Gaspol Bahas RUU TPKS, KemenPPPA Harap Restitusi Jadi Hak Korban 

Dengan tetap tak jadikan keluarga pelaku korban baru

Jakarta, IDN Times - Penyusunan Rancangan Undang–Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), saat ini telah memasuki sidang ketiga. Berkenaan dengan hal ini, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan DPR berkomitmen rumuskan regulasi dengan menitikberatkan perlindungan dan  pemenuhan hak korban kekerasan seksual.

Pada sidang ketiga Panita Kerja (Panja) RUU TPKS menitikberatkan isu restitusi, korporasi dengan tindak pidana kekerasan seksual, pengaturan alat bukti hingga layanan pendampingan bagi korban dan saksi.

“Secara khusus, kami menyampaikan apresiasi atas dukungan DPR RI terhadap usulan pemerintah untuk mengeluarkan restitusi sebagai bagian dari pidana tambahan sebagaimana draft RUU TPKS DPR RI, dan menempatkannya sebagai bagian dari kewajiban tersangka serta hak korban, yang dilakukan melalui penetapan hakim,” kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati dalam keterangannya, Kamis (31/3/2022).

1. Sidang ketiga masih bahas DIM RUU TPKS

Gaspol Bahas RUU TPKS, KemenPPPA Harap Restitusi Jadi Hak Korban Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati (Dok. KemenPPPA)

Usulan ini disebut bertujuan memperkuat pasal yang sudah dirumuskan oleh DPR RI.  Sidang ketiga ini digelar di DPR RI pada Rabu (30/3/2022) yang jadi sidang lanjutan membahas pasal dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TPKS, termasuk di dalamnya usulan pemerintah yang bersifat substantif, dan juga merupakan substansi baru.

“Ini adalah kemajuan penting dalam hukum pidana yang memperlihatkan perspektif korban dalam pemidanaan. Kami juga mengapresiasi kecermatan DPR RI yang mengingatkan pemerintah agar tidak menggunakan istilah Keadilan Restoratif untuk menyatakan larangan melakukan penyelesaian di luar pengadilan terhadap kasus kekerasan seksual. Ini karena konsep keadilan restoratif telah diadopsi oleh peraturan perundangan lain, dan merupakan salah satu terobosan hukum,” ujar Ratna.

Baca Juga: RUU TPKS Terus Digenjot, Mulai Bahas Jenis Kekerasan Seksual  

2. Isu restitusi agar jangan sampai berdampak pada keluarga pelaku

Gaspol Bahas RUU TPKS, KemenPPPA Harap Restitusi Jadi Hak Korban Ilustrasi Badan legislasi DPR RI (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Kemudian, isu soal sita dan perampasan harta pelaku guna pemenuhan restitusi dirasa mendalam, apalagi soal kedudukan harta, baik pelaku individu maupun korporasi. Panja RUU TPKS diklaim sudah berikan pertimbangan untuk pengayaan pemikiran atau sikap antisipatif pada implementasi di lapangan.

KemenPPPA juga beranggapan sangat perlu dipastikan agar tak ada korban baru dari dampak perampasan harta pelaku, seperti keluarganya. Tapi pengaturan soal perampasan harta harus penuhi hak korban dan beri efek jera dan domino di masyarakat.

3. Pendampingan korban kekerasan seksual

Gaspol Bahas RUU TPKS, KemenPPPA Harap Restitusi Jadi Hak Korban Ilustrasi kekerasan pada perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Saksi dan atau korban juga disepakati jadi alat bukti yang sah jika disertai alat bukti sah lainnya. Hakim punya keyakinan bahwa tindak pidana kekerasan seksual itu benar terjadi.

Pembahasan selanjutnya adalah soal pendampingan korban dan saksi dengan ditambahkannya pekerja sosial sebagai pendamping, mengacu pada UU 14 tahun 2019 tentang Pekerja Sosial dan UU 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

“Kehati-hatian yang ditunjukkan dalam proses pembahasan sidang ketiga ini memperlihatkan bahwa DPR RI dan pemerintah sudah satu pemahaman bahwa apa yang kita susun ini harus benar-benar berperspektif korban. Artinya, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan korban baik kebutuhan akan rasa keadilan maupun kebutuhan akan suatu proses peradilan yang fair,” ujar Ratna.

Baca Juga: ICJR Minta Cabut Pasal 27 Ayat 1 UU ITE di RUU TPKS

4. Bahas aborsi hingga perbudakan seksual

Gaspol Bahas RUU TPKS, KemenPPPA Harap Restitusi Jadi Hak Korban Ilustrasi Kekerasan pada Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Ratna mengungkapkan, kekerasan seksual adalah tindak pidana yang punya dimensi fisik dan psikis, maka rumusan soal pendampingan dan alat bukti adalah suatu yang krusial juga untuk dirumuskan.

Pemerintah dan DPR sepakat untuk merumuskan kebutuhan korban penyandang disabilitas, maka dari itu pendamping perlu juga dirumuskan baik itu dari individu dengan profesi khusus hingga lembaga pelayanan. Sejumlah isu RUU TPKS lainnya yang digaungkan adalah soal aborsi dan pemaksaan hubungan seksual yang belum terakomodasi dalam KUHP. 

Pemerintah juga diminta buat konsepsi soal sistem atau mekanisme victim trust fund atau dana bantuan korban yang dikelola negara dari sanksi finansial dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagai bagian pembahasan dari restitusi. KemenPPPA dan DPR juga turut membahas isu kekerasan seksual berbasis online, eksploitasi seksual termasuk juga perbudakan.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya