Kominfo Lakukan Vaksin Massal sekaligus Adakan Digital Literacy Talks

Pentingnya sosialisasi terkait vaksin Covid-19

Jakarta, IDN Times – Bertempat di Hall Basket, GBK, Senayan, pemerintah melalui  Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama Kementerian Kesehatan Republik  Indonesia dan Dewan Pers, melaksanakan vaksinasi COVID-19 bagi awak media se Jabodetabek. Vaksinasi hari pertama telah diikuti oleh 1.545 awak media, dari target 5.512 awak media selama tiga hari kegiatan.  

Selama proses pelaksanaan vaksin massal, Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama  dengan Siberkreasi juga menghadirkan talkshow dengan mengundang narasumber dari  berbagai mitra kerja yang mempunyai keahlian yang sesuai dengan topik diskusi. Tema yang  diangkat, mengacu pada pilar-pilar literasi digital Indonesia; pilar-pilar tersebut diantaranya  adalah Digital Skill, Digital Culture, Digital Ethic, Digital Safety, Digital Economy, dan  Digital Society.  

Salah satu digital literacy talks bertajuk “Kekuatan Jurnalisme dalam Sosialisasi Vaksin  COVID-19”. Diskusi ini menghadirkan Agus Sudibyo (Dewan Pers Indonesias); Yogi Arief  Nugraha (Kompas TV) dan Djaka Susila (Sindo News) dengan moderator Devie Rahmawati (Vokasi UI). Dalam diskusi ini terungkap bahwa salah satu tantangan dari menghadirkan informasi yang benar dan tepat, ialah maraknya serbuan berita hoaks yang memang diproduksi dengan sangat cepat, karena tidak memerlukan verifikasi sebagaimana halnya jurnalisme, yang  memang melalui proses verifikasi yang panjang.

1. Pentingnya media dalam menyebarkan informasi terkain vaksin

Kominfo Lakukan Vaksin Massal sekaligus Adakan Digital Literacy TalksDok. Kominfo

Jurnalisme dalam prosesnya pasti memastikan bahwa informasi yang diproduksi menggunakan narasumber yang kredibel bukan yang hanya kontroversial; jurnalisme yang akurat bukan hanya cepat; mengedepankan kualitas bukan kuantitas. Walau terungkap juga, ada “rezim traffic” yang mendorong jurnalis kadang terjebak dalam godaan untuk memenangkan kompetisi bisnis semata, bukan mencerdaskan pembaca. Para pembicara meyakini bahwa konten media sosial yang banyak dibanjiri berita hoaks tidak akan selama menjadi santapan informasi yang disukai publik. 

Popularitas berbeda dengan akseptabilitas. Media sosial  memang popular, namun bukan berarti diterima (aksep) oleh publik.Media sosial merupakan “frenemy”, friend (teman) sekaligus enemy (musuh) bagi masyarakat. Tidak dapat dipungkiri  bahwa media sosial menyediakan banyak informasi yang baik sekaligus yang tidak  bertanggung jawab di sisi lain.  

Kedua perwakilan media menunjukkan bahwa trend di media masing-masing justru tetap  memiliki pembaca yang setia dengan hasil tulisan yang mendalam. Angka pertumbuhan  pembaca yang menghendaki slow journalism justru meningkat. Hasil diskusi ini menghadirkan  optimisme bahwa “virus infodemik”, yang juga sangat mengganggu proses penerimaan vaksinasi Covid-19, tidak akan selamanya menguasai publik, ketika jurnalisme dan awak media terus belajar untuk mengembangkan konten informasi yang beragam (diversity), mendalam dan cermat, maka kita tetap bisa memiliki kehidupan berbangsa yang sehat.

2. Diskusi menarik perihal penolakan vaksin di beberapa masyarakat

Kominfo Lakukan Vaksin Massal sekaligus Adakan Digital Literacy Talksilustrasi penyuntikan vaksin (IDN Times/Arief Rahmat)

Diskusi lainnya bertajuk Imunisasi dalam Kacamata Sosial, Budaya, dan Demografi  Indonesia: Peluang & Tantangan. Digital literacy talks ini menghadirkan Nadia Wiweko  (Kemenkes); Rizky Ika Syafitri (UNICEF Indonesia); Ari Soegeng Wahyuniarti (BAKTI,  Kemenkominfo); Moderator, Devie Rahmawati (Vokasi UI).  

