Jokowi Diminta Evaluasi Bawahannya yang Terlibat Kasus Joko Tjandra
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pakar hukum tata negara sekaligus Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jantera, Bivitri Susanti mengatakan bahwa Presiden Joko "Jokowi" Widodo harus turun tangan mengevaluasi kinerja aparat hukum dan pemerintahan dalam menangani kasus Joko Tjandra.
"Kepala negara itu pemegang kekuasaan yang tertinggi, bahkan penegakan hukum yang berada di wilayah kekuasaan eksekutif, artinya kepolisian dan kejaksaan itu juga ada di bawah kekuasaan presiden,” kata dia dalam diskusi daring yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW), Rabu (5/8/2020).
1. Jokowi harus turun tangan dan benahi bawahannya
Sebagai kepala negara, Jokowi dinilai tidak boleh tutup mata atas keterlibatan orang-orang di instansi mulai dari kelurahan, imigrasi, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kepolisian, hingga Kejaksaan Agung dalam kasus hak tagih Bank Bali tersebut.
"Aapalagi terkait unsur Kejaksaan Agung yakni Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang turut serta menerima suap.
"Sesungguhnya kalau Presiden mau dia punya semua kekuasaan yang dia perlukan untuk membenahi semua penegakan hukum yang ada di bawahnya," kata dia
Baca Juga: Mahfud MD: Pejabat yang Melindungi Joko Tjandra Harus Siap Dipidana
2. Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi
Editor’s picks
"Sesungguhnya kalau presiden mau dia punya semua kekuasaan yang dia perlukan untuk membenahi semua penegakan hukum yang ada di bawahnya," kata dia.
Soal kewenangan Jokowi untuk bisa turun tangan, Bivitri menyinggung terkait posisi presiden yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di negara ini. Hal itu dia jelaskan sudah termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.
"Kepala pemerintahan memegang kekuasaan yang tertinggi terhadap penegakan hukum yang berada di wilayah kekuasaan eksekutif," katanya.
3. Sayangkan Jokowi tak lakukan evaluasi kinerja bawahannya
Merunut ke belakang, pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sempat dibentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk mengawasi praktik mafia hukum di lembaga aparat penegak hukum. Satgas ini melaporkan kinerjanya, tetapi hanya aktif selama dua tahun sesuai putusan presiden.
“Dalam laporannya, mereka menerima hampir 5.000 aduan. Bahkan mereka tidak ke beberapa lapas dan lembaga penegak hukum,” ujar dia.
Bivitri pun membandingkan hal itu dengan Jokowi yang dirasanya tidak melakukan upaya evaluasi pada kinerja bawahannya. yaitu aparat penegak hukum, apalagi terkait unsur Kejaksaan Agung yakni Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang turut serta menerima suap
Baca Juga: Dear KPK, Ini 3 Pintu Masuk untuk Bongkar Kasus Pelarian Joko Tjandra