Perlu Perspektif Gender Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Upaya integrasi perspektif korban berkeadilan gender

Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengingatan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu perlu integrasikan perspektif korban yang berkeadilan gender, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasannya, baik dalam bentuk penyelesaian yudisial maupun non yudisial.

Ini sebagai respons pada Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023, tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (tim PPHAM).

Berkaitan dengan upaya integrasi perspektif korban berkeadilan gender, ada tiga hal utama yang disorot Komnas Perempuan. Pertama, jaminan perlindungan bagi korban yang memahami kebutuhan spesifik perempuan perlu sudah dibangun sejak proses pendataan dilakukan.

“Upaya pendataan tanpa mempertimbangkan rasa aman bagi korban, termasuk kekhawatiran persekusi yang berangkat dari pengalaman di masa lalu, akan menjauhkan perempuan korban dari akses layanan yang dimaksudkan oleh mekanisme non-yudisial PPHAM ini,” kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dalam keterangannya, Senin (20/3/2023).

Baca Juga: Alasan Komnas HAM Buat Tim Ad Hoc Selidiki Pelanggaran HAM Berat Munir

1. Penyelesaian non-yudisial jadi langkah yang tidak menggantikan upaya yudisial

Perlu Perspektif Gender Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa LaluIlustrasi pelecehan seksual. (IDN Times/Arief Rahmat)

Keppres ini adalah tindak lanjut kebijakan pasca-instruksi presiden, Rabu (11/1/2023), sebagai salah satu upaya negara untuk memenuhi hak-hak korban atau keluarganya yang terdampak pelanggaran HAM berat masa lalu.

Komnas Perempuan menggarisbawahi jika upaya penyelesaian non-yudisial merupakan langkah yang tidak menggantikan upaya yudisial, dan dimaksudkan untuk penuhi kebutuhan korban atas layanan dasar seperti administrasi kependudukan, layanan kesehatan, dan layanan kesejahteraan sosial.

2. Faktor perlindungan tidak jelas membuat korban takut tunjukkan diri

Perlu Perspektif Gender Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa LaluRefleksi 21 Tahun Tragedi Mei 1998. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)

Trauma pada peristiwa kekerasan dan stigma yang ditanggung dalam peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, terutama terkait kekerasan seksual, menjadikan perempuan perlu berpikir berulangkali untuk mengajukan diri atau tidak di hadapan publik sebagai korban.

Andy menjelaksan keputusan mereka juga sangat dipengaruhi sikap anggota keluarga yang lain, serta pertimbangan dampak yang akan ditanggung keluarganya.

“Akibat ketidakjelasan pelindungan korban, beberapa perempuan korban menemui Komnas Perempuan untuk menanyakan apakah aman atau tidak jika mereka mencatatkan diri,” kata dia.

Baca Juga: Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat, Ini Kata Komnas HAM

3. Komposisi tim PPHAM minim perempuan dan tidak memasukkan KemenPPPA

Perlu Perspektif Gender Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa LaluSalah seorang melihat lukisan di acara kampanye anti kekerasan terhadap perempuan mengusung tema 'Tulak Bala' yang digelar LBH Banda Aceh. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Sementara, Komisioner Theresia Iswarini, menjelaskan jadi penting tingkatkan keterlibatan perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program kerja tim PPHAM. Komnas Perempuan menyoroti komposisi tim yang minim perempuan dan tidak memasukkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dalam jajaran koordinasi.

“Padahal aspek gender dan pengalaman perempuan dan anak sangat kuat pada kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Mereka kerap menjadi korban kekerasan berbasis gender termasuk seksual. Kekerasan seksual merupakan metode penundukan lawan yang seringkali digunakan dalam konflik,” kata dia.

4. Keterlibatan substantif komunitas korban

Perlu Perspektif Gender Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Kemudian soal menguatkan kepemimpinan perempuan korban pelanggaran HAM Berat masa lalu. Hal ini perlu dilakukan dengan memastikan keterlibatan substantif komunitas korban dalam penyusunan, pelaksanaan dan pengawasan program. Juga dengan mendukung inisiatif-inisiatif yang telah dikembangkan secara mandiri selama ini.

Rekomendasi ini juga telah disampaikan Komnas Perempuan dalam webinar bekerja sama dengan KKR Aceh pada 9 Maret 2023 yang dihadiri wakil dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.

Andy memberikan contoh komunitas perempuan korban Tragedi Mei 1998 menjadi penggagas memorialisasi di TPU Pondok Ranggon, di mana terdapat sekurangnya 113 makam dari korban yang tidak dapat diidentifikasikan.  

“Selain memastikan pendekatan program yang ramah pada kebutuhan dan kerentanan spesifik perempuan, khususnya korban kekerasan seksual, pemerintah juga perlu mencari langkah-langkah efektif untuk memastikan bahwa pelanggaran HAM Berat masa lalu selain ke-12 peristiwa pelanggaran HAM yang disebutkan, juga dapat mengakses layanan yang akan diberikan melalui mekanisme non yudisial ini,” ujar dia.

Hal ini sesuai dengan pernyataan presiden yang juga mengenali adanya peristiwa-peristiwa lainnya, dan juga sesuai dengan mandat konstitusional pada jaminan non-diskriminasi.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya