Aliansi Aktivis Beber 12 Alasan Tolak RKUHP yang Disahkan DPR Hari Ini

Semua orang di Indonesia bisa terjerat RKUHP

Jakarta, IDN Times - Pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah di depan mata, karena hari ini, Selasa (6/12/2022), melalui Rapat Paripurna DPR RI yang ke-II tahun sidang 2022-2023, DPR berencana mengesahkan RKUHP menjadi undang-undang. Namun, masyarakat sipil menilai banyak pasal dalam RKUHP bermasalah.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai pasal-pasal yang terkandung dalam draf akhir RKUHP masih memuat pasal-pasal anti demokrasi, melanggengkan korupsi di Indonesia, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik.

Mereka juga menganggap, RKUHP masih memuat pasal-pasal mengatur ruang privat masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat, dan memiskinkan rakyat. Aliansi menerangkan alasan penolakan pengesahan draf akhir RKUHP bermasalah.

Baca Juga: RKUHP Didemo Tiap Kali Akan Disahkan, Mahfud: Masak Gitu Terus?

1. Ada 12 alasan aliansi menolak RKUHP

Aliansi Aktivis Beber 12 Alasan Tolak RKUHP yang Disahkan DPR Hari IniANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Berikut 12 alasan Aliansi Nasional Reformasi KUHP menolak RKUHP:

1. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat. Aturan ini merampas kedaulatan masyarakat adat, frasa “hukum yang hidup di masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Selain itu, keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri. Selain mengancam masyarakat adat, aturan ini juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia masih ada ratusan Perda diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.

2. Pasal terkait pidana mati. Banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Selain itu, banyak kasus telah terjadi dalam pidana mati yakni kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi. Keberadaan pasal terkait pidana mati di RKUHP juga mendapat sorotan Internasional. Dalam Universal Periodic Review (UPR) setidaknya terdapat 69 rekomendasi dari 44 negara baik secara langsung maupun tidak langsung menentang rencana pemerintah Indonesia untuk mengesahkan RKUHP, salah satunya rekomendasi soal moratorium atau penghapusan hukuman mati.

3. Penambahan pemidanaan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru.

4. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet dan menjadi pasal anti demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata “penghinaan”. Pasal ini bisa membungkam berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara.

5. Contempt of court. Tidak ada penjelasan yang terang mengenai frasa “penegak hukum” sehingga pasal ini berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa. Sebagaimana diketahui, terjadi banyak kasus di persidangan yang menunjukkan bahwa hakim berpihak kepada penguasa. Selain itu, pasal ini juga mengekang kebebasan pers karena larangan mempublikasi proses persidangan secara langsung.

6. Kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan. Tidak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri”. Pasal ini berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat.

7. Penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE. Seharusnya yang dilakukan adalah mencabut seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE yang duplikasi dalam RKUHP, tidak hanya pada Pasal 27 ayat(1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) UU ITE seperti (a) Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU ITE; (b) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE; (c) Pasal 29 UU ITE. Selain itu, frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya karena misalnya, seseorang yang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa ini.

8. Larangan unjuk rasa. Pasal ini seharusnya memuat definisi yang lebih ketat terkait “kepentingan umum” karena frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mempidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya. Selain itu, frasa “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah.

9. Memutihkan dosa negara dengan penghapusan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat. Dalam naskah terakhir dari RKUHP, negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini. Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat di RKUHP menandakan bahwa segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili. Selain itu, masa daluarsa yang diatur di RKUHP juga terlalu singkat, padahal pelanggaran HAM berat mustahil untuk diselesaikan dalam waktu yang sebentar, apalagi para pelakunyamerupakan orang yang memiliki kuasa dan sumberdaya lebih untuk menghambat proses hukum.

10. Mempidana korban kekerasan seksual. Adanya pasal yang mengatur kohabitasi berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual.

11. Meringankan ancaman bagi koruptor Dalam draf RKUHP terakhir, ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor yang dimana tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang berdampak luas bagi masyarakat.

12. Korporasi sebagai entitas sulit dijerat Draft RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi. Namun, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus. Kecil kemungkinannya korporasi bertanggungjawab sebagai entitas. Pengaturan seperti ini justru rentan mengkriminalisasi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan. Pengaturan ini juga rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi.

2. Ada aksi tabur bunga di depan DPR

Aliansi Aktivis Beber 12 Alasan Tolak RKUHP yang Disahkan DPR Hari IniDemo tolak RKUHP di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/12/2022) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Pada Senin, 5 Desember 2022, masyarakat menggelar aksi simbolik tabur bunga dan membakar kitab RKUHP di depan gedung DPR sebagai tanda atas kematian demokrasi di Indonesia.

Aksi ini dilakukan setelah pemerintah dan DPR berencana mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat paripurna yang diselenggarakan pada Selasa, 6 Desember 2022, meski aturan ini ditolak masyarakat.

Agenda tabur bunga makam hingga membentangkan spanduk raksasa dilakukan pada hari itu di depan gedung DPR.

Aliansi menjelaskan, RKUHP adalah produk hukum negara yang lagi-lagi dibentuk pemerintah dan DPR, dengan tidak partisipatif dan tidak transparan. Bahkan, mereka menganggap draf terbaru  rancangan aturan ini baru dipublikasi pada 30 November 2022, dan masih memuat sederet pasal bermasalah yang selama ini ditentang publik, karena akan membawa masyarakat Indonesia masuk ke masa penjajahan oleh pemerintah sendiri.

Baca Juga: Komnas HAM Desak Pemerintah dan DPR Hapus Pasal Genosida pada RKUHP

3. Semua bisa dijerat RKUHP

Aliansi Aktivis Beber 12 Alasan Tolak RKUHP yang Disahkan DPR Hari IniKetua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M Isnur (IDN Times/Lia Hutasoit)

Sementara, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur, menjelaskan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bisa menjangkau siapa saja, seperti tagar yang selama ini bertebaran di media sosial yakni #semuabisakena.

"Jadi pidana itu, KUHPidana itu mengatur kita semua tiap individu tanpa terkecuali yang di Indonesia, WNI atau WNA, tua atau muda, anak-anak atau dewasa, semuanya bisa kena, karena ini menyangkut setiap orang," kata dia di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/12/2022).

Isnur mengatakan, hukum pidana yang dimuat di RKUHP jika disahkan bisa menjangkau semua orang, dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi.

"Anda bangun tidur dengan pasangan Anda, hidup bersama, terus tiba-tiba diadukan, Anda kena pidana. Apa hubungannya polisi masuk kamar saya," katanya.

Topik:

  • Rochmanudin
  • Rendra Saputra

Berita Terkini Lainnya