Diskusi ini mengungkapkan bahwa penolakan sebagian masyarakat untuk divaksin disebabkan  sedikitnya tiga alasan yaitu keamanan, efektivitas vaksin, disusul alasan kultural seperti  keyakinan tertentu. Untuk itu dibutuhkan strategi komunikasi yang sistematis dan efektif  seperti pilihan produksi materi komunikasi, sebaiknya dapat diterima dan dipahami oleh  penerima sasaran program komunikasi. 

Bila diperlukan, informasi dapat diberikan dalam  bahasa daerah. Saluran komunikasi yang digunakan juga harus disesuaikan dengan medium  yang menjadi media utama yang digunakan oleh masyarakat. Tidak promosi Kesehatan  misalnya menggunakan sosial media secara masif. Sebagian justru akan efektif ketika menggunakan suara dari para tokoh yang dipercaya oleh publik, salah satunya para dokter. 

Itulah mengapa, dokter dan tenaga Kesehatan menjadi salah satu target dari sosialisasi  kebijakan vaksin. Karena penelitian menunjukkan bahwa keyakinan dan keinginan untuk  vaksin di kalangan nakes, tidak 100%.  

Berita hoaks memang menjadi tantangan besar, mengingat studi menunjukkan dalam waktu 5  menit, berita hoaks dapat menyebar hingga 10 lapisan lingkaran pertemanan. Sedangkan, verifikasi sebuah berita, yang misalnya dilakukan dalam dua jam proses komunikasi, belum tentu menyentuh hingga 10 lapisan. Berita hoaks untuk isu vaksin saja jumlah sekitar 1.300  informasi hoaks, di mana setiap hari diperkirakan muncul 5 hoaks. 

3. Perlu ada strategi yang tepat untuk menangkal hoaks terkait vaksin

Kominfo Lakukan Vaksin Massal sekaligus Adakan Digital Literacy Talksilustrasi penyuntikan vaksin (ANTARA FOTO/Soeren Stache/Pool via REUTERS)

Oleh karenanya, strategi tangkal hoaks ini yang pertama ialah dengan melakukan proses  inokulasi (vaksinasi) publik dari infodemik (sebutan untuk hoaks). Yang kedua ialah dengan  terus menurunkan kredibilitas berita-berita hoaks tersebut. Diskusi juga mengungkapkan  bahwa antara pengetahuan dan perilaku publik tidak selalu berbanding lurus. Publik yang tahu,  belum tentu dapat dipastikan bahwa perilakunya sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh  mereka.  

Terdapat tiga upaya dalam upaya memastikan sebuah kebijakan publik dapat diserap oleh  publik yaitu enforcement, engineering, dan education. Pendekatan pertama (enforcement) memang menyandarkan pada kekuatan aturan. Dampaknya, publik berpeluang mengikuti  kebijakan ketika aturan tersebut berlaku atau adanya penegak aturan di sekitar publik. Sedangkan pendekatan rekayasa (engineering) dilakukan dengan menyiapkan situasi dan kondisi secara sistematis sesuai dengan keinginan pengambil kebijakan. 

Contohnya ialah  bagaimana hadirnya tempat – tempat cuci tangan; tanda silang di kursi – kursi yang tidak diperkenankan untuk ditempati sebagai implementasi himbauan menjaga jarak. Pendekatan  terakhir dengan pendidikan (education), memang pendekatan yang membutuhkan waktu  paling lama dalam proses pelaksanaannya. Namun, sekali berhasil, maka dampak nya terhadap perilaku publik akan lebih Panjang. Hal ini menyangkut telah terpatrinya kebijakan di dalam  benak dan mental publik.  

Diskusi ini mengingatkan publik bahwa vaksin telah banyak menuai keberhasilan selama  puluhan tahun terhadap penyakit yang menyerang manusia, sebut saja polio, yang sudah  membebaskan penduduk dunia dari pandemi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada alasan untuk meragukan keampuhan virus dalam meningkatkan kualitas hidup  manusia. 

Topik:

  • Jordi Farhansyah
  • Marwan Fitranansya

Berita Terkini Lainnya