Perempuan Rentan Jatuh dalam Aksi Radikalisme dan Terorisme

Kementeriaan PPPA paparkan alasannya

Jakarta, IDN Times - Kasus terorisme berturut-turut terjadi di dua lokasi yaitu di gerbang Gereja Katedral, Makassar dan di Markas Besar (Mabes) Polri, Jakarta. Kedua aksi terorisme dan radikalisme ini melibatkan perempuan sebagai pelaku.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA), Ratna Susianawati hal ini membuktikan perempuan lebih rentan terjerumus dalam radikalisme dan terorisme sehingga perlu upaya pencegahan khusus.

“Adanya fenomena peningkatan pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme menunjukan perempuan lebih rentan terlibat dalam persoalan ini. Hal ini disebabkan karena faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta adanya doktrin yang terus mendorong bahkan menginspirasi para perempuan, hingga akhirnya mereka nekat melakukan aksi terorisme dan radikalisme,” ungkap Ratna dalam keterangan yang diterima IDN Times, Senin (5/4/2021),

Baca Juga: Cerita tentang Para Perempuan di Balik Aksi Teror 

1. Perempuan rentan jadi sasaran masuknya ideologi menyimpang

Perempuan Rentan Jatuh dalam Aksi Radikalisme dan TerorismeSeorang terduga teroris ditembak di Mabes Polri (Dok. Humas Mabes Polri)

Ratna menambahkan bahwa kerentanan dan ketidaktahuan perempuan juga turut menjadi sasaran masuknya pemahaman dan ideologi menyimpang. Oleh karena itu, menurutnya, perempuan dinilai kerap dimanfaatkan dalam aksi radikalisme dan terorisme.

“Selain itu, keterbatasan akses informasi yang dimiliki dan keterbatasan untuk menyampaikan pandangan dan sikap, juga turut menjadi faktor pemicu. Di sinilah pentingnya ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik untuk membangun karakter anak dengan menginternalisasi nilai-nilai sesuai norma hukum, adat, agama, dan budaya,” kata dia.

2. Sistem ketahanan keluarga dan strategi komunikasi bisa jadi fondasi

Perempuan Rentan Jatuh dalam Aksi Radikalisme dan TerorismeSeorang terduga teroris yang menyerang di Mabes Polri pada Rabu (31/3/2021) (dok. Tangkap Layar KompasTV)

Ratna menilai ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik, sangat dibutuhkan sebagai fondasi dan filter dalam pengasuhan anak di keluarga. Apalagi kemajuan teknologi dan informasi saat ini serta variasi modus-modus kejahatan baru perlu diwaspadai.

Dia mengimbau keluarga mengawasi dan mengontrol anak, memberikan edukasi, menerapkan pola komunikasi yang terbuka dan mudah dipahami.

"Menerapkan pola pengasuhan dengan kesiapsiagaan, dan mendeteksi risiko karena banyak perempuan yang tidak tahu apa saja risiko yang akan ia hadapi, mengingat minimnya pengetahuan,” kata Ratna.

Untuk menangani persoalan terorisme dan radikalisme di Indonesia, kata Ratna, pemerintah tentunya tidak bisa bergerak sendiri. Masyarakat perlu melakukan sistem deteksi dini (early warning system).

Baca Juga: 5 Istilah Terkait Radikalisme Ini Perlu Diketahui, Jangan Offside!

3. Perasaan yang lebih sensitif buat perempuan lebih rentan

Perempuan Rentan Jatuh dalam Aksi Radikalisme dan TerorismeSeorang terduga teroris ditembak di Mabes Polri (Dok. Humas Mabes Polri)

Sementara itu, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Akhmad Nurwakhid menekankan pentingnya memperkuat civil society dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Untuk itu, tokoh agama dan tokoh masyarakat memiliki peran penting dalam memerangi pemahaman dan ideologi menyimpang yang mengarah pada aksi terorisme dan radikalisme.

“Setiap orang berpotensi memiliki pemahaman radikal, disinilah pentingnya ajaran dalam bentuk narasi dari para tokoh masyarakat dan tokoh agama yang mengandung budi pekerti, pembangunan karakter, serta nilai-nilai positif, supaya masyarakat kebal terhadap ancaman pemahaman radikal,” kata Akhmad.

Adanya anggapan perempuan memiliki perasaan yang lebih sensitif, peka, emosi labil, dan memiliki sikap taat pada suami, cenderung membuat mereka lebih mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan teroris laki-laki dalam melakukan aksinya.

“Aksi radikalisme dan terorisme bukanlah bentuk monopoli satu agama, melainkan ada di setiap agama, kelompok, bahkan berpotensi ada di setiap individu manusia. Segala bentuk terorisme yang mengatasnamakan agama, sejatinya adalah manipulator agama dan tidak terkait dengan agama apapun. Ini menjadi musuh kita bersama, kita harus bersatu untuk menanggulanginya,” katanya.

Baca Juga: Kesaksian Seorang Perempuan Dicuci Otak dan Hampir Jadi Teroris

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya