Dunia Kini Darurat Iklim dan Indonesia Berkontribusi di Hal Ini
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Laporan dari Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menjelaskan bahwa hanya tersisa 12 tahun untuk mencegah bencana iklim ekstrem karena suhu akibat pemanasan global akan naik di atas 1,5 derajat.
Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI, Yuyun Harmono, menyebutkan bahwa kondisi perubahan iklim saat ini sudah genting.
"Jadi kondisi secara global sudah cukup genting, makanya kemudian bisa disebut saat ini sebagai darurat iklim atau krisis iklim," Ujar Yuyun saat dihubungi IDN Times pada Kamis (19/9).
1. Komitmen negara di dunia pada pengurangan emisi karbon
Negara-negara berkembang dan maju saat ini harus lebih berkomitmen mengurangi produksi emisi mereka.
"Tentu melihat sejarah emisi historis masing-masing negara berbeda, sehingga komitmennya harus tiga atau empat kali lipat dari standar sekarang," kata Yuyun.
Tiongkok sendiri merupakan negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Pada tahun 2018, produksi emisi karbon dioksida di seluruh dunia menembus angka 40,9 miliar ton, naik 2,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Baca Juga: Cara Bantu Kurangi Perubahan Iklim, Yuk Coba Hindari 4 Kebiasaan Ini
2. Berkaca dari sumber emisi utama di Indonesia
Editor’s picks
Mengurangi jumlah emisi di Indonesia harus dilakukan dengan menyelidiki kembali sumber utama emisi di Indonesia. Sumber utama emisi di negara ini adalah sektor berbasis lahan.
"Kita harus lihat sumber emisi utama di Indonesia, sumber utama emisi di Indonesia masih dari sektor berbasis lahan yakni penggundulan hutan atau deforestasi, degradasi hutan dan lahan, alih fungsi lahan untuk properti atau buka lahan, dan juga kebakaran hutan dan lahan, itu sumber emisi utama Indonesia," ujar Yuyun.
Menurut WALHI, jika masih ada kebakaran hutan, sama saja indonesia masih berkontribusi untuk krisis iklim.
3. Harus ada perubahan secara struktural
Gaya hidup hanya sedikit membantu perubahan iklim. Perubahan gaya hidup dengan mengurangi konsumsi energi listrik atau mengurangi sampah plastik memang bagus. Namun, peran pemerintah sangat penting untuk membangun perubahan secara struktural. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri harus menghentikan aktivitasnya.
"Kalau kita berubah gaya hidup tapi korporat membuat tambang batu bara dan membangun PLTU batubara, ya sama saja," pungkas Yuyun.
Perubahan gaya hidup akan kurang bermakna harus ada keselarasan antara perubahan perilaku dan struktural.
Baca Juga: Efek Perubahan Iklim Ternyata Berdampak pada Turbulensi Pesawat