Menteri PPPA: Kawin Culik Berkedok Budaya Tak Boleh Lagi Dilakukan

Mengandung unsur kekerasan dan rendahkan martabat perempuan

Jakarta, IDN Times - Ketimpangan gender di Indonesia masih terus terjadi, hal ini karena adanya konstruksi sosial patriarki yang melekat dalam budaya masyarakat. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menjelaskan pihaknya pernah berupaya mengatasi kasus penculikan yang dipersepsikan sebagai kawin tangkap di Sumba, Nusa Tenggara Timur pada 2020 lalu.

Bintang menilai, kawin culik berkedok budaya ini sudah selayaknya tidak dilakukan lagi karena memiliki unsur kekerasan dan merendahkan martabat kaum perempuan.

"Dalam hal melindungi perempuan harus ada komitmen kita bersama tentunya dengan pemerintah daerah, dengan aparat penegak hukum, dan kita harus berjalan bersama-sama, bersinergi, berkolaborasi dalam hal melindungi perempuan dan anak tentunya,” ujarnya dalam dialog di Podcast Kabinet dan Setkab (Podkabs), yang ditayangkan di kanal YouTube, dilansir Senin (9/5/2022).

Bintang menyampaikan, di tahun 2020 tersebut Kementerian PPPA menggandeng semua komponen masyarakat dan pemerintah daerah dan menginisiasi penandatanganan kesepakatan antara pemerintah daerah.

Kemudian ada dukungan oleh aparat kepolisian, tokoh adat, tokoh agama, dan lembaga masyarakat setempat terkait peningkatan perlindungan perempuan dan anak.

1. Ada ketimpangan perempuan dan laki-laki secara nasional

Menteri PPPA: Kawin Culik Berkedok Budaya Tak Boleh Lagi Dilakukanilustrasi perempuan Indonesia (IDN Times/Arief Rahmat)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) perempuan tahun 2021 masih berada di bawah laki-laki. Nilai IPM perempuan sebesar 69,59 sedangkan IPM laki-laki sebesar 76,25 sehingga Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia adalah sebesar 91,27 atau masih ada ketimpangan antara perempuan dan laki-laki.

Konstruksi sosial patriarki di tanah air membentuk perilaku yang lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu.

“Ketika melihat data dan indeks, apakah itu IPM yang mengukur dari aspek pendidikan, kemudian juga ekonomi, kesehatan, ini kan kesenjangan IPM laki-laki dan perempuan ini luar biasa menganggap tinggi, ini kita lihat dari IPG,” ujar Bintang.

Baca Juga: KemenPPPA, KPAI, LPSK Komitmen Restitusi Anak Korban Tindak Pidana

2. Kikis patriarki butuh bantuan banyak pihak

Menteri PPPA: Kawin Culik Berkedok Budaya Tak Boleh Lagi DilakukanMenteri PPPA, Bintang Puspayoga menandatangani nota kesepahaman bersama Kepala BNPT, Boy Rafli Amar di Kantor BNPT Jakarta, Selasa (19/4/2022). (dok. KemenPPPA)

Bintang mengakui, mengikis budaya patriarki yang telah mengakar bukanlah hal yang mudah dan memerlukan dukungan dari semua pihak, termasuk tokoh masyarakat dan tokoh agama.

“Tidak terlepas support dari tokoh masyarakat, tokoh agama. Ini akan menjadi penting untuk bisa menempatkan perempuan adalah sejajar dengan laki-laki, tidak ada lagi marginalisasi, tidak ada lagi stigmatisasi, tidak ada lagi stereotype kepada perempuan. Jadinya perempuan diberikan kesempatan dalam mengakses, kemudian menerima manfaat pembangunan, harus sama gitu,” ujarnya.

3. Pertanyaan pemerintah pusat pada daerah soal program yang dilakukan

Menteri PPPA: Kawin Culik Berkedok Budaya Tak Boleh Lagi DilakukanIDN Times/Lia Hutasoit

Selain itu, Bintang juga menekankan pentingnya dukungan dari pemerintah daerah. Dia menilai, kekuatan dalam pemberdayaan perempuan dan pemenuhan hak anak tidak terlepas dari program kebijakan dari pimpinan daerah.

“Kalau Menteri PPPA datang ke daerah, Menteri PPPA-nya yang minta bantuan kepada gubernur, bupati, wali kota. Apa sih kebijakannya? Apa sih programnya untuk perempuan dan anak di daerahnya masing-masing," kata Bintang.

Baca Juga: Menteri PPPA: Kesenjangan dan Bias Gender adalah Pelanggaran HAM

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya