Kurang Pengetahuan, Calon Hakim Ad Hoc HAM di MA Diragukan

Hakim ad hoc HAM seharusnya memiliki pemahaman mendalam

Jakarta, IDN Times - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti calon hakim agung dan hakim ad hoc Hak Asasi Manusia (HAM) dalam lingkup Mahkamah Agung (MA). KontraS meragukan kualitas para calon hakim ad hoc HAM tersebut.

"Berdasarkan pemantauan dan background check terhadap para calon hakim yang kami lakukan sejak tanggal 30 Januari, kami meragukan kualitas dan pemahaman para calon hakim ad hoc HAM yang akan berdampak secara signifikan pada keberadaan proses persidangan yang akan berjalan. Keraguan tersebut terbukti pada wawancara terbuka tanggal 2 Februari 2023 yang kami hadiri," ujar Koordinator Fatia Maulidiyanti, dilansir Sabtu (4/2/2023).

Baca Juga: Sidang Majelis Kehormatan Hakim Berhentikan Dua Hakim Indisipliner

1. Ada calon yang minim pengetahuan soal HAM

Kurang Pengetahuan, Calon Hakim Ad Hoc HAM di MA DiragukanKoordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti saat diwawancarai wartawan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (19/7/2022). Dahrul Amri/IDN Times Sulsel

Dari lima orang yang menjadi calon hakim ad hoc HAM tersebut, nantinya ada tiga yang terpilih untuk mengadili proses kasasi dari pelanggaran HAM berat Paniai yang terdakwanya telah divonis bebas pada Desember 2022.

KontraS pun melihat beberapa calon hakim tersebut sangat minim pengetahuan tentang pengadilan HAM. Mereka juga dinilai belum memahami perbedaan mendasar antara pelanggaran HAM yang dirumuskan dalam UU 39 Tahun 1999 (UU HAM) dengan pelanggaran HAM berat yang dirumuskan dalam UU Pengadilan HAM.

Selain itu, adapula calon yang tak bisa menjelaskan dengan baik unsur utama kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu 'meluas' dan 'sistematis'. Kemudian, ada juga calon hakim yang kebingungan ketika menjawab pertanyaan mengenai mekanisme kompensasi dan restitusi kepada korban pelanggaran HAM berat dengan alasan belum membaca payung hukum.

"Calon yang lain bahkan tidak bisa membedakan mekanisme yudisial dan nonyudisial dalam penyelasaian pelanggaran HAM berat serta tidak memahami pertanggungjawaban komando yang diatur dalam Pasal 42 UU Pengadilan HAM dengan berkata, 'saya belum mengetahui mengenai tanggung jawab komando.' Minimnya pengetahuan tersebut tentu saja berbahaya bagi pengadilan HAM mengingat para calon jika terpilih akan diberi tugas mengadili kasus pelanggaran HAM Berat Paniai pada tingkat kasasi," ujar Fatia.

Baca Juga: Alasan Komnas HAM Buat Tim Ad Hoc Selidiki Pelanggaran HAM Berat Munir

2. Adanya dukungan penyelesaian pelanggaran HAM lewat jalur nonyudisial

Kurang Pengetahuan, Calon Hakim Ad Hoc HAM di MA DiragukanSidang vonis penyiraman air keras Novel Baswedan (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

KontraS menemukan adanya calon hakim yang masih mendukung penyelesaian pelanggaran HAM lewat jalur nonyudisial. Hal ini dianggap mengesampingkan proses pencarian dan akses korban pada kebenaran dalam kasus pelanggaran HAM berat.

Calon hakim juga ada yang tidak memahami soal keberadaan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) hingga ada yang salah menyebut lokasi peristiwa pelanggaran HAM berat Papua.

"Minimnya pengetahuan para calon hakim ad hoc HAM terhadap hal-hal mendasar tersebut menurut kami sangat tragis mengingat para calon merupakan praktisi hukum yang telah berkiprah cukup lama sebagai penegak hukum," katanya.

Baca Juga: Sidang Vonis Sambo 13 Februari, Mahfud Percaya Hakim Bakal Adil

3. Terdapat hakim dengan catatan buruk

Kurang Pengetahuan, Calon Hakim Ad Hoc HAM di MA DiragukanIlustrasi dokumen paspor calon jemaah haji. ANTARA FOTO/Moch Asim/wsj.

Dalam catatan KontraS, terdapat calon hakim yang mempunyai catatan buruk, yakni hakim yang melakukan rekayasa terhadap dokumen kelengkapan pendaftaran hakim. Saat dikonfirmasi oleh Komisioner Komisi Yudisial, yang bersangkutan menyatakan, 'saya mengaku salah dan perbuatan tersebut merupakan perilaku yang tidak etis.' 

Terkait dengan proses rekrutmen calon hakim ad hoc HAM tersebut, KontraS mengaku memahami adanya kebutuhan untuk menemukan calon hakim yang tepat.

Namun proses tersebut dinilai tidak dapat dilakukan secara serampangan dan seadanya mengingat kasus pelanggaran HAM berat memiliki kompleksitas yang berbeda dengan pengadilan umum.

"Dipilihnya hakim ad hoc yang kurang kompeten sesungguhnya telah kami soroti pada kasus pelanggaran HAM Berat Paniai tahun 2022. Untuk itu kami berharap agar hal yang sama tidak kembali diulangi oleh Komisi Yudisial," katanya.

Baca Juga: Bawaslu Awasi Rekrutmen Petugas Ad Hoc Pemilu di Sulsel

4. Berharap hakim ad hoc kali ini bisa menjawab kebutuhan

Kurang Pengetahuan, Calon Hakim Ad Hoc HAM di MA DiragukanEks Wakapolres Paniai Papua, Kompol (purn) Hanafi menyebitkan anak-anak di Paniai di 2014 jadi korban penganiayaan saat sidang di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (6/10/2022). (Dahrul Amri/IDN Times Sulsel)

Pihaknya pun berharap agar hakim ad hoc yang terpilih bisa menjawab kebutuhan keadilan dan pengungkapan kebenaran. Pasalnya, selama ini hal tersebut dianggap gagal dilakukan oleh empat Pengadilan HAM yang telah berjalan, yakni Tanjung Priok, Timor Timur, Abepura, dan Paniai.

"Hakim ad hoc HAM seharusnya memiliki pemahaman mendalam terhadap mekanisme pengadilan HAM khususnya mekanisme pembuktian yang digunakan serta pengetahuan mumpuni terhadap unsur-unsur atau elemen pelanggaran HAM berat dan tidak hanya diloloskan karena ada kebutuhan untuk mengadili kasus tertentu semata," kata Fatia.

Baca Juga: KontraS: PT GNI Bermasalah, Perusahaan dan Negara Harus Tanggung Jawab

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya