DPR Usul Omnibus Law Diberi Nama 'Ciptaker' Bukan 'Cilaka', Kenapa?

Kata 'cilaka' dinilai berkonotasi negatif

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena merasa penyebutan singkatan RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) baiknya diubah menjadi Ciptaker. Ia mengatakan singkatan 'cilaka' dapat menjadi pukulan bagi pemerintah.

"Nanti, jadi macam negatif itu (diingat publik)," Kata Melki dalam sebuah diskusi bertajuk 'Omnibus Law dan Kita' di Jakarta Pusat pada Sabtu (1/2). 

Melki mengatakan masukan pengubahan nama RUU itu diminta agar tidak dipandang enteng. Lho, memang mengapa?

1. Penamaan RUU 'Cilaka' bisa berbahaya bagi Indonesia

DPR Usul Omnibus Law Diberi Nama 'Ciptaker' Bukan 'Cilaka', Kenapa?Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena (IDN Times/Lia Hutasoit)

Melki meminta agar publik bisa menyebut RUU Omnibus Law Cipta Lapangan kerja dengan istilah Ciptaker. Ia menilai juga penyebutan menjadi 'Cilaka' maka maknanya menjadi bahaya bagi Indonesia. 

"Saya sarankan kita pakai istilah Ciptaker ya, bukan Cilaka. Bahaya Indonesia! Saya beberapa kali pertemuan orang pake istilah Cilaka," kata dia.

Baca Juga: Luhut Sebut Omnibus Law Wujud Keberanian Jokowi

2. Komisi IX meminta agar omnibus law tidak perlu diributkan

DPR Usul Omnibus Law Diberi Nama 'Ciptaker' Bukan 'Cilaka', Kenapa?Aksi penolakan Omnibus Law. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Lebih lanjut, Melki mengatakan pembahasan mengenai omnibus law Ciptaker ini tidak perlu diributkan antara pemerintah, buruh dan pengusaha. Baginya, ketiga pihak bisa saja duduk bersama. 

"Buruh maunya sejahtera, pengusaha maunya buruh sejahtera. Perusahaan jalan, buat negara ini ada pendapatan masuk dari kerja ekonomi untuk bantu rakyat miskin. DPR bisa menyatukan, memfasilitasi, perdebatan, ruang diskusi, sehingga kompromi itu bisa terjadi," kata Melki. 

3. Komisi IX DPR meminta publik tidak berpendapat bahwa RUU Omnibus Law hanya untungkan satu pihak

DPR Usul Omnibus Law Diberi Nama 'Ciptaker' Bukan 'Cilaka', Kenapa?Aksi penolakan Omnibus Law. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Melki mengatakan Omnibus Law seharusnya menjadi solusi bersama. Caranya dengan duduk bersama untuk mencari kesepakatan. Selain itu, perspektif RUU Omnibus Law hanya menguntungkan satu pihak saja, tidak tepat. 

"Kita harus keluar dari pola pikir bahwa undang-undang ini seolah-olah hanya pasti menguntungkan salah satu unsur. Itu tidak benar," ungkapnya. 

Baca Juga: Ini Lho Poin-Poin Omnibus Law Cilaka yang Didemo Buruh

Topik:

Berita Terkini Lainnya