Gelar Workshop Bahas Muslim Friendly, Wujud Kemenpar Kembangkan Toba

Kemenpar tak pernah bosan kenalkan Danau Toba ke tiap negara

Siborong-borong, IDN Times - Kementerian Pariwisata mendapat respons luar biasa ketika menggelar workshop pengembangan wisata belanja dan kuliner Danau Toba. Apalagi, saat diskusi membahas konsep muslim friendly. Para peserta sangat antusias membahasnya.

Workshop wisata kuliner dan belanja dalam rangka Pemberian Dukungan Prioritas Nasional: Perintisan Destinasi Pariwisata Prioritas Pengembangan Destinasi Pariwisata Nasional Toba  digelar di Hotel Esther, Siborong-borong, Tapanuli Utara, Sumatra Utara, Kamis (11/7/2019).

Agar tidak ada kesalahpahaman mengenai konsep ini, Kemenpar menghadirkan Wakil Direktur LPPOM MUI Osmena. Ia membahas mengenai sosialisasi sertifikasi halal untuk usaha rumah makan, restoran, dan produk oleh-oleh.

1. Konsep halal bukan hanya mengenai muslim semata, berkaitan pula dengan sehat dan bisnis

Gelar Workshop Bahas Muslim Friendly, Wujud Kemenpar Kembangkan TobaIDN Times/Kemenpar

Osmena menjelaskan konsep halal bukan hanya mengenai muslim semata. Menurutnya, halal dalam LPPOM MUI berarti juga sehat dan berkaitan pula dengan bisnis.

“Halal itu bicara sehat. Berkaitan juga dengan bisnis. Indonesia termasuk pelopor dan banyak negara sudah menjalankan hal itu, seperti Prancis yang punya supermarket halal. Jangan sampai halal ini juga diakui negara lain,” terangnya.

Osmena menambahkan, jika makanan sudah ada cap halal, siapa pun bisa memakannya karena sudah dijamin sehat, baik secara pengelolaan maupun bahan yang digunakan. 

“Kalau sudah ada label halal, wisatawan tidak perlu bawa makanan sendiri. Ini bisa menjadi bisnis kuliner buat di destinasi wisata seperti di Danau Toba. Kalau wisatawan bawa makanan sendiri dari negaranya kan repot. Biayanya mahal, sedangkan kalau ada label halal, mereka tidak perlu bawa makanan,” papar Osmena.

Selain itu, sosialisasi yang dilakukan harus terkait dengan permasalahan. Jadi, informasi yang diterima tidak keliru. Osmena pun berharap pengelola kuliner di destinasi wisata bisa jujur dan fair.

“Kalau memang makanan yang disediakan tidak halal, ditulis juga enggak apa-apa. Kalau muslim masuk, salah dia sendiri. Contohnya minuman keras. Buat muslim itu tidak halal. Tapi kalau individunya minum, ya salah dia sendiri. Itu kan fair namanya. Sekarang, negara nonmuslim pun menyediakan label halal atau makanan halal, seperti Vietnam, Thailand, dan Jepang. Kenapa? Karena mereka cari duit. Itu masalah bisnis. Daripada wisatawan bawa makanan sendiri, lebih baik destinasi menyediakan. Kan, jadi pemasukan. Ini sudah dilakukan juga di banyak negara Eropa,” katanya.

Osmena memberikan contoh lain yang berkaitan dengan halal atau muslim friendly. Menurutnya, sapi atau ayam yang dikonsumsi muslim juga bisa menjadi makanan haram jika pengolahannya tidak tepat. 

"Jika sapi dipotong tidak sesuai standar, tetap dia dibilang haram. Ayam juga begitu. Jadi, ada tata cara. Jika tidak sesuai, dia disebut bangkai, dan bangkai itu diharamkan juga. Makanya, halal itu proses. Jika sudah dapat sertifikasi halal, siapa pun bisa memakannya karena dia diolah dengan sehat, sesuai standar, dan higienis,” terangnya.

2. Mendapatkan sertifikasi halal ternyata cukup mudah

Gelar Workshop Bahas Muslim Friendly, Wujud Kemenpar Kembangkan Tobapixabay.com/Willem67

Lantas, bagaimana caranya mendapat sertifikasi halal? Gampang. Osmena pun menjelaskan syarat-syarat agar mendapat sertifikasi halal tersebut.

"Penilaian dilakukan dari higienis atau tidaknya lokasi pengolahan, bersih atau tidak. Itu dinilai. Ayam, kucing, dan binatang lainnya, tidak boleh ada di tempat produksi. Jadi, restoran dan rumah makan yang mau dapat sertifikat halal, diperhatikan hal itu. Kalau sudah oke dari Dinas Kesehatan, baru ada sertifikat,” papar Osmena.

Asdep Pengembangan Destinasi Regional I Kemenpar Lokot Ahmad Enda berharap penjelasan dari LPPOM MUI bisa membuka wawasan mengenai muslim friendly dan mengapa hal itu penting dalam wisata kuliner.

“Kita tidak mau ada kesalahan dalam mengartikan konsep itu. Kita berharap penjelasan yang diberikan LPPOM MUI bisa diterima dengan baik. Kita ingin Danau Toba menjadi destinasi dunia yang ramah buat siapa saja dan bisa dinikmati siapa saja,” kata Enda.

3. Jika Danau Toba ingin jadi destinasi wisata kelas dunia, fasilitas harus lengkap dan rangkul seluruh golongan

Gelar Workshop Bahas Muslim Friendly, Wujud Kemenpar Kembangkan Tobaxplorea.com

Kabid Pengembangan Destinasi Area I Wijanarko mengutarakan bahwa agar bisa menjadi destinasi kelas dunia, Danau Toba harus melengkapi diri.

“Kalau Danau Toba ingin menjadi destinasi kelas dunia, dia harus terbuka buat wisatawan mancanegara dari mana saja. Oleh karena itu, fasilitas yang dimiliki harus lengkap dan merangkul semua. Itu jadi salah satu syarat untuk membuat betah wisatawan,” paparnya.

Kasubid Destinasi Area 1B Kemenpar Andhy Marpaung mengutarakan hal yang sama. Menurutnya, Danau Toba harus membuka diri buat semua golongan wisatawan. 

“Wisatawan yang datang bisa dari mana saja. Dengan golongan berbeda, agama yang berbeda. Yang artinya Danau Toba sebagai destinasi harus siap menyambut semua wisatawan karena kebutuhan tiap wisatawan berbeda-beda,” katanya.

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan Kementerian Pariwisata tidak pernah bosan memperkenalkan Danau Toba ke banyak negara.

“Dalam berbagai kesempatan, Kemenpar selalu mempromosikan Danau Toba ke mancanegara. Kenapa? Karena Danau Toba destinasi superprioritas. Destinasi top di Indonesia. Oleh karena itu, kita terus menggali. Kita ingin melengkapi Danau Toba agar benar-benar kaya dan menjadi destinasi kelas dunia,” paparnya.

Topik:

  • Marwan Fitranansya

Berita Terkini Lainnya