Pedoman Protokol COVID-19 Kini Dibuat dalam 77 Bahasa Daerah
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim meluncurkan Pedoman Perubahan Perilaku Protokol Kesehatan 3M (Menjaga jarak, Mencuci tangan, dan Memakai masker) dalam 77 bahasa daerah.
Nadiem berpendapat bahwa bahasa yang digunakan untuk sosialisasi pencegahan COVID-19 terbilang rumit untuk dipahami. Karena itu, tantangan komunikasi dan sosialisasi ini harus cepat diselesaikan.
"Mengingat pentingnya konten kampanye pencegahan penyebaran COVID-19 bagi keselamatan masyarakat, sehingga strategi mengubah pesan-pesan itu ke dalam bahasa yang paling dekat dengan masyarakat, yaitu bahasa daerah masing-masing dirasa sangat tepat," kata Nadiem dalam konferensi pers virtual di akun YouTube Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Selasa (1/12/2020).
Baca Juga: Mendikbud Nadiem Ungkap Dampak Negatif Belajar Daring pada Anak
1. Agar penutur bahasa bisa merasa lebih dekat dan lebih memahami pedoman itu
Pedoman yang dikembangkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud yang bekerja sama dengan Satgas Penanganan COVID-19 ini, menurut Nadiem, dapat mendekatkan masyarakat dengan pesan yang ingin disampaikan pemerintah.
Menurut dia, bahasa daerah adalah bahasa ibu yang bisa membuat pesan tersampaikan secara emosional.
"Harapan saya dengan diterjemahkan ke dalam bahasa ibu, para penutur bahasa dapat merasa lebih dekat dan lebih memahami pedoman tersebut. Serta tergerak untuk menerapkan pedoman ke dalam kehidupan sehari-hari," kata Nadiem.
2. Penjelasan tentang COVID harus sederhana dan mudah
Editor’s picks
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Doni Monardo, pada kesempatan yang sama, juga sependapat dengan Nadiem.
Dia mengatakan, pedoman dengan bahasa daerah bisa membuat masyarakat memahami istilah yang terdengar sulit dan asing. Bahasa daerah juga dirasa bisa mempercepat penyampaian informasi pada masyarakat.
Bahasa yang dimaksud contohnya adalah seperti social distancing,
asimtomatik hingga physical distancing.
"Ini tentunya akan sangat sulit untuk masyarakat kita memahami apa yang dimaksud tersebut, padahal penjelasan tentang COVID ini harus secara sederhana dan mudah sehingga bisa diterima dengan baik oleh masyarakat," ujar dia.
3. Tingginya angka COVID-19 diduga karena faktor bahasa yang tidak dimengerti masyarakat
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud Aminuddin Aziz mengatakan, awalnya wacana ini hanya untuk 34 bahasa daerah masing-masing Provinsi. Namun mengingat luasnya wilayah di Indonesia dan ragam bahasa, maka kini berkembang dari 40, ke 75 hingga 77 bahasa daerah.
"Jumlah ini besar kemungkinan akan terus bertambah, karena masih ada beberapa balai dan kantor bahasa yang sedang menggarap penerjemahannya. Perlu kami sampaikan bahwa proses penerjemahan naskah ini dilakukan melalui tahapan yang sangat hati-hati guna menjamin hasilnya," kata dia.
Bahasa juga diterjemahkan ke bahasa awam yakni bahasa yang dipakai sehari-hari. Hal itu diharapkan agar masyarakat mudah mengerti. Pedoman dalam 77 bahasa ini juga sudah melalui tahap uji coba dan evaluasi.
"Pengamatan Satgas COVID-19 nasional menunjukkan, masih tingginya angka korban COVID-19 patut diduga salah satu faktornya terkait dengan ketidakmengertian masyarakat tentang bahaya pandemik ini. Bahasa dan istilah yang digunakan terlalu asing bagi mereka, sehingga mereka menjadi acuh tak acuh," kata Aziz.
Baca Juga: Kasus COVID-19 di Bali Naik, Luhut: Sepakat Jangan Ada Kerumunan Lagi!