Draf RKUHP Terbaru Belum Muncul, SETARA Institute: Abai Partisipasi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) rencananya akan disahkan pada Juli 2022. Sejumlah pasal di dalamnya turut jadi perhatian, belum lagi beleid yang segera disahkan ini belum dibuka ke publik. Ada pun yang bisa diakses oleh publik adalah versi September 2019.
SETARA Institute memberikan sejumlah pandangan terkait RKUHP yang rencananya akan disahkan pada akhir Masa Persidangan V DPR Tahun Sidang 2021-2022. Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani mengatakan pihaknya menyayangkan ketiadaan itikad pemerintah untuk membuka draf terbaru RKUHP kepada publik.
"Lagi-lagi, pembentuk undang-undang abai akan meaningful participation yang seharusnya diimplementasikan dalam setiap proses legislasi. Bagaimana masyarakat bisa didengarkan haknya (right to be heard), dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan diberi penjelasan atas pendapat yang diberikan (right to be explained), jika draft RKUHP sebagai bahan untuk proses deliberatif saja tidak diberikan," kata dia dalam keterangan tertulis, Jumat (24/6/2022).
1. Penghidupan kembali pasal penghinaan pemerintah
Dia juga turut menyinggung penghidupan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden-Wakil Presiden, dan pemerintah, yang diejawantahkan kembali dalam RKUHP. Hal ini dianggap sebuah bentuk pembangkangan terhadap amanah putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang berarti pula pembangkangan terhadap konstitusi.
"Norma tersebut sangat berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan," kata Ismail.
Dua putusan MK yaitu No. 013-022/PUU-IV/2006 yang telah menganulir pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden yang sebelumnya terdapat di dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP serta Putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007 yang menegaskan penghinaan terhadap pemerintah dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP telah bertentangan dengan UUD NKRI 1945.
Baca Juga: LBH Jakarta Tuntut Pembahasan RKUHP Transparan
2. Turut singgung pasal soal kumpul kebo
Editor’s picks
SETARA Institute juga menyayangkan masih adanya pasal soal kohabitasi atau istilah yang kerap disebut kumpul kebo dalam RKUHP. SETARA mengamini kohabitasi adalah perbuatan amoral, namun tidak semua perbuatan yang dianggap tercela dalam konteks agama secara otomatis dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
"Terlebih, hukum pidana seharusnya diterapkan sebagai ultimum remidium (upaya terakhir) dalam membenahi persoalan sosial manakala institusi sosial tidak lagi berfungsi. Pasal ini menjadi bukti bentuk intervensi negara yang terlalu eksesif terhadap ranah privat setiap individu," ujarnya.
3. Penerapan hukuman mati dinilai paradoks
Pihaknya menyesalkan masih diadopsinya pidana mati dalam substansi RKUHP. Sekalipun pidana mati sebagai ultimum remidium, namun penerapan hukuman mati adalah sebuah paradoks terhadap upaya pemenuhan hak hidup yang menurut konstitusi merupakan HAM yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun.
"Terlebih, berdasarkan catatan Amnesty International, tren global pada tahun 2020 menunjukkan 142 negara sedang mengarah pada penghapusan hukuman mati, dan hanya 52 negara termasuk Indonesia yang masih konsisten dengan penerapan hukuman mati. Alih-alih menghapus, pemerintah justru menambah deretan regulasi soal pidana mati dengan menyisipkan pidana mati dalam draft RKUHP," ujarnya.
Ismail juga mengungkapkan kekecewaan adanya contradictio interminis perihal pasal penodaan agama yang dirasa sudah progresif tapi tetap mempertahankan pasal penodaan agama yang secara nyata selama dianggap menjadi akar dari banyaknya intoleransi dan diskriminasi.
4. SETARA Institute desak draft RKUHP terbaru dibuka ke publik
Dengan sejumlah hal yang dibahas Ismail, SETARA Institute mendesak pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM juga Komisi III DPR untuk membuka draft RKUHP versi terbaru guna memberikan ruang deliberatif kepada masyarakat. Serta menentang keras dan menolak terhadap pasal-pasal RKHUP yang diskriminatif dan menjadi instrumen kelembagaan pelanggaran hak konstitusional warga negara.
Dia juga berharap amanah putusan MK bisa dipatuhi dengan cara membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden dan pemerintah dalam substansi RKUHP. SETARA Institute juga mendesak DPR bersama pemerintah untuk meninjau ulang dan membatalkan pasal-pasal dalam RKUHP yang berdampak pada kriminalisasi warga negara.
Baca Juga: HUT Jokowi, Mahasiswa Gelar Demo RKUHP Hari Ini