoaks COVID-19 dan Vaksin di Tanah Air(IDN Times/Arief Rahmat)

Kominfo mengungkapkan, dari ribuan hoaks yang tercatat, paling banyak menyebar di media sosial Facebook. Di sana, Dedy mengatakan, setidaknya ada 1.892 unggahan yang mengandung hoaks.

Media sosial kedua yaitu Twitter, ditemukan 496 unggahan hoaks terkait COVID-19 dan vaksin. Selanjutnya ialah YouTube dan Instagram.

"Selanjutnya platform Youtube sebanyak 44 unggahan (hoaks). Dan yang paling sedikit di Instagram, yakni sebanyak 24 unggahan," jelas Dedy.

Kominfo saat ini terus berupaya memonitor dan meluruskan kabar hoaks yang menyebar di media sosial. Mereka juga berkoordinasi dengan Polri untuk penegakkan hukumnya.

Dedy menyebutkan, penegakkan hukum juga telah dilakukan terhadap isu hoaks tersebut. Berdasarkan data dari Polri, setidaknya ada 104 orang tersangka hoaks yang telah ditangkap.

2. Penanganan isu hoaks dinilai kurang cepat

Menjamurnya Hoaks COVID-19 dan Vaksin di Tanah AirIDN Times/Sukma Shakti

Meski demikian, Dicky melihat penanganan isu hoaks COVID-19 dan vaksin di Indonesia masih lamban. Ia mencontohkan di Australia misalnya, hoaks tidak akan bertahan lebih dari dua jam.

"Kalau bicara negara tetangga kita, Singapura atau di Australia, itu mau ada hoaks di WA, FB, itu enggak lebih dua jam sudah direspons, sudah diluruskan," kata Dicky.

Khusus di Tanah Air, ia mengatakan, keberadaan hoaks juga dipengaruhi pernyataan beberapa pejabat terkait COVID-19 yang tidak berlandaskan pada sains pada awal pandemik. Sedangkan, strategi komunikasi untuk memberikan wawasan terkait COVID-19 kepada masyarakat belum memadai.

"Ini yang harus diperbaiki dan tentu tidak mudah, karena itu sudah mengakar, sudah duluan," ucapnya.

3. Mencari perhatian dengan hoaks

Menjamurnya Hoaks COVID-19 dan Vaksin di Tanah AirPesan hoaks yang menyebut Danramil di Gresik meninggal usai divaksinasi. (Kominfo)

Pakar Psikologi Universitas Indonesia (UI), Rose Mini Agoes Salim, menilai pihak yang menciptakan hoaks biasanya merupakan orang yang ingin mencari perhatian. Dengan menciptakan hoaks, orang tersebut ingin dianggap sebagai pihak yang pertama kali mengetahui sesuatu, termasuk COVID-19 dan vaksinasi.

"Ada kalanya untuk hal-hal seperti itu, apalagi untuk pembuat konten ya, itu kan jadi kemudian mereka membuat yang namanya hoaks itu, belum tentu benar tapi dibuat seolah-olah benar sekali," kata Rose dihubungi terpisah pada Rabu (17/2/2021).

Sama seperti pembuat konten, ia menilai penyebar ulang hoaks juga merupakan orang yang ingin mendapatkan pengakuan menjadi yang paling tahu. Padahal kebenaran informasi yang disebarkannya tidak dicek ulang.

"Itu kan kayaknya, "ini loh gue kasih tahu nih, gue loh orang pertama yang kasih tau". Merasa jadi hero, merasa memberikan berita-berita," kata dia.

"Coba gak usah jauh-jauh ke IG, di WA, ada seseorang yang selalu memberikan informasi yang aneh-aneh," imbuhnya.

Ia pun mengimbau kepada masyarakat untuk tidak mudah mempercayai informasi yang beredar di media sosial dan menyebarkan ulang. Daripada terjerat hukum, Rose menyarankan seseorang tidak menyebarkan informasi yang tidak valid.

"Jadi sebetulnya kan kita harus cerdas dan pandai ya saat melihat sesuatu, apakah ini masuk akal, apakah benar atau tidak. Kan sebenarnya tinggal googling aja, tapi sekarang kan banyak orang tidak melakukan itu," pungkasnya.

Baca Juga: Menkominfo: Kalau Pemerintah Bilang Hoaks, Ya Hoaks, Kenapa Membantah?

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya