Derita Perempuan Tionghoa di Pemerkosaan Massal Glodok-Pluit 1998

Menunggu keadilan yang hingga saat ini belum jelas

Jakarta, IDN Times – Peristiwa Mei 1998 tercatat dalam sejarah. Kelamnya masa itu lekat dengan kerusuhan, demonstrasi mahasiswa, pembakaran, hingga pemerkosaan. Dalam Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) titik picu awal kerusuhan di Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat, tepatnya wilayah seputar Universitas Trisakti pada 13 Mei 1998.

TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, Medan dan Surabaya. Hingga saat ini kasus pemerkosaan Mei 1998 belum menemukan titik terang dan belum dituntaskan.

Pemerkosaan Mei 1998 dianggap jadi bentuk pemerkosaan politik saat tubuh dan seksualitas perempuan dijadikan sebagai alat terror situasi politik yang tengah terbakar di berbagai sisi.

Kejamnya kekerasan seksual pada perempuan Tionghoa yang jadi bulan-bulanan massa, hingga saat ini belum diketahui kejelasannya. Ita Martadinata, korban pemerkosaan Mei 1998, meninggal dibunuh secara misterius sebelum bersuara soal kejadian yang dia alami pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Peliknya, kondisi dan korban yang ada bukan hanya soal sekadar angka, suara yang dibungkam membuat kasus pemerkosaan Mei 1998 makin terkubur ditelanzaman, hingga 24 tahun lamanya.

1. Diderita oleh perempuan etnis Tionghoa

Derita Perempuan Tionghoa di Pemerkosaan Massal Glodok-Pluit 1998Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Laporan TGPF menyajikan data jumlah korban kekerasan seksual yang dilaporkan dan telah diverifikasi dengan diuji lewat tingkatan sumber informasi. Total yang tercatat ada 52 korban pemerkosaan, yang terbagi dalam beberapa kategori dari mana data diperoleh, mulai dari dokter secara medis, keterangan dari orangtua korban, hingga saksi.

Selain 52 korban tadi, ada 14 koran pemerkosaan dengan penganiayaan, dan 10 korban penyerangan atau penganiayaan seksual. Serta 9 orang mengalami pelecehan seksual. Angka ini hanya angka yang hitam di atas putih.

“Kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi di dalam rumah, di jalan dan di depan tempat usaha. Mayoritas kekerasan seksual terjadi di dalam rumah atau bangunan. TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, di mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain,” tulis laporan TGPF dikutip, Minggu (29/5/2022).

Laporan TGPF juga mengungkap, meski korban kekerasan tidak semuanya berasal dari etnis Tionghoa, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 lalu diderita oleh perempuan etnis Tionghoa. Korban kekerasan seksual juga bersifat lintas kelas sosial.

2. Ditarik dari mobil, dilucuti pakaiannya lalu diperkosa di jalan

Derita Perempuan Tionghoa di Pemerkosaan Massal Glodok-Pluit 1998Ilustrasi pemerkosaan (IDN Times/Mardya Shakti)

Dalam bagian dokumentasi awal nomor 3 laporan TGPF diceritakan juga bagaimana saksi menyampaikan tuturan kejadian pemerkosaan di Muara Angke pada 14 Mei 1998. Kala itu pukul 11.30 WIB beberapa orang di antara massa mencegat mobil dan memaksa penumpang turun, kemudian menarik dua orang gadis keluar dari dalam mobil, pakaian mereka dilucuti dan diperkosa beramai-ramai.

“Kedua perempuan itu mencoba melawan, namun sia-sia” (Saksi mata, Muara Angke, 14 Mei 1998) dalam laporan TGPF.

Berhasil melepaskan diri, dua perempuan korban pemerkosaan itu dibawa saksi ke jalan aman, namun di mata saksi, bukan cuma dua, ternyata ada banyak korban perempuan yang berjatuhan. Selama perjalanan, banyak korban perempuan lainnya tergeletak di jalan dengan wajah ditutupi dengan koran. Mereka rupanya juga disebutkan sebagai korban pemerkosaan.

