Kejagung: Restorative Justice Tak Berlaku untuk Kasus Pemerkosaan

Minta masyarakat lapor jika ada praktik restorative justice

Jakarta, IDN Times - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengklarifikasi pernyataan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menyinggung praktik jual beli keadilan restoratif atau restorative justice, termasuk di dalamnya terkait kasus pemerkosaan pegawai di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM).

"Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung perlu memberikan klarifikasi dan pemahaman kepada masyarakat agar pelaksanaan keadilan restoratif (restorative justice) demi penegakan hukum humanis tidak tercoreng dengan pemberitaan yang minor dan tendensius walaupun secara spesifik tidak menunjuk langsung kepada lembaga Kejaksaan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Dr. Ketut Sumedana dalam keterangannya, Rabu (18/1/2023).

1. Dasar hukum restorative justice

Kejagung: Restorative Justice Tak Berlaku untuk Kasus PemerkosaanIlustrasi Gedung Kejaksaan Agung (Dokumentasi Kejaksaan Agung)

Dijelaskan bahwa restorative justice didasarkan pada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan ketentuan hukum acara yaitu Pasal 139 dan 140 KUHAP, yaitu Penuntut Umum punya kewenangan dominus litis terhadap perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P.21) dan telah dilaksanakan Tahap II oleh Penyidik.

Kewenangan tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf c yaitu:

“turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya”.

Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 34A yaitu:

“untuk kepentingan penegakan hukum, Jaksa dan / atau Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan dan kode etik”

Baca Juga: Penegak Hukum Diminta Hati-Hati Terjebak Persepsi Keadilan Restoratif

2. Kasus pemerkosaan tidak masuk kategori yang bisa dihentikan dengan restorative justice

Kejagung: Restorative Justice Tak Berlaku untuk Kasus PemerkosaanKepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Hukum Ketut Sumedana (dok. Kejagung RI)

Dalam penerapan restorative justice oleh Kejagung, dijelaskan Ketut, hal yang paling utama adalah adanya upaya perdamaian dari kedua belah pihak dan korban atau keluarganya memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana.

Penerapan restorative justice dalam suatu kasus atau perkara yang sudah Tahap II, memiliki batasan limitatif yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 antara lain:

(1) pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis)

(2) ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun

(3) kerugian yang diderita korban tidak lebih dari Rp2.500.000

(4) dan yang paling penting tindak pidana yang dilakukan tidak berdampak luas ke masyarakat.

Dari persyaratan tersebut, kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual termasuk eksploitasi seksual, tidak termasuk dalam kategori kasus yang bisa dihentikan berdasarkan keadilan restoratif.

Di samping itu, kasus pemerkosaan menimbulkan traumatis berkepanjangan terhadap korban juga berdampak luas kepada masyarakat.

3. Masyarakat dipersilakan laporkan temuan penyalahgunaan restorative justice

Kejagung: Restorative Justice Tak Berlaku untuk Kasus PemerkosaanIlustrasi hukum (IDN Times/Sukma Shakti)

Kejaksaan mengaku memberi apresiasi pada kritik dan saran pelaksanaan restorative justice di setiap daerah, apalagi dalam rangka perbaikan dan fungsi pengawasan terhadap jajaran Kejaksaan yang menyalahgunakan kewenangan terhadap pelaksanaan restorative justice di daerah.

"Untuk itu, kami berharap jika masyarakat menemukan adanya tindakan indisipliner, ketidak profesionalan, penyalahgunaan kewenangan dan tindakan-tindakan tercela yang dapat mencederai rasa keadilan dan mengganggu berbagai kegiatan masyarakat, mohon kiranya dilaporkan kepada pimpinan Kejaksaan," ujar Ketut.

Jika benar, Kejagung kata dia akan memastikan perbuatan serupa bakal ditindak dan dipidanakan. Penerapan restorative justice sudah memperoleh pengakuan dan penghargaan internasional serta diklaim berdampak mengurangi resistensi di masyarakat serta memberikan efek jera sebagai sanksi sosial di masyarakat, serta dapat mengurangi biaya yang tinggi dalam penegakan hukum.

"Oleh karenanya, penerapan keadilan restoratif (restorative justice) harus kita jaga bersama demi penegakan hukum yang lebih baik dan humanis,"' ujar Ketut.

Baca Juga: Wamenkumham: Keadilan Restoratif Solusi Over Kapasitas Lapas 

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya