Aborsi Anak Korban Pemerkosaan Secara Legal Masih Terhambat 

RUU Kesehatan diminta bisa manusiawi

Jakarta, IDN Times - Pendamping korban dari Women Crisis Centre Jombang, Ana Abdillah, mengaku masih banyak mendapatkan hambatan struktual penyelenggaraan layanan legal aborsi bagi korban pemerkosaan.

Ana menjelaskan, banyak regulasi-regulasi yang menjadi celah argumentasi bagi struktur hukum yang tidak punya perspektif terhadap korban.

"Mungkin ke depan UU kesehatan kita bisa lebih manusiawi, ya, kita harus mendengarkan suara-suara di masyarakat bahwa aborsi aman itu adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dari upaya memberikan layanan yang komprehensif untuk korban," kata dia dalam Webinar: Perempuan Korban Kekerasan Seksual di Pusaran RUU Kesehatan yang diselenggarakan Yayasan IPAS Indonesia, Senin (22/5/2023).

Padahal, dalam UU Kesehatan telah diatur pada Pasal 76 yang menyatakan aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 minggu. Hal itu kemudian diperbaharui dalam Pasal 463 Ayat 2 KUHP Baru menjadi 14 minggu atau saat memiliki indikasi kedaruratan medis, bagi korban tindak pemerkosaan atau tidak pidana kekerasan seksual.

Baca Juga: Kesaksian Pemerkosaan Massal Mei 98, Perempuan Diseret hingga Wajah Memar

1. Berbagai halangan dalam upaya aborsi aman anak korban pemerkosaan

Aborsi Anak Korban Pemerkosaan Secara Legal Masih Terhambat IDN Times/Fitria Madia

Contohnya adalah kasus pemerkosaan anak 12 tahun, sebut saja Melati. Korban pada April 2021 diiming-imingi uang jajan oleh pelaku dan akhirnya mengalami kekerasan seksual hingga hamil. Padahal korban baru saja mengalami menstruasi tiga kali dalam hidupnya.

Ana mengatakan, upaya aborsi aman bagi anak korban pemerkosaan menghadapi sejumlah paradigma. Mulai dari pengalaman yang diakui polisi belum ada hingga rumah sakit yang tak bisa memberi rekomendasi.

Kemudian, pihak Dinas di daerah yang mengaku mendukung aborsi aman tetapi hanya sebatas personal namun tidak mendukung itu secara instansi. Lalu, pernyataan rumah sakit yang mengatakan bayi dalam keadaan sehat serta kondisi anak korban yang dinilai bertubuh bongsor meski dalam keadaan hamil.

Selain itu, jika menemukan ungkapan aborsi adalah dosa, hal tersebut menimbulkan ketakutan dan kegaduhan di masyarakat serta adanya pertimbangan anak atau bayi harus dilindungi sejak usia nol di dalam kandungan.

Baca Juga: KPU Diperingatkan Kemen PPPA soal Polemik Keterwakilan Perempuan

2. Perempuan masih hadapi sukarnya implementasi kesehatan sesuai hak

Aborsi Anak Korban Pemerkosaan Secara Legal Masih Terhambat IDN Times/Denisa

Dia mengatakan, perempuan masih dihadapkan pula pada sukarnya implementasi sistem kesehatan dan hukum dalam upaya pemenuhan hak korban atas akses pelayanan yang komprehensif.

"Problem strukturalnya itu tidak hanya berkata pada argumentasi, gak ada pengalaman, gak punya cukup sumber daya yang bisa memahami substansi hukumnya," kata Ana.

Menurut Ana, hal ini jadi pekerjaan rumah yang berat bagi Kementerian Kesehatan dan Aparat Penegak Hukum untuk membangun paradigma sistem yang lebih berorientasi pada hak-hak korban.

"Ke depan, RUU Kesehatan ini harus bisa menjawab banyaknya regulasi yang semoga bisa diharmonisasi, termasuk dengan adanya KUHP maupun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) itu bisa terkoneksi satu sama lain yang tentu saja tidak ada kasus-kasus seperti ini," katanya.

Baca Juga: Yayasan TIFA Temukan Kasus Kekerasan Jurnalis Meningkat Tiap Tahun

3. Kriminalisasi korban kekerasan seksual

Aborsi Anak Korban Pemerkosaan Secara Legal Masih Terhambat Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Ana juga mengatakan, kejadian yang ditemui di lapangan kerap menempatkan korban sebagai pelaku atau mengkriminalisasi korban kekerasan seksual.

"Sistem peradilan itu bisa mengkriminalisasi korban kekerasan seksual yang tidak mendapat hak atas kesehatan reproduksi seksual yang komprehensif," kata dia.

Salah satu kisah kriminalisasi korban yang diceritakan Ana adalah kasus pembuangan bayi oleh siswi SMP di Jombang. Dia mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, sedangkan sang bayi sudah dinyatakan meninggal sejak dalam kandungan karena siswi tersebut berupaya menggugurkan janinnya.

Upaya aborsi tidak aman ini dilakukan dengan cara tengkurap, sering ditekan, hingga minum minuman bersoda menurut keterangan ibu korban. Hal itu menyebabkan adanya infeksi di rahim.

Diketahui, RUU Kesehatan saat ini tengah memasuki babak akhir pembahasan untuk segera disahkan. Dalam isu pengecualian aborsi bagi korban perkosaan dan kekerasan seksual, RUU tersebut telah diharmonisasi dengan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP dan UU Nomor 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Baca Juga: Organisasi Profesi Kesehatan Mendemo RUU Kesehatan Omnibus Law

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya