Hari Anti Penyiksaan Internasional, Indonesia Perlu Ratifikasi OPCAT
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Hari Anti Penyiksaan Internasional yang diperingati setiap 26 Juni, masih menyisakan catatan merah di Indonesia. Sebab tindak penyiksaan atau kekerasan di Indonesia masih kerap terjadi, meski negara ini sudah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
"Meski telah diratifikasi sejak 1998, namun ironisnya kasus-kasus penyiksaan masih terus terjadi," kata Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, dalam webinar dalam rangka memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional, Selasa (28/6/2022).
1. KuPP terus dorong agar OPCAT diratifikasi
Dia menjelaskan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 jarang digunakan sebagai rujukan dalam menangani kasus-kasus penyiksaan yang ada. Maka itu, sejumlah lembaga hak asasi manusia yang tergabung di Kerja untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) terus mendorong pemerintah Indonesia, agar segera meratifikasi Optional Protocol Convention Against Torture (OPCAT), yang merupakan protokol pilihan guna mengatur mekanisme pencegahan penyiksaan. Perjanjian ini menambahkan klausul dari perjanjian pokok yaitu konvensi menentang penyiksaan.
"Titik perhatian protokol ini adalah pencegahan melalui pengawasan atas tempat-tempat tahanan dan tempat tercabutnya kebebasan," kata Veryanto.
Baca Juga: Fakta Penganiayaan Sertu Bayu Hingga Tewas yang Dilakukan Anggota TNI
2. UU TPKS jadi bentuk upaya tangani penyiksaan seksual
Veryanto mengatakan meski saat ini pemerintah belum meratifikasi OPCAT, tapi ada langkah yang perlu diapresiasi yakni pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang di dalamnya memuat bentuk kekerasan seksual berupa penyiksaan seksual.
Editor’s picks
Adanya pembahasan penyiksaan seksual di UU TPKS, menurut Veryanto, diharapkan bisa menangani kasus yang ada dan bahkan mencegah terulangnya kasus serupa.
3. Ditjenpas klaim berikan bimbingan pada warga binaan
Sementara, terkait kekerasan yang terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) dan penjara, Direktur Keamanan dan Ketertiban Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), Abdul Aris, mengatakan pihaknya tak menyempitkan ruang gerak pelaku tindak kekerasan bagi petugas atau warga binaan di dalamnya. Salah satu prinsip pemasyarakatan, kata dia, adalah memberikan bimbingan, bukan penyiksaan.
“Berikan kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kegiatan-kegiatan sosial, untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatannya,” kata dia, dalam kesempatan yang sama.
Baca Juga: Kekerasan Berbasis Gender Online Meningkat, UPTD Diminta Responsif
4. Lapas atau penjara yang berjubel narapidana rentan kekerasan
Veryanto mengatakan kondisi lapas atau rutan di Indonesia yang mengalami kelebihan penghuni, sangat rentan terjadi kekerasan di dalamnya.
“Dengan kondisi seperti itu, Ditjenpas telah mengeluarkan metode untuk menanganinya, yaitu melalui 3+1 Kunci Pemasyarakatan Maju, di mana salah satunya adalah deteksi dini terhadap gangguan keamanan dan ketertiban,” kata dia.