Laporan TGPF lalu menjelaskan bagaimana pola kekerasan terjadi selama 13-15 Mei 1998, di saat pria berbondong-bondong datang ke pemukiman warga, mengancam, menjarah hingga melakukan kekerasan seksual. Saksi mengungkapkan wajah mereka asing, bukan warga setempat. Adapun korban yang lolos dari pemerkosaan massal, justru karena diselamatkan oleh warga setempat.

Baca Juga: Kelamnya Pemerkosaan di Glodok 1998 yang Menimpa Perempuan Tionghoa

3. Korban perempuan Tionghoa diminta bersaksi di kasus pemerkosaan

Derita Perempuan Tionghoa di Pemerkosaan Massal Glodok-Pluit 1998Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan Ita Fatia Nadia dalam diskusi yang digelar oleh FEH Universitas Ciputra yang bertajuk Melawan Kekerasan Seksual (Mengenang Tragedi Mei'98) (YouTube/ FEH UC)

Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, Ita Fatia Nadia, pada Mei 1998 merekam kejadian tragis tersebut dengan mata. Dia menceritakan bagaimana para perempuan Tionghoa di Glodok --kala itu-- mendapat kekerasan seksual di jalanan saat kerusuhan terjadi. Sekitar tanggal 12 dan 13 Mei, kata Ita, terjadi pemerkosaan di beberapa titik, mulai dari Jembatan Tiga, Jembatan Lima, Glodok, hingga Pluit.

“Tanggal 13 Mei itu saya datang sendiri naik ojek dari kantor Kalyana Mitra, ketika itu saya menjadi ketua Kalyana Mitra, saya bonceng ojek karena kita tidak ada kendaraan, karena suasananya sudah kisruh, banyak penjarahan,” kata dia, dalam diskusi daring Rabu (18/5/2022).

Dari telepon yang Ita terima, ada laporan bahwa para perempuan diseret dengan keadaan compang-camping --benar terjadi-- dan Ita menyaksikan hal itu ketika tiba di jembatan Glodok --di depan Harco. Di mana sejumlah perempuan Tionghoa nampak diseret tubuhnya oleh para laki-laki.

Meskipun terlibat dalam TGPF, Ita mencabut namanya, bahkan sejak permulaan. Dia menjelaskan alasannya tak tergabung dalam penyusunan dokumen itu.

Dia mengatakan, seorang Jenderal Polisi, Mayjen Pol. Drs, Da’i Bachtiar yang namanya juga tertulis dalam laporan TGPF memintanya membawa saksi korban pemerkosaan Mei 1998. Bagi Ita, korban pemerkosaan apalagi perempuan Tionghoa bukan pameran.

“Saya didesak sekali untuk bisa membawa saksi korban, kalau tidak ada saksi korban itu tidak ada perkosaan. Sementara menurut saya, para korban perkosaan ini mereka adalah Tionghoa, yang sudah menjadi kelas dua sebagai perempuan,” kata dia pada Senin (17/5/2022).

4. Merawat ingatan Tragedi Mei 1998

Derita Perempuan Tionghoa di Pemerkosaan Massal Glodok-Pluit 1998Agenda napak Tilas 24 tahun Tragedi Pemerkosaan Mei 98 di TPU Pondok Ranggon (24/5/2922) oleh Perempuan Mahardhika (IDN Times/Lia Hutasoit)

Bagi Ita dan harapan untuk semua orang, tragedi Mei 1998 yang sudah berlalu 24 tahun itu adalah momen perjuangan yang tak akan pernah berakhir hingga menutup mata. Peristiwa kekerasan seksual selama Mei 1998 ini dianggap Ita selalu disangkal dan dilupakan.

"Merawat ingatan adalah membawa kita memanggil kembali memori-memori dari para korban peristiwa Mei 1998 untuk diingat terus-menerus, bahwa bangsa ini telah berutang. Bangsa ini masih berutang kepada sejumlah perempuan yang diperkosa pada Mei 1998 hanya karena untuk saya katakan tumbal dari pergantian kekuasaan di negeri ini," ujar dia.

