Amnesty Nilai 2021 Jadi Musim Kriminalisasi Kebebasan Berekspresi

UU ITE dinilai jadi alat pengekang kebebasan berekspresi

Jakarta, IDN Times - Amnesty International Indonesia menilai kasus kriminalisasi dan represi terhadap warga yang menggunakan haknya untuk kebebasan berekspresi terus terjadi sepanjang 2021. Salah satu metodenya, dengan penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Hal itu diungkapkan Amnesty International Indonesia dalam catatan akhir tahunnya atau CATAHU 2021. Mereka menilai tahun 2021 masih menjadi musim kriminalisasi kebebasan berekspresi.

"Kami berharap di tahun 2022, pemerintah, parlemen dan aparat penegak hukum melaksanakan kewajiban mereka untuk mengedepankan perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi masyarakat-bukan mengabaikannya demi kepentingan lain,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangan persnya, Senin (13/12/2021).

1. Setidaknya 83 kasus pelanggaran gunakan UU ITE

Amnesty Nilai 2021 Jadi Musim Kriminalisasi Kebebasan BerekspresiIlustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Menurut pemantauan Amnesty International Indonesia, setidaknya terdapat 83 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE sepanjang 2021. Angka ini memang menurun dari tahun 2020, yakni 119 kasus.

Kasus pelanggaran kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE disebut mencapai 98 orang korban. Pembungkaman dengan UU ITE ini, menurut Amnesty International Indonesia, kerap terjadi kepada mereka yang mengkritik pihak yang lebih berkuasa.

Baca Juga: Amnesty Minta Jokowi Bebaskan Tahanan yang Dijerat dengan UU ITE

2. Kasus yang dijerat dengan UU ITE

Amnesty Nilai 2021 Jadi Musim Kriminalisasi Kebebasan BerekspresiUsman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dalam konferensi pers Amnesty International Indonesia secara daring Senin (13/12/2021). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Dua contoh kasus yang dijabarkan Usman adalah yang dialami Stella Monica serta M Asrul. Kasus Stella Monica dituntut satu tahun penjara dan dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena mengunggah keluhannya tentang iritasi kulit yang ia alami setelah melakukan perawatan di sebuah klinik kecantikan di Surabaya ke media sosial.

"Dia dijadwalkan untuk divonis pada tanggal 14 Desember," ujar Usman.

Sedangkan, seorang jurnalis di Palopo bernama M Asrul dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait pencemaran nama baik karena menulis berita tentang dugaan korupsi proyek besar di Palopo pada Mei 2019. Asrul telah divonis bersalah dan dihukum dengan tiga bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palopo pada 23 November 2021.

"Kedua kasus ini kembali menunjukkan urgensi revisi UU ITE dengan perspektif perlindungan hak masyarakat, bukan hanya fokus pada ketertiban umum," kata Usman.

3. Negara dinilai sudah atur hak atas kebebasan berpendapat

Amnesty Nilai 2021 Jadi Musim Kriminalisasi Kebebasan BerekspresiIlustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Penggunaan pasal makar, kata Usman, juga digunakan mengkriminalisasi penyampaian pendapat politik secara damai juga terus berulang, terutama di daerah Maluku dan Papua. Per Desember 2021, Amnesty mencatat masih ada setidaknya 26 tahanan hati nurani di Maluku dan Papua yang ditahan atas tuduhan makar hanya karena mengekspresikan pendapatnya secara damai.

"Terakhir, pada awal Desember, ada delapan mahasiswa di Jayapura yang dijadikan tersangka kasus makar hanya karena mengibarkan bendera Bintang Kejora," ujarnya.

Hak atas kebebasan berpendapat sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dijamin di Pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang dijelaskan lebih lanjut di Komentar Umum Nomor 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hal tersebut pun juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3), serta pada Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Baca Juga: Hari HAM Sedunia, Jokowi: Jangan Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya