Hari Internasional Penghapusan Perbudakan, Begini Kondisi di Indonesia
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Hari Internasional Penghapusan Perbudakan diperingati setiap 2 Desember. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan Indonesia masih harus membenahi diri guna menguatkan upaya penghapusan perbudakan modern.
"Perdagangan perempuan, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan dan eksploitasi tenaga kerja adalah bagian dari perbudakan modern yang dimaksud," ujar Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangannya, Jumat (3/12/2021).
1. NTT jadi Provinsi dengan kasus perdagangan perempuan terburuk
Komnas Perempuan selama 2015-2020 mencatat ada 1.382 kasus perdagangan perempuan, sebanyak 49 di antaranya langsung masuk ke Komnas Perempuan. Pada 2020, kasus perdagangan perempuan meningkat sebesar 20 persen, hal ini dilaporkan oleh mitra Komnas Perempuan yakni dari 212 jadi 255 kasus.
"Nusa Tenggara Timur mencatat kasus-kasus terburuk perdagangan orang yang berakhir dengan kematian, baik terhadap perempuan juga laki-laki. Implementasi dari UU 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang masih sangat terbatas, pelaksanaan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Buruh Migran Indonesia juga masih belum optimal dalam menutup celah perdagangan orang dengan menggunakan celah penempatan tenaga kerja," kata Andy.
Baca Juga: Pemerintah Laporkan Dugaan Perbudakan ABK WNI ke Dewan HAM PBB
2. Perbudakan seksual oleh suami atau keluarga
Komnas Perempuan juga mencatat 17 kasus perbudakan seksual, pada kurun waktu yang sama, yang sebagian besarnya dilakukan oleh suami dan anggota keluarga suami. Andy mengungkapkan ada juga kasus perbudakan seksual yang dilakukan oleh teman dan orang yang tidak dikenal oleh korban.
Di dalam tindakan ini, korban disekap atau dibuat tergantung sehingga tidak dapat melepaskan dirinya, termasuk dengan menggunakan jerat utang ataupun pengaruh obat-obatan, dan dimaksudkan untuk secara terus-menerus digunakan untuk melayani kebutuhan seksual pelaku.
Dia mengatakan, kasus serupa ini tidak dapat hanya diproses dengan pasal tentang perkosaan. Sayangnya, persoalan perbudakan seksual hanya ditemukan dalam UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan dimana perlu terpenuhi unsur sistematis atau meluas.
"Penguatan payung hukum melalui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual diharapkan dapat memberikan penguatan pada akses keadilan, sekaligus pemulihan bagi korban," kata Andy.
3. Perkawinan anak dan risiko kekerasan
Editor’s picks
Komnas Perempuan mencatat pula 7 kasus pemaksaan perkawinan, termasuk kasus perkawinan anak, dan kasus kawin tangkap, yaitu perkawinan yang didahului dengan perampasan kemerdekaan perempuan.
Perkawinan anak, terutama dengan motif ekonomi dan merujuk pada relasi timpang antara pihak suami dengan keluarga dari pihak anak merupakan bentuk lain dari pemaksaan perkawinan.
"Pemaksaan perkawinan akan merisikokan (anak) perempuan mengalami kekerasan seksual berbentuk perkosaan atau pemaksaan hubungan seksual selama perkawinannya itu," ujarnya.
4. RUU perlindungan PRT belum ada kemajuan
Dalam hal eksploitasi tenaga kerja, Komnas Perempuan mengaku prihatin bahwa hingga saat ini RUU perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) belum menunjukkan sinyal kemajuan dalam pembahasannya.
Dalam jangka waktu 2015-2019 ada 2.148 kasus yang dialami oleh PRT mulai dari kekerasan fisik, psikis, hingga kekerasan ekonomi yang tak jarang berujung kematian. Apalagi saat pandemik risiko mereka lebih tinggi.
Baca Juga: Kurangnya Perhatian pada Perempuan Korban Kekerasan dengan HIV/AIDS
5. Rekomendasi dari Komnas Perempuan pada isu ini
Dengan mempertimbangkan persoalan di atas, Komnas Perempuan memberikan sejumlah rekomendasi:
a) Mendorong DPR RI dan Pemerintah untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga;
b) Mendukung upaya aparat penegak hukum dan pemerintah untuk memperkuat pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana perdagangan Orang dan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Buruh Migran Indonesia
c) Mengingatkan Gugus Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang untuk memperketat fungsi pengawasan dalam memastikan pencegahan dan penanganan perdagangan orang;
d) Mengajak media massa dan masyarakat Indonesia untuk turut serta mengupayakan penghapusan segala bentuk perbudakan, termasuk dan tidak terbatas pada perdagangan orang, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan dan eksploitasi tenaga kerja.