Menurut dia, masyarakat punya tanggung jawab untuk tetap merawat ingatan tragedi Mei 1998 dan harus jadi gerakan sosial, untuk menyatakan tidak pada pemerkosaan atau kekerasan yang mungkin terjadi ke depannya.

Baca Juga: Napak Tilas Pemerkosaan Mei 1998: Catatan Sejarah yang Kelam

5. Penyelesaian non-yudisial peristiwa pelanggaran HAM berat

Derita Perempuan Tionghoa di Pemerkosaan Massal Glodok-Pluit 1998Infografis Pemerkosaan Mei 1998 (IDN Times/Aditya Pratama)

Penyelesaian non-yudisial dicetuskan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi sebelum November 2000 bakal diupayakan dengan penyelesaian melalui pendekatan non-yudisial seperti melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Dari 15 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM RI, hanya tiga kasus yang diajukan dan diputus oleh pengadilan yaitu, Peristiwa Timor-Timur, Peristiwa Tanjung Priok dan Peristiwa Abepura. Terbaru, Kejaksaan Agung membentuk Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Berat di Paniai, Papua pada 2014. Pembentukan itu berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 267 Tahun 2021 tanggal 3 Desember 2021 yang ditandatangani oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.

“Baru kasus Paniai yang naik ke penyidikan-penuntutan dan segera akan ke pengadilan,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik kepada IDN Times, Jumat (27/5/2022).

“Tapi itu langkah lompatan besar setelah lebih 20 tahun tak ada satu pun kasus hasil penyelidikan Komnas yang ditindaklanjuti Jaksa Agung,” kata dia.

Dia berharap agar kasus Mei 1998 turut ditindaklanjuti secara hukum ke penyidikan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

“TGPF khusus mendalami kasus perkosaan, meski UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM belum muncul, tapi data dan kesimpulan TGPF diperkuat dalam laporan Peristiwa Mei oleh Tim Ad Hoc Komnas HAM berdasarkan UU 26/2000 yang menyimpulkan telah terjadi dugaan pelanggaran HAM yang berat di mana perkosaan masuk di dalamnya,” kata dia.

 

6. Optimisme pengadilan HAM pemerkosaan Mei 1998 bisa dilakukan

Derita Perempuan Tionghoa di Pemerkosaan Massal Glodok-Pluit 1998Agenda napak Tilas 24 tahun Tragedi Pemerkosaan Mei 98 di TPU Pondok Ranggon (24/5/2922) oleh Perempuan Mahardhika (IDN Times/Lia Hutasoit)

Dengan adanya UU TPKS, kata Koordinator Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi, harusnya bisa memutus alasan bahwa kasus perkosaan Mei 1998 ditolak pengadilan HAM Ad Hoc karena terus disangkal oleh negara dengan dalih tidak ada korban yang mau bersaksi. 

Serta kasus Marsinah yang tak diakui sebagai pelanggaran HAM. Padahal, ada bukti hasil kekerasan yang dialami mendiang Marsinah dan dengan melihat dari UU Nomor 26 Tahun 2000 membahas tentang pengadilan hak asasi manusia, khususnya untuk pelanggaran berat, yakni tidak berlakunya ketentuan kedaluwarsa dalam pelanggaran HAM yang berat.

“Mekanisme judicial itu mungkin, pengadilan HAM itu bisa dilakukan,” kata dia.

Meskipun fakta-fakta pemerkosaan Mei 1998 tidak dapat disangkal, tetapi negara masih belum bisa mengungkapkannya. Ika menyebut, ketika ditagih keadilan bagi korban, justru berkelit bahwa kasus pemerkosaan Mei 1998 sulit untuk diusut.

“Karena tidak ada korban yang mau bersaksi,” kata Ika pada agenda Napak Tilas 24 tahun Tragedi Perkosaan Mei 98 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Selasa (24/5/2922).

Topik:

  • Rendra Saputra

Berita Terkini Lainnya