Kendala Penanganan Kasus KDRT: Perkawinan Wajib Tercatat

Ini jadi kendala implementasi UU PKDRT

Jakarta, IDN Times - Sudah 19 tahun Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) disahkan. Namun, masih ada catatan yang melingkupinya. Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan (FPL), Siti Mazuma mengungkap kasus KDRT masih menemui banyak hambatan.

Dari pendampingan yang dilakukan FPL pada 2022 ada 1.248 KDRT yang masuk kategori kekerasan psikis, serta 559 kasus kekerasan fisik, 526 kasus penelantaran dan 855 kasus kekerasan seksual.

“Hambatan implementasi UU PKDRT dari tahun 2004 hingga saat ini masih sama yaitu persoalan perlunya perkawinan yang dicatatkan sebagai salah satu syarat UU ini bisa diterapkan,” kata dia dalam konferensi pers Memperingati 19 Tahun UU PKDRT di kantor YLBHI, Jakarta, Jumat (22/9/2023).

1. UU ini sulit diterapkan pada perkawinan yang tak dicatatkan

Kendala Penanganan Kasus KDRT: Perkawinan Wajib TercatatIlustrasi Pernikahan (IDN Times/Mardya Shakti)

Siti mengungkapkan UU PKDRT sulit diterapkan pada perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama maupun di Catatan Sipil. 

Persoalan selanjutnya adalah kurangnya kebijakan operasional dalam UU sehingga pada saat ini masih terdapat perbedaan tafsir pada aparat penegak hukum mengenai kasus penelantaran rumah tangga dan perintah pelindungan yang susah didapatkan oleh korban.

Baca Juga: KDRT Bisa Terjadi karena Berbagai Faktor, Bukan Cuma Ekonomi

2. Korban KDRT dihadapkan dengan kriminalisasi

Kendala Penanganan Kasus KDRT: Perkawinan Wajib TercatatKonferensi pers soal Peringatan 19 Tahun UU PKDRT di Kantor YLBHI, Jakarta, Jumat (22/9/2023). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Siti mengungkapan, proses pembuktian kasus KDRT juga tak kalah pelik. Keharusan untuk adanya satu orang saksi ditambah dengan satu alat bukti masih menjadi kendala dalam pembuktian kasus KDRT di tingkat kepolisian. 

“Selain itu, kriminalisasi korban KDRT juga masih terjadi, dimana ketika istri dilaporkan proses hukumnya selalu lebih cepat dibandingkan ketika dia melapor sebagai korban,” kata dia.

3. KDRT urutan kekerasan pertama dari catatan Komnas Perempuan

Kendala Penanganan Kasus KDRT: Perkawinan Wajib TercatatIlustrasi Kekerasan. (IDN Times/Sukma Shakti)

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan yang menempati urutan pertama. Hal ini merujuk dari data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan bahwa 61 persen kasus kekerasan di ranah privat, 90 persen nya adalah KDRT. 

Sementara data dari Kementerian PPPA pada Januari  hingga Juni 2023 mencatat KDRT adalah kasus yang paling banyak dialami oleh korban yaitu sejumlah 7.649 kasus.

Baca Juga: 4 Faktor Kenapa Perempuan Bertahan Terima KDRT dan Toxic Relationship

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya