Cegah Perkawinan Anak, Perlu Segera Rekayasa Budaya

Cegah perkawinan anak demi meningkatkan kualitas hidup

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Indonesia telah mengesahkan batas minimal usia pernikahan 19 tahun. Tetapi, perkawinan anak masih menjadi tantangan serius yang harus dihadapi Indonesia. Praktik perkawinan anak, terlebih dengan adanya pandemik COVID-19, masih kerap terjadi.

Maraknya perkawinan anak karena sebagian budaya masyarakat menganggap, bahwa perkawinan adalah jalan keluar dari berbagai permasalahan.

Guna mencegah hal ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) periode 2004-2009, Meutia Hatta, yang juga Pembina Yayasan Mitra Daya Setara (MDS) mengatakan, perlu pendekatan budaya melalui rekayasa budaya (Cultural Engineering) yang harus segera dilakukan.

“Faktor budaya menjadi hal yang harus dikaji lebih dalam untuk memastikan upaya penanganan tingginya prevalensi perkawinan anak di berbagai wilayah Indonesia telah dilakukan. Itulah sebabnya rekayasa budaya saat ini, merupakan tuntutan yang harus dilakukan segera dan tidak bisa ditunda lagi," kata Meutia dalam Webinar ‘Pendekatan Budaya dalam Mencegah Perkawinan Anak’ yang diselenggarakan sebagai rangkaian Peringatan Hari Ibu (PHI) ke-92 tahun 2020, Senin (14/12/2020).

Dia mengatakan, hal yang harus dilakukan yakni dengan menanamkan pola pikir baru yaitu membangun semangat, inisiatif, dan kreativitas berkarya kepada anak perempuan dan orang tuanya sebagai bekal hidup sebelum menikah.

Baca Juga: UNICEF dan Tulodo Mulai Gerakan Pencegahan Perkawinan Anak di Bone

1. Mencegah perkawinan anak adalah bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup

Cegah Perkawinan Anak, Perlu Segera Rekayasa BudayaPendekatan Budaya dalam Mencegah Perkawinan Anak (Dok. Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)

Menurut Meutia, upaya ini harus menjadi bagian dari pembangunan karakter bangsa Indonesia, serta pembangunan kebudayaan nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menghasilkan manusia Indonesia yang unggul.

Meutia menambahkan, rekayasa budaya memerlukan proses panjang yang kontinyu, harus dipantau dan dievaluasi secara berkala.

“Khusus bagi kaum perempuan Indonesia saat ini, mencegah perkawinan anak adalah bagian dari upaya peningkatan kualitas hidupnya, agar setara dan saling melengkapi dengan laki-laki dalam membangun Indonesia yang memiliki berbagai tantangan baru dari zamannya, kini dan di masa depan,” ujar Meutia.

2. Perkawinan anak sering dilakukan karena dianggap sebagai solusi

Cegah Perkawinan Anak, Perlu Segera Rekayasa BudayaPendekatan Budaya dalam Mencegah Perkawinan Anak oleh Menteri PPPA, Bintang Puspayoga (Dok. Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)

Sementara Menteri PPPA saat ini, Bintang Puspayoga mengatakan, praktik perkawinan anak sering dilakukan keluarga dan masyarakat karena dianggap solusi dan membawa kebaikan bagi perempuan.

Padahal, kata Bintang, perkawinan anak adalah masalah sosial yang masif dan memasuki tahap darurat. Meski semua tradisi, adat, dan budaya memang memiliki makna dan maksud yang baik.

"Namun, dengan perkembangan yang ada, baik secara sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan, kita harus menyesuaikan pola hidup, pola perilaku, dan pola pikir dengan perkembangan zaman, tentunya dengan tidak meninggalkan kebaikan dan makna dari tradisi tersebut. Dengan begitu, identitas kita akan tetap terjaga dan tidak melanggar moralitas. Berbagai konstruksi sosial yang merugikan perempuan dan anak dalam bentuk apapun harus dihapuskan,” kata dia.

