Perjuangan Seorang Ibu dengan Anak Difabel Intelektual, Minim Bantuan

Tak dapat kartu disabilitas dan tak diterima di SLB negeri

Jakarta, IDN Times - Rohmah warga Koja, Jakarta Utara, berjuang merawat putri keduanya yakni Adia Zunia Rachmah (10) yang merupakan peyandang difabel intelektual yang memiliki gangguan mental atau jiwa ADHD.

Kepada IDN Times, Rohmah bercerita bagaimana dia kesulitan mendapatkan akses kartu disabilitas yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Rohmah berharap agar putrinya bisa dapat bantuan untuk tetap bertumbuh dengan baik, meski keadaan ekonomi membuat perawatan Zunia terhambat.

Tak lahir dari keluarga mampu, membuat Zunia menghadapi banyak kesulitan tumbuh sebagai anak penyandang difabel intelektual. Rohmah menuturkan, anaknya kerap mengalami tantrum dan sering mengamuk. Hal ini menyebabkan Zunia justru sering menyakiti diri sendiri.

"Ngajuin (kartu) disabilitas belum keluar-keluar. Dari RT saya ngajuin udah satu tahun lebih," kata dia, Kamis (3/2/2022).

Baca Juga: Penyidik yang Bebaskan Pemerkosa Gadis Difabel Terancam Dipecat

1. Saking tantrumnya, Zunia tertimpa televisi saat ibunda mengambil pakaian

Perjuangan Seorang Ibu dengan Anak Difabel Intelektual, Minim BantuanAdia Zunia Rachmah, peyandang difabel intelektual yang memiliki gangguan mental atau jiwa ADHD (Dok. IDN Times/Istimewa)

Zunia, kata Rohmah, mengalami tantrum yang parah baru-baru ini. Dia bahkantertimpa televisi tabung karena mengamuk. Badannya yang kecil menanggung berat televisi yang akhirnya terbelah dua karena amukannya. 

"Saya habis ambil baju buat dia habis mandi, gak kekejar. Ya sudah ketimpa juga," ujarnya.

Dia juga kerap memukul kepalanya sendiri. Untuk itu, Rohmah berencana akan membawa Zunia ke poli saraf. "Sarafnya takut terganggu. Orang kepalanya abis dijedotin terus," kata dia.

2. Hingga kini, tidak bisa mendapatkan kartu disabilitas

Perjuangan Seorang Ibu dengan Anak Difabel Intelektual, Minim BantuanIDN Times/Gregorius Aryodamar P

Namun untuk menjalani perawatan, Rohmah tidak bisa serta merta melakukannya. Dia masih menunggu rujukan dan keanggotaan Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang perlu diperbaharui dengan kartu disabilitas.

"Apalagi kalau harus ke dokter spesialis (saraf) kan mahal," tuturnya. 

Saat ini, Zunia menjalani pengobatan di dua tempat, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Koja untuk penanganan kesehatan mental dan jiwa, serta Rumah Sakit Islam Sukapura untuk terapi medis. Rohmah sudah berusaha menanyakan apakah putrinya bisa mendapat bantuan kartu disabilitas. Namun pihak RT hingga kelurahan tak punya jawaban pasti.

3. Ditolak SLB negeri, terpaksa sekolah di swasta walau kesulitan biaya

Perjuangan Seorang Ibu dengan Anak Difabel Intelektual, Minim Bantuanilustrasi (Unsplash/Arwan Sutanto)

Persoalan tantrum juga membuat Zunia kesulitan mendapatkan pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) negeri.

"SLB Negeri ditolak, udah tiga tahun saya daftar. Gak diterima karena tantrum belum rendah, takut ganggu siswa lain katanya," sambung Rohmah.

Meski berat dan kondisi keuangan terbataa, Rohmah akhirnya tetap menyekolahkan Zunia di sebuah tempat pendidikan swasta khusus anak autis di dekat kediaman mereka. Per bulan, sekolah swasta ini membutuhkan biaya Rp560 ribu.

Rohmah lagi-lagi putar otak. Akhirnya, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu (SKTM), dia mendapatkan pengurangan biaya sekolah menjadi Rp320 ribu per bulannya.

4. Kebutuhan biaya untuk anak ekstra, tapi suami hanya kerja di bengkel

Perjuangan Seorang Ibu dengan Anak Difabel Intelektual, Minim BantuanBengkel Johan diserbu warga yang motornya kebanjiran di Kompleks Pondok Gede Permai, Senin (6/1) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Perjuangan Rohmah dan suaminya tak hanya itu. Kebutuhan sehari-hari Zunia relatif lebih besar daripada anak-anak lainnya. Walau sudah berusia 10 tahun, Zunia terpaksa masih menggunakan pampers. Selain makan, susu dan pampers, dia juga punya kebutuhan perawatan mental ke psikiater.

"Apalagi obat psikiater. Memang pakai BPJS, cuma kalau lg kosong kita beli sendiri," ujarnya.

Padahal kondisi ekonomi keluarga mereka pun penuh keterbatasan. Rohmah, suami, dan anak-anak mereka tinggal bersama di rumah orang tua Rohmah. Suami Rohmah yang bekerja sebagai tukang bengkel shockbreaker. Hal ini yang membuat Rohmah dan suami putar otak mengurus Zunia dan putri pertamanya yang masih harus melanjutkan pendidikan.

Apalagi mereka juga masih harus menanggung biaya kehidupan orangtua. "Kan suami ngasih orang tua juga, bapaknya udah meninggal, ngasih orang tuanya bagi dua beratnya di situ juga," ujar dia.

Rohmah berharap agar pemerintah mau berikan perhatian lebih bagi Zunia dengan berbagai jenis bantuan sosial yang ada. Selama ini, Rohmah merasa perhatian dari pemerintah masih minim. Dia mengaku baru ada satu orang dari Kementerian Sosial (Kemensos) yang datang ke rumahnya untuk survei sembari membawa pampers bagi Zunia.

5. Rohmah juga hadapi pergulatan mental, pernah ditawari minum obat oleh psikater Zunia

Perjuangan Seorang Ibu dengan Anak Difabel Intelektual, Minim Bantuanpixabay.com/depresi

Sebagai seorang ibu, Rohmah juga merasakan tekanan dalam merawat seorang anak down syndrome yang kerap mengalami tantrum. Dia mengaku kerap menangis berdua dengan sang Zunia.

Rohmah pun bahkan pernah ditawari untuk mengonsumsi obat oleh dokter kejiwaan Zunia.

"Tapi saya gak deh, gak kuat lagi takutnya ketergantungan mudah-mudahan saya sehat ngurusinnya," ujarnya.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya