Pemilu 2024 dalam Perspektif Perempuan

Jakarta, IDN Times - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyoroti minimnya keterwakilan perempuan di kancah politik termasuk di parlemen.
Bintang mengatakan dari hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif nasional (DPR RI) masih 20,8 persen, atau hanya terdapat 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI.
Sedikit meningkat pada 2021, menjadi 123 orang atau 21,39 persen. Ini hasil dari PAW atau pergantian antar waktu. Persentase ini dianggap capaian tertinggi sepanjang sejarah di Indonesia, namun masih jauh dari angka afirmasi 30 persen.
“Masih rendahnya angka keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dan eksekutif juga sedikit banyak berpengaruh terhadap kebijakan yang masih kurang responsif gender, yang belum mampu merespon persoalan-persoalan utama yang dihadapi oleh perempuan dan anak serta kelompok rentan lainnya,” kata Bintang dilansir, Rabu, 20 September 2023.
Hal ini disampaikan Bintang saat menghadiri acara seminar nasional peningkatan keterwakilan minimal 30 persen perempuan di parlemen pada Pemilu 2024, bertema “Suksesi Suara Pemilih Pemula untuk Pemilu 2024”, Rabu, 20 September 2023.
Baca Juga: Komisi II DPR Tolak Revisi PKPU soal Keterwakilan Caleg Perempuan
1. Indeks Pemberdayaan Gender tidak tunjukkan peningkatan signifikan 10 tahun
Bintang mengatakan Indonesia adalah salah satu negara demokrasi besar di dunia, dan sudah sepatutnya meningkatkan ruang partisipasi dan representasi politik perempuan agar terfasilitasi dengan baik.
Bintang menjelaskan, ketertinggalan keterwakilan perempuan dalam parlemen dapat terlihat melalui IDG (Indeks Pemberdayaan Gender) Indonesia yang menunjukkan angka 76,59 pada 2022.
Jika dilansir dari dokumen IDG 2021, IDG Indonesia pada 2021 angkanya adalah 76,26, meningkat 0,69 persen dibandingkan 2020.
"Angka ini pun belum menunjukkan peningkatan yang signifikan selama 10 tahun terakhir. Salah satu faktornya tentu adalah angka partisipasi perempuan di parlemen yang masih rendah, bahkan 26 provinsi berada di bawah angka rata-rata nasional,” katanya.
2. Sistem politik demokrasi tuntut sistem perwakilan inklusif
Sebagai negara demokrasi, Bintang mengatakan, sistem politik demokrasi menuntut kehadiran sistem perwakilan yang inklusif. Lembaga perwakilan yang dipilih melalui pemilu diisi wakil-wakil yang mencerminkan masyarakat yang diwakilinya, salah satunya dari segi gender.
Indonesia, kata Bintang, juga menyepakati paradigma pembangunan dunia yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs) dengan 17 tujuan utama untuk dicapai pada 2030, sekaligus mengagendakan planet 50:50 gender equality, dan salah satu tujuannya adalah kesetaraan gender.
“Pemilu 2024 yang akan datang, merupakan kesempatan emas bagi masyarakat untuk melakukan perubahan positif dalam sistem politik. Salah satu aspek yang sangat mempengaruhi hasil pemilu adalah suara pemilih pemula, yaitu mereka yang baru pertama kali berpartisipasi dalam pemilu atau pemilih muda yang belum memiliki pengalaman politik yang cukup," kata dia.
"Kita semua berharap pemilu 2024 akan menjadi tonggak penting dalam perjuangan untuk mencapai keterwakilan yang lebih adil dan inklusif di parlemen untuk mewujudkan perempuan berdaya, anak terlindungi, Indonesia maju,” sambung Bintang.
Baca Juga: MA Kabulkan Uji Materi soal Hitungan Keterwakilan Perempuan
3. Tidak melihat perempuan sebagai target suara
Editor’s picks
Sementara, Ketua Umum Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP RI), Diah Pitaloka, memeberkan beberapa agenda politik berperspektif perempuan yang telah dilakukan DPR RI. Pertama, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang sudah berhasil disahkan.
Ada juga pembahasan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak. Beleid ini salah satunya ingin meningkatkan kualitas hidup anak Indonesia dengan menyasar 1.000 hari masa awal pertumbuhan awal kehidupan anak. Nantinya akan ada pembangunan, misalnya tempat penitipan anak dan juga ruang-ruang laktasi, serta akses terhadap kesehatan akses terhadap hak ibu dalam pengasuhan anak.
Diah mengatakan yang paling penting dalam sebuah pemilu adalah suara rakyat. Pemilih seharusnya tidak hanya dilihat sebagai target, melainkan subjek dalam demokrasi yang mengawal suara, mengawal fungsi, dan mengawal cita-cita politik dari apa yang benar- benar disuarakan rakyat.
“Para pemilih pemula dan pemilih perempuan seharusnya tidak hanya dilihat sebagai angka atau target suara saja, tetapi juga harus dipikirkan bagaimana membangun strategi agar kepentingan para pemilih pemula dan perempuan tersebut bisa didengar, dan bisa menjadi mainstream atau arus utama isu di dalam sebuah pemilu,” ujar Diah.
4. Pendanaan publik bagi partai politik seharusnya untuk promosikan kesetaraan gender
Sementara, dilansir dari Catatan Awal Tahun Perludem 2022 dijelaskan representasi perempuan dalam politik masih menjadi tantangan utama di semua negara. Pendanaan publik bagi partai politik seharusnya dapat digunakan untuk mempromosikan kesetaraan gender. Misalnya, dengan mengalokasikan sebagian dana publik untuk kegiatan-kegiatan khusus gender.
Selain itu, pemerintah dan parlemen perlu menyediakan dana publik bagi partai politik untuk menyamakan kedudukan politik. Caranya adalah dengan memastikan kriteria alokasi dan distribusinya adil dan akuntabel.
"Memberikan dana pada partai politik yang ditargetkan dengan jumlah partisipasi calon dari kelompok perempuan, difabel, pemuda dan kelompok lain yang kurang terwakili secara politik," demikian catatan Perludem, seperti dilansir Senin (25/9/2023).
5. Keadilan dan kesetaraan untuk perempuan ditempatkan sebagai inti program
Pendapat senada juga disampaikan aktivis dari Perempuan Mahardika, Vivi Widyawati. Ia mengatakan agenda politik yang bersinggungan dengan perspektif perempuan harus dinomor satukan.
Vivi mengatakan, ini bukan soal siapa yang mencalonkan diri dan bagaimana dukungannya, tetapi soal bagaimana kesetaraan untuk perempuan ditempatkan sebagai inti program politik.
"Hak perempuan itu adalah pusat, hal yang penting ketika ingin merumuskan sebuah kebijakan, ketika ingin merumuskan sebuah program politik. Jadi kalau saya sih pandangannya itu. Jadi tidak melihat soal siapa dan siapa, tapi apakah keadilan, kesetaraan untuk perempuan dalam semua hal itu tempatkan sebagai di core (inti) dalam program politik atau tidak, menurut saya, dari situ sisi melihatnya. Sehingga kita selalu kritis terhadap semua hal, termasuk ajang pemilu," katanya.
Baca berita terbaru terkait Pemilu 2024, Pilpres 2024, Pilkada 2024, Pileg 2024 di Gen Z Memilih IDN Times. Jangan lupa sampaikan pertanyaanmu di kanal Tanya Jawab, ada hadiah uang tunai tiap bulan untuk 10 pemenang.