Masalah pernikahan anak, kata Bintang, patut menjadi perhatian dan harus diwaspadai, mengingat perkawinan anak bisa berdampak dan berisiko, mulai dari belum cukupnya kesiapan fisik, mental, putus sekolah, hingga meningkatkan angka pekerja anak dan kemiskinan lintas generasi.

3. Pentingnya pendekatan agama dalam mencegah perkawinan anak

Cegah Perkawinan Anak, Perlu Segera Rekayasa BudayaPendekatan Budaya dalam Mencegah Perkawinan Anak oleh Menteri PPPA Periode 2009-2014 Linda Amalia Sari Gumelar (Dok. Humas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)

Sedangkan Menteri PPPA periode 2009-2014, Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan, selain faktor ekonomi, faktor yang sangat mempengaruhi perkawinan anak adalah yang lekat dengan kebiasaan, adat istiadat, termasuk asumsi yang diyakini masyarakat setempat.

“Hal inilah yang diindikasikan menjadi faktor paling mempengaruhi maraknya praktik perkawinan anak. Maka sangat penting untuk mengangkat topik ”Rekayasa Budaya (Cultural Engineering) dalam mencegah perkawinan anak," kata Linda.

Linda juga mengatakan, masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh faktor pemahaman tafsir agama yang tidak selalu tepat dengan ajaran sebenarnya, bahkan terkesan mendukung praktik perkawinan anak.

"Pemahaman keliru terhadap penafsiran agama inilah yang harus diluruskan, khususnya terkait ketentuan perkawinan anak. Untuk itu, pada webinar kali ini, kami juga mengangkat topik “Pendekatan Agama dalam Mencegah Perkawinan Anak,” jelas Linda.

Sedangkan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaitunah Subhan mengatakan, perkawinan tidak sesederhana yang dibayangkan, baik dalam hukum Islam maupun hukum negara, keduanya menekankan pentingnya kematangan fisik (baligh) dan kematangan psikis (aqil), serta kematangan mental bagi pasangan yang ingin menikah demi kemaslahatan rumah tangga.

“Masalah perkawinan sangatlah kompleks, memerlukan kedewasaan dan kebijaksanaan, harus memahami makna dan tujuan pernikahan. Jika salah satu pasangan atau keduanya belum siap, maka harus ditunda dari pada nantinya menjadi mudharat (kerugian). Dalam Al-Qur'an sejatinya tidak ada batasan penetapan usia dalam menikah. Hadits Rasulullah SAW pun tidak mendorong atau memerintahkan untuk menikah muda,” ujarnya.

4. Sebanyak 60 persen permohonan pernikahan dari usia anak

Cegah Perkawinan Anak, Perlu Segera Rekayasa BudayaPernikahan di tengah pandemik virus corona di Indonesia (IDN Times/Candra Irawan)

Berdasarkan data statistik UNICEF dan PUSKAPA bekerja sama dengan BAPPENAS dan BPS menunjukkan, dalam kurun waktu 10 tahun (2008-2018), penurunan angka perkawinan anak di Indonesia tergolong rendah yaitu 3,5 persen dan penyebaran kasusnya terjadi di banyak provinsi.

Jumlah anak perempuan yang mengenyam pendidikan selama sembilan tahun di sekolah pun masih di bawah 10 persen, angka ini jauh dari harapan di tingkat nasional.

Selain itu, pada 2019, ada 22 provinsi di Indonesia yang memiliki angka perkawinan anak lebih tinggi dari angka nasional (Data BPS, 2019). Bahkan UNFPA telah memprediksi, sekitar 13 juta perkawinan anak akan terjadi pada 2020–2030 akibat pandemik COVID-19.

Kemudian, Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, pada Januari hingga Juni 2020 menyebutkan, ada 34.000 permohonan dispensasi perkawinan yang diajukan. Dari 97 persen permohonan yang dikabulkan, 60 persen di antaranya diajukan oleh anak.

Baca Juga: Duh! Ada 34 Ribu Permohonan Dispensasi Perkawinan Anak saat Pandemik

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya