Heboh Ceramah Oki Setiana Dewi, Ini Deretan Fakta soal KDRT

Kekerasan ini bisa dialami suami, istri, anak hingga ART

Jakarta, IDN Times - Biduk rumah tangga tak selalu berlangsung bahagia usai janji cinta sehidup semati dilontarkan. Tak jarang pasangan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) saat menjalankan kehidupan bersama sebagai pasangan.

Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2021: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020 menjabarkan ada 8.234 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan.

Jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah di ranah
pribadi atau privat, yaitu KDRT dan Relasi Personal, yaitu sebanyak 79 persen atau 6.480 kasus. Ini baru kasus yang dilaporkan, belum lagi kasus-kasus yang tetap disimpan dan tak pernah dibuka.

1. Sudah ada peraturan dan kebijakan untuk KDRT

Heboh Ceramah Oki Setiana Dewi, Ini Deretan Fakta soal KDRTIlustrasi kekerasan perempuan (IDN Times/Sukma Shakti)

Komnas Perempuan menjelaskan bahwa KDRT atau domestic violence merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal.

Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal. Pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban, misalnya tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu.

"Kekerasan ini dapat juga muncul dalam hubungan pacaran, atau dialami oleh orang yang bekerja membantu kerja-kerja rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut," tulis Komnas Perempuan seperti dikutip IDN Times, Kamis, 25 November 2021 lalu.

Sudah ada aturan dan kebijakan terkait kasus KDRT di Indonesia, hal itu termaktub dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Baca Juga: Kian Mengkhawatirkan, Ini Deretan Kasus KDRT Sepanjang 2021

2. Pihak yang dilindungi dalam UU PKDRT dan orang yang dapat menjadi pelaku

Heboh Ceramah Oki Setiana Dewi, Ini Deretan Fakta soal KDRTGERAK Perempuan lakukan aksi di Monas untuk memeringati hari International Women’s Day, di halaman Monas, Minggu (8/3) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Mereka yang menjadi lingkung dan dilindungi dalam UU PKDRT dijelaskan sebagai bermacam-macam pihak. Hal itu tertuang dalam Pasal 2 UU PKDRT, yakni tidak hanya terhadap perempuan, tapi pihak-pihak seperti suami, istri, dan anak.

Kemudian orang-orang yang memiliki hubungan keluarga baik karena darah, perkawinan persusuan, pengasuhan, dan yang menetap dalam rumah tangga serta orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap di dalam rumah tangga tersebut.

Komnas Perempuan menjelaskan siapa saja yang bisa menjadi pelaku KDRT. Pelaku dibagi dalam dua kategori yakni pelaku yang non negara bisa berposisi sebagai suami, pasangan, ayah, ayah mertua, ayah tiri, paman, anak laki-laki, atau pihak keluarga laki-laki lainnya.

Sementara pelaku yang berposisi sebagai aktor negara, selain berposisi secara personal, mereka juga terikat dalam tugas-tugas yang seharusnya dijalankan sebagai aktor non negara.

Baca Juga: Ceramah Oki Setiana Dewi, Kemenag: KDRT Tak Bisa Dibenarkan

3. Ini bentuk-bentuk kekerasan KDRT dan hak korban

Heboh Ceramah Oki Setiana Dewi, Ini Deretan Fakta soal KDRTIlustrasi Perdagangan Perempuan (IDN Times/Mardya Shakti)

Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (General Recommendation No. 19 (1992) CEDAW Committee) menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender yang dimaksud adalah berbagai bentuk kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang terjadi yang berakar pada perbedaan berbasis gender dan jenis kelamin yang sangat kuat di dalam masyarakat.

Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan yang tertuang di UU PKDRT meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.

Dalam pasal 10 UU PKDRT dijelaskan bahwa korban memiliki hak, yakni:

  1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
  2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
  3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
  4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
  5. Pelayanan bimbingan rohani.

Baca Juga: Menteri PPPA: Media Jangan Sudutkan Korban Kekerasan Perempuan

4. Sanksi dan tindakan yang dikenakan kepada pelaku KDRT

Heboh Ceramah Oki Setiana Dewi, Ini Deretan Fakta soal KDRTIlustrasi Penjara (IDN Times/Mardya Shakti)

Pengaturan sanksi di dalam Undang-Undang ini termaktub dalam Bab VIII pada Pasal 44-53. Sanksi yang cukup meliputi kekerasan fisik yang tergolong berat, yang menyebabkan seseorang jatuh sakit atau luka berat hukumannya maksimal 10 tahun dan yang menyebabkan korban meninggal dunia hukumannya maksimal 15 tahun.

Selain itu, KDRT yang termasuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang menyebabkan korban tidak sembuh, hilang ingatan, dan gugur atau matinya janin dalam kandungan dapat dikenakan hukuman hingga 20 tahun.

Layanan bagi pengaduan dan penanganan korban KDRT dapat ditujukan kepada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang terdapat di berbagai provinsi.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya