Pekerja Rumah Tangga Alami Kekerasan, Kerap Tak Dianggap di UU PKDRT

Padahal pekerja rumah tangga adalah subjek hukum di UU PKDRT

Jakarta, IDN Times - Sudah 19 tahun Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) disahkan. Namun ada berbagai catatan yang diberikan terkait implementasinya. Salah satunya soal pekerja rumah tangga yang masuk dalam subjek hukum di beleid ini.

Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Lita Anggraini mengatakan UU ini tidak tersosialisasikan dengan baik. Karena kerap kekerasan pada PRT dianggap tidak masuk dalam pelanggaran KDRT. Sementara  Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT)  belum juga disahkan hingga detik ini.

“Dan selama ini kekerasan terhadap pekerja rumah tangga tidak dianggap sebagai bagian dari pelanggaran terhadap PKDRT. Jadi kalau kita melihat dari data, kasus-kasus yang dalam itu ada KDRT, multi kekerasan dari kekerasan dari aspek secara psikis, fisik, ekonomi, artinya itu penelantarannya dan kemudian juga secara seksual. Itu sering dialami oleh rekan-rekan pekerja rumah tangga,” kata dia dalam konferensi pers di kantor YLBHI, Jakarta, Jumat (22/9/2023).

1. KDRT pada PRT sebagai pekerja dan juga seorang istri

Pekerja Rumah Tangga Alami Kekerasan, Kerap Tak Dianggap di UU PKDRTSidang Perdana PRT Korban penyiksaan di Apartemen Simprug, Jakarta Selatan. Sidang berlangsung di PN Jaksel pada Senin (5/6/2023). (dok. JALA PRT)

Lita juga melihat, banyak kasus yang tidak diproses secara layak. Kerap kali polisi tidak memproses hukum kasus kekerasan pada PRT. Apalagi saat di pengadilan, tak jarang hukuman yang diberi terbilang ringan.

Dalam penanganan berbagai kasus, Lita mengungkap JALA PRT melihat kesulitan PRT ada di dua ruang, yakni ruang sebagai pekerja dan juga sebagai seorang ibu rumah tangga atau istri.

Saat seorang PRT mengalami kekerasan secara ekonomi seperti tidak mendapat upah layak, tak jarang mereka juga mendapat kekerasan di rumah.

Baca Juga: Aliansi PRT Gelar Mogok Makan di Jakarta, Desak RUU PPRT Disahkan

2. Pekerja perempuan tidak tahu tentang UU PKDRT

Pekerja Rumah Tangga Alami Kekerasan, Kerap Tak Dianggap di UU PKDRTKonferensi pers soal Peringatan 19 Tahun UU PKDRT di Kantor YLBHI, Jakarta, Jumat (22/9/2023). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Sementara, Aktivis dari Perempuan Mahardika, Vivi Widyawati menjelaskan, pada 2020 Perempuan Mahardhika melakukan studi Pengalaman KDRT pada buruh perempuan. Studi ini dilakukan dengan mewawancara 28 buruh perempuan korban KDRT yang bekerja di sektor garmen. 

Dari penelitian tersebut ada sejumlah temuan, salah satunya adalah sulitnya korban melepaskan diri dari KDRT dan bertahan dalam KDRT. Alasannya adalah mereka tidak tahu tentang UU PKDRT.

Selain itu perempuan juga tidak berani melapor karena masih kuatnya perspektif suami adalah kepala keluarga serta minimnya dukungan dari keluarga, masyarakat, tempat kerja dan sosial. 

“Kedua, KDRT sangat berdampak bagi pekerjaan seperti kehilangan konsentrasi kerja, mengalami kecelakaan kerja, produktivitas menurun, hilangnya kemampuan kerja bahkan sampai kehilangan pekerjaan,” kata dia.

3. Minimnya dukungan perusahaan bagi daya tahan pekerja yang alami KDRT

Pekerja Rumah Tangga Alami Kekerasan, Kerap Tak Dianggap di UU PKDRTIlustrasi buruh perempuan (IDN Times/Dhana Kencana)

Studi ini, kata Vivi, menunjukkan bahwa tidak ada dukungan dari perusahaan bagi daya tahan buruh perempuan dalam menghadapi KDRT, bahkan perusahaan mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan buruh perempuan. 

Sistem kerja yang tidak ramah perempuan, sarat dengan kekerasan, sarat eksploitasi; menjadikan isu KDRT diabaikan dalam dunia kerja. Padahal dampaknya terhadap pekerjaan buruh perempuan di tempat kerja, terang benderang. 

“Mengabaikan isu KDRT untuk masuk dalam skema perlindungan buruh perempuan, akan semakin mempersulit perempuan lepas dari jeratan KDRT,” katanya.

Baca Juga: Kendala Penanganan Kasus KDRT: Perkawinan Wajib Tercatat

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya