Ahli Hukum Setuju soal Diksi Persetubuhan Kasus Pemerkosaan di Sulteng

Pernyataan Kapolda Sulteng dinilai sudah benar

Jakarta, IDN Times - Ahli Hukum Pidana Anak, Ahmad Sofian, mengatakan, pernyataan Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng), Irjen Pol Agus Nugroho soal kasus persetubuhan remaja di Parigi Moutong adalah tepat.

Menurut dia, pernyataan Agus yang mengatakan kasus itu bukanlah pemerkosaan telah sesuai dengan perspektif hukum yang ada, yakni yang tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Dia (Kapolda Sulteng) malah benar, perspektifnya benar, kalau dia pakai perkosaan berarti 285 (KUHP), ya, merugikan korban. Kalau pakai itu, malah saya protes, kalau dia pakai bahasa perkosaan," kata dia kepada IDN Times, Senin (5/6/2023).

Baca Juga: Profil Kapolda Sulteng Agus Nugroho yang Disorot karena Kasus Pemerkosaan

1. Lebih berat ancaman pidana persetubuhan di UU Perlindungan Anak

Ahli Hukum Setuju soal Diksi Persetubuhan Kasus Pemerkosaan di SultengIlustrasi tersangka (IDN Times/Mardya Shakti)

Dia menjelaskan, dalam UU Perlindungan Anak, tidak dikenal apa yang disebut dengan perkosaan. Justru, Undang-Undang Perlindungan Anak mengenal apa yang disebut dengan persetubuhan atau pencabulan.

Kasus ini menurutnya dianggap lebih baik jika dikenakan Pasal 76 D dan 76 E UU Perlindungan Anak daripada Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Nah itu, jadi di Undang-Undang Perlindungan Anak jauh lebih bagus dibandingkan dengan Pasal 285 KUHP perkosaan. Kenapa saya bilang lebih bagus, karena dalam perkosaan jika merujuk pada perkosaan, pertama ancaman pidana perkosaan itu kan maksimum 12 tahun, ya," ujar Ahmad.

Jadi secara pindana, kata dia, para pelaku kekerasan seksual pada anak ini bisa dijerat hingga maksimal penjara 15 tahun jika dikenakan UU Perlindungan Anak. Jumlah ini lebih banyak daripada Pasal 285 KUHP yang hanya maksimal 12 tahun.

Baca Juga: Polri Janji Usut Tuntas Kasus Pemerkosaan Remaja di Sulteng

2. Pasal 285 KUHP untuk orang dewasa

Ahli Hukum Setuju soal Diksi Persetubuhan Kasus Pemerkosaan di SultengIlustrasi (IDN Times/Mardya Shakti)

Dia juga menjelaskan, jika kalimat yang digunakan adalah pemerkosaan, maka hal itu dilakukan dengan adanya kekerasan. Sedangkan, persetubuhan di UU Perlindungan Anak tidak diperlukan kalimat kekerasan.

Dengan UU Perlindungan Anak, persetubuhan dengan anak dilakukan dengan cara rangkaian perkataan bohong, bujuk rayu, hingga tipu muslihat. Apalagi jika korbannya adalah anak, maka akan lebih mudah dibuktikan.

Sebab, ujar dia, jika menggunakan Pasal 285 KUHP, maka perlu ada pembuktian soal kekerasan yang dialami korban. Belum lagi, beleid ini juga berlaku bagi perempuan dewasa atau perempuan.

"Jika korbannya anak-anak, itu jauh lebih mudah membuktikannya. Jika pakai Pasal 285 KUHP, itu rezimnya adalah untuk orang dewasa korbannya dan harus dibuktikan juga dalam rezim perkosaan itu kekerasan dan ancaman kekerasan. Namanya kasus perkosaan, kekerasan dan ancaman kekerasan ini gak mudah juga membuktikan, di samping kan yang dibuktikan selain visum ada luka lecet pada vagina kalau perkosaan, ya," kata Ahmad.

Baca Juga: 11 Pelaku Kekerasan Seksual Remaja di Sulteng Ditetapkan Tersangka

3. Jika gunakan pemerkosaan agak sulit dibuktikan

Ahli Hukum Setuju soal Diksi Persetubuhan Kasus Pemerkosaan di SultengIlustrasi penangkapan pelaku pemerkosaan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Satuan Reserse Kriminal Polres Tanggamus menangkap pelaku pemerkosaan. (Dok. Polres Tanggamus).

Ahmad mengatakan, ada atau tidaknya bujuk rayu hingga tipu muslihat dalam kasus persetubuhan anak, hakim akan tetap memutuskan adanya persetubuhan. Pasalnya, yang penting adalah perbuatan materiil dan tidak penting apapun caranya jika dilakukan pada anak.

"Kalau dia pakai rezim pemerkosaan, caranya itu harus ada dan gak semuanya banyak kasus perkosaan pada anak kalau menggunakan rezim 285 agak sulit dibuktikan," kata dia.

4. Penggunaan KUHP buat korban anak tak dapat restitusi

Ahli Hukum Setuju soal Diksi Persetubuhan Kasus Pemerkosaan di SultengKorban A melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya ke Polres Bantul. (IDN Times/Daruwaskita)

Selain itu, jika menggunakan narasi pemerkosaan yang ada dalam Pasal 285 KUHP, korban juga tidak akan mendapatkan restitusi atau ganti rugi.

"Jadi persetubuhan itu benar menurut rezim Undang-Undang Perlindungan Anak, (karena) memberikan, memudahkan pembuktian, dan hukuman lebih berat pada pelaku dibandingkan dia pakai perkosaan," katanya.

Ahmad mengatakan, pemilihan diksi persetubuhan ini adalah untuk memberikan pemberatan hukuman pada pelaku.

Bahkan dalam UU 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU, dijelaskan soal ancaman hukuman maksimal, dapat berupa pidana mati, seumur hidup, dan/atau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku serta diberikan tindakan kebiri dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

"Iya, ada pemberatan hukuman lho pemberatan hukuman bisa pakai kebiri dan pasang alat pendeteksi elektronik bagi pelaku. Meskipun itu kontroversi tapi paling gak dari sisi aspek pidananya lebih berat kalau pakai istilah persetubuhan," katanya.

Baca Juga: ICJR Sayangkan Pernyataan Kapolda Sulteng soal Kasus Perkosaan Parimo

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya