Pakar Epidemiologi UI Sebut Rapid Test Tidak Perlu, Kenapa? 

Rapid test bukan untuk menanggulangi COVID-19

Jakarta, IDN Times - Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono menilai, rapid test untuk virus corona atau COVID-19 tidak akurat. Karena itu, kata dia, kegiatan rapid test di sejumlah wilayah sebaiknya dihentikan.

"Setop lah semua rapid test, karena itu tidak perlu,” kata Pandu dalam diskusi daring yang digelar oleh Populi Center dan Smart FM Network, Sabtu (4/7/2020). 

Menurut Pandu, hasil rapid test tidak bisa dijadikan acuan apakah seseorang terinfeksi virus corona atau tidak.

"Yang dites itu antibodi. Antibodi itu artinya respons tubuh terhadap adanya virus. Itu terbentuk seminggu atau beberapa hari setelah terinfeksi. Kalau tidak reaktif, bukan berarti tidak terinfeksi. Kalau reaktif, bukan berarti bisa infeksius," kata dia.

Baca Juga: Pandu Riono: Harusnya Presiden yang Pimpin Penanggulangan COVID-19

1. Rapid test bukan untuk menanggulangi COVID-19

Pakar Epidemiologi UI Sebut Rapid Test Tidak Perlu, Kenapa? Dr. Pandu Riono dalam Ngobrol seru by IDN Times dengan tema "100 Hari Pandemik Globql: Workshop Meliput COVID-19". IDN Times/Besse Fadhilah

Antibodi atau respons tubuh yang diperiksa saat melakukan rapid test baru akan terbentuk setelah sepekan atau 10 hari seseorang terinfeksi.

Pandu mengatakan, rapid test hanya dibutuhkan untuk survei serologi yakni mengetahui berapa banyak masyarakat yang terinfeksi COVID-19. Pencarian kasus melalui rapid test, ujar Pandu, bukanlah cara untuk menanggulangi COVID-19. 

2. Rapid test berpotensi dikomersialisasikan

Pakar Epidemiologi UI Sebut Rapid Test Tidak Perlu, Kenapa? Petugas medis melakukan tes cepat (Rapid Test) COVID-19. (IDN Times/Herka Yanis)

Bagi Pandu, rapid test yang kian marak saat ini bisa berpotensi dikomersialisasi. Contohnya ketika seseorang harus melakukan rapid test ketika ingin menggunakan transportasi seperti kereta atau pesawat. Bagi Pandu, hal tersebut tidak berguna.

"Karena kalau tidak, publik rugi, atau banyak uang negara yang seharusnya bisa meningkatkan kapasitas tim PCR, hanya untuk membeli (alat) rapid," kata dia.

3. Pemerintah dinilai lambat tangani COVID-19

Pakar Epidemiologi UI Sebut Rapid Test Tidak Perlu, Kenapa? Warga memakai masker pelindung saat berada di dalam kereta bawah tanah di Shanghai, di tengah wabah penyakit virus corona (COVID-19), China, Selasa (16/6/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Aly Song

Selain itu, Pandu juga menilai bahwa pemerintah pusat terkesan lambat dalam menangani COVID-19 di Indonesia. Banyak langkah yang menurutnya tidak efektif, yang berimbas pada semakin meningkatnya kasus virus corona di sejumlah daerah, salah satunya di Surabaya, Jawa Timur.

Bagi Pandu, satu-satunya cara yang baik untuk mengatasi penyebaran virus corona adalah memberlakukan karantina wilayah atau lockdown. Bukan mengunci negara 100 persen, lockdown yang dia maksud adalah menjaga jarak dan membatasi kegiatan sosial.

"Kalau transportasi dibatasi sejak awal, tak perlu ada heboh-heboh mudik dan sebagainya," ujar Pandu.

Baca Juga: Kepala BNPB Akui Tidak Punya Pakar Epidemiologi Tangani Wabah COVID-19

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya