IJRS: Banyak Kasus Kekerasan Seksual Tak Dilaporkan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Penelitian Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) 2020 menunjukkan 57,3 persen masyarakat korban kekerasan seksual memilih untuk tidak melapor dengan alasan takut dan malu.
Peneliti IJRS Marsha Maharani menjelaskan hadirnya Permendikbud-Ristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) diharapkan memperkuat penanganan kasus kekerasan seksual yang mengutamakan hak-hak korban.
“Diharapkan implementasi UU TPKS dan Permendikbud-Ristek PPKS ini dapat mengakomodir pemenuhan kebutuhan pemulihan bagi korban kekerasan seksual,” kata dia dalam talkshow daring yang bertajuk “Esa Hilang Dua Terbilang: Menguji Kolaborasi Payung Hukum Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia”, dilansir Sabtu (28/5/2022).
1. UU TPKS jadi manifestasi perlindungan dan pemulihan korban
Marsha mengungkapkan, UU TPKS jadi manifestasi perlindungan dan pemulihan yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual, yang mana sudah mengakomodir berbagai hak-hak korban seperti hak atas penanganan, hak atas perlindungan, hak atas pemulihan, dan hak pendampingan.
Kemudian, jika dalam UU TPKS diatur soal mekanisme dana bantuan korban atau restitusi sebagai kompensasi negara untuk memperkuat aspek pemulihan korban, dalam Permendikbud Ristek-PPKS juga turut dipastikan pemulihan korban melalui akses kepada pendampingan.
Baca Juga: Parlemen Spanyol Usulkan RUU Kekerasan Seksual, Ini Detailnya!
2. Realita kampus yang tak mengafirmasi korban
Editor’s picks
Dalam praktiknya, Direktur Umum Hope Helps Network, Joce Timoty Pardosi menyoroti realita penanganan kekerasan seksual apalagi di kampus kerap kali dibungkam dan dianggap melecehkan nama baik perguruan tinggi.
“Sehingga, dapat dikatakan lingkungan terdekat korban yaitu kampus, justru tidak mengafirmasi pengalaman korban. Akhirnya korban mencari keadilan lewat media sosial, karena akses korban untuk melapor tidak disediakan dan tidak ditangani dengan baik yang dapat membuat korban bisa menjadi korban kembali,’ ujarnya.
3. Penyintas kekerasan seksual akui pentingnya pendamping
Perspektif tentang perlindungan korban sangatlah dianggap penting, hal ini diutarakan langsung oleh penyintas kekerasan seksual AC. Peran pendamping sangat penting untuk menguatkan, walau kondisi psikologis sebagai korban masih tak karuan untuk menghadapi proses pembelaan hak.
“Dari apa yang saya alami, peran pendamping itu penting sekali. Walaupun kadang secara psikologis pun masih masih chaos, namun setidaknya kehadiran pendamping inilah yang menguatkan. Apalagi dalam kondisi di mana keadilan itu tidak berjalan ke arah korban kekerasan seksual, namun harus merekalah sendiri yang berakit-rakit mencapainya,” kata dia.
4. Berharap aturan yang ada jadi perahu antikaram
AC berharap, adanya dua aturan yang menyasar kekerasan seksual ini dapat membawa keadilan bagi seluruh masyarakat, terlebih korban kekerasan seksual serta memberi kekuatan bagi penyintas, korban dan pendamping
“Saya berharap UU TPKS dan Permendikbud Ristek ini menjadi perahu anti karam yang membawa mereka ke keadilan yang kita sama-sama impikan. Kedua peraturan ini juga harapannya bisa menguatkan saya, penyintas lainnya, dan para pendamping,” kata dia.
Baca Juga: Data Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Sumut Belum Akurat