Gas Air Mata di Kanjuruhan Walau Dilarang FIFA, Bukti Aparat Salah?
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Peneliti Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie mengatakan, penembakan gas air mata dalam peristiwa Kanjuruhan, Malang, 1-2 Oktober 2022 lalu memperlihatkan lemahnya pemahaman situasi dan kondisi oleh aparat dalam penanganan penonton dan kondisi di stadion.
"Pertimbangan kuantitas penonton, keberadaan perempuan dan anak-anak, variasi usia penonton, hingga terbatas dan atau sulitnya akses ke luar tribun penonton stadion diduga nihil dalam pengambilan tindakan tersebut. Akibatnya, banyak penonton yang berdesakan ke luar, sesak nafas, pingsan, serta terinjak-injak untuk mencari jalan ke luar," kata dia dalam keterangannya, Senin (3/10/2022).
1. Larangan FIFA soal penggunaan gas air mata di stadion
Sebenarnya, aturan FIFA soal pengamanan dan keamanan stadion sudah jelas menulis larangan penggunaan gas air mata dan telah tertuang FIFA Stadium and Security Regulations.
Ini bisa dilihat jelas dalam Pasal 19 B tentang petugas penjaga keamanan lapangan (pitchside stewards), yang bunyinya "No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used (senjata api atau 'gas pengendali massa' tidak boleh dibawa atau digunakan)".
Soal penanganan kerusuhan oleh aparat keamanan jadi sorotan utama dalam persoalan ini.
"Bukan hanya tindakan kekerasan, sebagaimana terlihat dalam banyak video amatir yang beredar, tetapi juga penggunaan gas air mata yang untuk mengendalikan massa. Padahal, dalam aturan FIFA penggunaan gas untuk mengendalikan massa dilarang," kata Ikhsan.
Baca Juga: Kisah Menegangkan Tragedi Kanjuruhan, Berawal dari Invasi Satu Orang
2. Tanda buruk kapasitas aparat tangani persoalan keamanan
SETARA Institute menyampaikan, perlu adanya investigasi menyeluruh oleh pemerintah, seperti di antaranya penggunaan gas air mata, tindak kekerasan aparat, hingga evaluasi komprehensif soal prosedur pengendalian massa dan tata kelola keamanan, oleh panitia penyelenggara dan aparat keamanan.
Editor’s picks
"Kegagalan negara dalam penanganan persoalan keamanan dalam konteks yang sangat sempit, yaitu stadion sepakbola, merupakan penanda buruk kapasitas aparat dalam penanganan persoalan keamanan dalam konteks yang lebih luas di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara," kata dia.
3. Kapabilitas aparatur keamanan dalam penanganan di Kanjuruhan dipertanyakan
Kapabilitas aparatur keamanan dalam penanganan isu keamanan dan massa di stadion Tragedi Kanjuruhan, menurut SETARA perlu dipertanyakan, karena dari video di media massa terlihat banyak aparat seragam TNI yang melakukan tindakan represif berupa tendangan dan pukulan untuk menghalau penonton yang masuk ke lapangan.
"Pendekatan penanganan semacam itu justru memantik keberingasan massa dan meningkatkan eskalasi. Dalam konteks itu, SETARA mempertanyakan kapasitas Polri sebagai penanggung jawab utama keamanan dan kapabilitas panitia penyelenggara dalam tata kelola penyelenggaraan pertandingan," kata dia.
"Lebih jauh dari itu, SETARA Institute mendesak agar mekanisme pembantuan TNI dalam penjagaan keamanan dan penanganan kerusuhan dalam helatan pertandingan sepakbola ditinjau ulang," ujar Ikhsan.
Baca Juga: Fajar dan Andik, Ini Profil 2 Polisi yang Tewas di Tragedi Kanjuruhan
4. Penembakan gas air mata picu eskalasi kondisi
Keterangan pihak kepolisian soal justifikasi penggunaan gas air mata untuk mengendalikan suporter tim yang telah memasuki lapangan, menurut SETARA Institute juga patut disoroti.
Bukan hanya melanggar regulasi FIFA, penembakan gas air mata, terutama ke arah tribun penonton, menurut SETARA justru memicu eskalasi kondisi, sehingga kerusuhan menjadi semakin meluas dan tidak terkendali.
"Pemerintah seharusnya berfokus untuk melakukan evaluasi holistik dan komprehensif atas prosedur pengamanan dalam penyelenggaraan sepakbola di Indonesia, bukan malah mencemaskan sanksi FIFA," kata dia.