25 Tahun Reformasi, Amnesty Sebut Kebebasan Berekspresi Alami Represi

Jakarta, IDN Times - Amnesty Internasional Indonesia menyatakan represi negara terhadap kebebasan berekspresi makin marak setelah 25 tahun reformasi. Hal ini disebut berakibat pada kemunduran kebebasan sipil di Indonesia.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, reformasi seharusnya membawa harapan baru akan keterbukaan, kebebasan, dan keadilan.
“Namun, harapan itu padam jika aparat negara terus merepresi protes dan kritik terhadap pemerintah dengan menggunakan dalil-dalil pembangunan, keamanan, dan ketertiban politik demi investasi, sebuah pola kebijakan di era Orde Baru yang seharusnya ditinggalkan sejak 25 tahun lalu,” kata Usman Hamid dalam keterangannya, Sabtu (20/5/2023).
Baca Juga: Mahfud MD Akan Bentuk Tim Reformasi Hukum Atasi Mafia Tanah
1. 127 pembela HAM alami serangan selama 2023
Data pemantauan Amnesty International Indonesia, setidaknya 127 pembela HAM mengalami serangan sepanjang Januari-Mei 2023. Serangan ini termasuk kriminalisasi, penangkapan, percobaan pembunuhan, intimidasi, dan serangan fisik yang menimpa jurnalis, mahasiswa, pegiat hak masyarakat adat, dan aktivis yang kritis.
Dalam laporan Amnesty yang berjudul “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia”, tercatat 328 kasus dugaan serangan fisik dan digital yang menimpa 834 korban dalam periode Januari 2019 hingga Mei 2022.
Baca Juga: 25 Tahun Reformasi, Faisal Basri: Konglomerasi Berubah Jadi Oligarki
2. 31 polisi diduga terlibat penyerangan jurnalis sejak 2019-2022
Represi terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi menunjukkan tantangan lain terkait agenda reformasi. Dalam laporan itu juga dijelaskan, 31 polisi dan tujuh personel militer terlibat dalam dugaan kasus penyerangan terhadap jurnalis selama Januari 2019 hingga Mei 2022.
Pada periode yang sama, setidaknya 204 personel, termasuk polisi virtual, mendominasi jumlah terduga pelaku kriminalisasi menggunakan UU ITE.
Usman mengatakan, akuntabilitas aparat keamanan negara juga patut disoroti. Dari 14 kasus pembunuhan di luar hukum di Papua, lima di antaranya diduga melibatkan terduga pelaku dari anggota Polri atau TNI. Hingga akhir 2022, Usman menjelaskan belum ada kasus yang diproses di pengadilan umum.
Baca Juga: 2 Sosok Ini Berjasa Tumbuhkan Ekonomi Indonesia Pasca-Reformasi 1998
3. 30 kasus pembunuhan di Papua
Editor’s picks
Sementara itu, tercatat 30 kasus pembunuhan di luar hukum di Papua sepanjang 2022. Pelaku dari 27 kasus itu, kata Usman, berasal dari kepolisian. Namun, dari 27 kasus itu, baru empat kasus yang diproses hukum hingga akhir 2022.
“Kita semua menunggu keseriusan negara untuk urusan akuntabilitas aparat keamanan. Jangan terus melanggengkan impunitas atas kejahatan serius yang dilakukan aparat negara atas nama apa pun. Itu akan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat yang demokratis,” kata Usman.
Baca Juga: Semangat Reformasi yang Masih Jadi Pertanyaan di Banjarmasin
4. Pengakuan negara dan upaya penyelesaian non-yudisial dinilai tidak cukup
Agenda lain yang masih terabaikan adalah penyelesaian pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu. Usman menyoroti tragedi Mei 98 yang mencakup kerusuhan, penjarahan, dan kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa. Ia menambahkan, langkah Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengakui pelanggaran ham berat itu pada awal 2023, dinilai tidak cukup.
“Pengakuan negara Januari lalu dan upaya penyelesaian non-yudisial atas 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu seharusnya tidak melupakan penegakan hukum dan keadilan, termasuk suara korban yang menuntut penghukuman pelaku, penghormatan martabat mereka sebagai manusia, dan mendesak adanya klarifikasi sejarah yang lebih jujur. Ini agar ke depan terbangun moralitas kolektif yang menghormati hak asasi,” kata Usman.
“Negara, jika memang berkomitmen menuntaskan pelanggaran HAM, seperti janji Presiden Jokowi, seharusnya melakukan upaya pengungkapan kebenaran dan penghukuman pelaku serta pelurusan sejarah. Ini juga termasuk mencegah pengerasan pendekatan keamanan melalui undang-undang seperti revisi KUHP baru-baru ini," katanya.
Baca Juga: 21 Mei Hari Peringatan Reformasi: Begini Sejarahnya
5. Seharusnya 25 tahun reformasi menjadi pengingat bagi negara
Usman menjelaskan, serangan tersebut mayoritas dilakukan aktor negara, yang didominasi personel kepolisian. Padahal, kata dia, penegak hukum seharusnya melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat.
“Masyarakat berhak mempertanyakan komitmen negara terutama pemerintah atas janjinya dan kewajibannya melaksanakan agenda reformasi. Apa betul negara masih berpegang teguh pada cita-cita reformasi? Apa negara telah serius mereformasi undang-undang, kebijakan, dan kelembagaan sektor keamanan yang lebih menghormati hak asasi? Kita tanyakan pada korban yang masih menuntut, kita tanyakan pada mereka yang bersuara kritis. Jangan-jangan negara sengaja lupa demi ambisi pembangunan ekonomi dan stabilitas politik keamanan,” kata Usman.
Dia mengatakan, seharusnya 25 tahun reformasi menjadi pengingat bagi negara untuk segera meninggalkan pola kebijakan yang represif terhadap kebebasan berekspresi, sekaligus menjamin kebebasan sipil, yang merupakan cita-cita reformasi.
"Bila hal itu masih diabaikan, kami sangat khawatir Indonesia akan mundur ke era otoriter," kata dia.