Komnas Perempuan Kritik Pemerkosaan dan Aborsi Tak Masuk RUU TPKS

Rugikan korban jika harus tunggu RKUH

Jakarta, IDN Times - Komnas Perempuan mengkritik soal isu perkosaan dan pemaksaan aborsi tidak menjadi pengaturan tersendiri dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang akan masuk ke sidang paripurna pekan depan.

Sebagai informasi, pemerkosaan dan aborsi tak diatur dalam RUU TPKS karena dinilai sudah ada dalam RKUHP dan Undang-Undang Kesehatan.

"Perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya adalah isu mahkota dari tindak kekerasan seksual," kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dikutip dari keterangan tertulisnya, Kamis (7/4/2022).

1. Rugikan korban selama masa tunggu hingga RKUHP

Komnas Perempuan Kritik Pemerkosaan dan Aborsi Tak Masuk RUU TPKSAndy Yentriyani, Komisioner Komnas Perempuan/ Pimpinan Transisi (Tangkap Layar Facebook/IDN Times)

Menurut informasi dari pemerintah, RKUHP akan dibahas dan ditetapkan pada sesi sidang Juni 2022 mendatang. Dia berpendapat materi pembahasan RKUHP sangat banyak dan mungkin membutuhkan masa tunggu yang panjang hingga penetapannya. 

"Komnas Perempuan berpendapat bahwa politik hukum ini menghadirkan risiko kerugian bagi perempuan dan perempuan disabilitas korban perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya selama masa tunggu hingga RKUHP ditetapkan," kata Andy.

Andy menjelaskan, perkosaan dan bentuk pemaksaan hubungan seksual lainnya adalah kasus yang terbanyak dilaporkan ke Komnas Perempuan dan lembaga penyedia layanan setiap tahunnya.

Baik itu di ranah personal juga di ranah publik. Dari total 4,323 kasus kekerasan yang dilaporkan ke lembaga layanan sepanjang 2021 di ranah personal dan publik, 2,638 atau sekitar 63 persen adalah kasus perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya.

Baca Juga: Rapat RUU TPKS Setujui Perubahan Sejumlah Pasal, Ini Daftarnya!

2. Pengaturan di KUHP tumpang tindih

Komnas Perempuan Kritik Pemerkosaan dan Aborsi Tak Masuk RUU TPKSIlustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Andy melanjutkan, pengaturan di dalam KUHP bertumpang tindih antara pasal tentang perkosaan, persetubuhan, dan pencabulan.

Pada kasus perkosaan, berupa tindak pemaksaan hubungan seksual di luar penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan, maka ditangani sebagai kasus pencabulan.

Kemudian, kasus perkosaan di mana korban tidak berdaya, memiliki kerentanan berlapis sebagaimana perempuan disabilitas, atau pingsan, dikenakan pasal terkait persetubuhan.

"Pada kasus pencabulan dan persetubuhan, ancaman pidana lebih rendah daripada pasal mengenai perkosaan," ujarnya.

3. Perempuan dewasa yang diperkosa tak bisa nikmati jaminan hukum RUU TPKS

Komnas Perempuan Kritik Pemerkosaan dan Aborsi Tak Masuk RUU TPKSIlustrasi pencabulan. (IDN Times)

Definisi sempit dari perkosaan dan pengaturan pemidanaan, serta hukum acara pidana yang justru kata Andy melemahkan perempuan korban sejak awal, menjadi alasan utama menggagas RUU TPKS pada tahun 2010.

Pelemahan itu, kata Andy, dianggap makin rumit dalam pengalaman perempuan disabilitas korban perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya.

"Pada masa itu, revisi KUHP juga sudah menjadi wacana, tetapi pembahasannya berlarut-larut," ujarnya.

Karena diatur sendiri, RUU TPKS tak mengurai definisi yang disampaikan tapi tergantung pada perubahan di RKUHP. Pasal jembatan RUU TPKS juga memuat tindak persetubuhan tapi hanya bagi anak. Maka perempuan dewasa di atas 28 tahun, yang diperkosa dalam kondisi tak berdaya atau disabilitas, tak bisa nikmati perlindungan hukum dari RUU TPKS. 

"Mengacu naskah yang dihasilkan oleh panitia kerja Baleg DPR pada 6 April 2022, Komnas Perempuan mengusulkan agar muatan pada Pasal 6c menjadi pasal tersendiri sebagai jembatan untuk mengatasi risiko waktu tunggu penetapan RKUHP," katanya.

4. Pasal jembatan sebagai antisipasi kerugian korban

Komnas Perempuan Kritik Pemerkosaan dan Aborsi Tak Masuk RUU TPKSANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Langkah tersebut, kata dia, dapat memastikan RUU TPKS semakin memuat terobosan hukum yang menjadi tonggak penting upaya penghapusan kekerasan seksual.

Perbaikan ini tidak perlu menunggu revisi RKUHP, melainkan menjadi materi yang nanti diharmonisasi dalam proses perumusan revisi KUHP. Pasal jembatan ini dapat mengantisipasi kerugian korban perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya di masa tunggu penetapan revisi KUHP.

Catatan lain terkait tindak pidana adalah pengaturan pelecehan seksual non fisik yang dapat melemahkan posisi korban. Hal ini disebabkan adanya frasa 'dengan maksud' di dalam aturan tersebut, yang justru menurut Andy memberikan peluang bagi pelaku pelecehan seksual untuk menyangkal dampak dari perbuatannya terhadap harkat dan martabat korban.

"Karenanya, pada pasal ini Komnas Perempuan mengusulkan agar koreksi dapat menjadi perhatian pengambil keputusan pada pembahasan berikutnya," ujarnya.

Baca Juga: Bertemu Ketua MA, Komnas Perempuan Bahas Perlindungan Hukum di Aceh

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya