Poin Penting RUU KIA: Bahas Cuti Melahirkan 6 Bulan dan Tetap Digaji

Suami juga berhak dapat cuti untuk dampingi istri

Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) kini tengah dibahas oleh DPR RI. RUU ini memuat tentang sejumlah hal yang berkenaan dengan hak seorang ibu hamil untuk mengambil cuti. RUU ini jadi perhatian karena pasalnya dinilai progresif bagi perempuan.

Badan Legislasi (Baleg) DPR diketahui kembali menggelar rapat harmonisasi RUU KIA. Wakil Ketua Baleg DPR Muhammad Nurdin menjelaskan, sejumlah anggota Baleg masih memberi masukan dan memberi kesempatan pada tenaga ahli (TA) maupun pengusul untuk melakukan penyempurnaan terhadap draf RUU KIA.

“Jadi (rapat) harmonisasi ini kita menyesuaikan dengan undang-undang yang lain, sedang dilengkapi oleh TA. Tadi juga ada masukan-masukan lagi dari teman-teman untuk kesempurnaannya. Setelah itu nanti akan kita rapatkan, (anggota) setuju nggak? Kita usulkan untuk menjadi RUU usulan dari DPR, setelah itu baru diserahkan ke pemerintah” kata Nurdin setelah memimpin rapat, di Gedung Nusantara 1, Senayan, Jakarta, Selasa (7/6/2022).

Berikut adalah sejumlah poin penting dari naskah RUU KIA yang diperoleh IDN Times yang membahas tentang cuti bagi ibu hamil.

1. Hak cuti melahirkan dan keguguran, hingga perah asi saat waktu kerja

Poin Penting RUU KIA: Bahas Cuti Melahirkan 6 Bulan dan Tetap Digajiilustrasi ibu hamil (IDN Times/Arief Rahmat)

Dalam naskah RUU ini setiap ibu berhak mendapatkan waktu cuti melahirkan paling sedikit enam bulan, kemudian ibu yang bekerja juga dapat waktu untuk memerah air susu selama waktu kerja. Jika seorang pekerja mengalami keguguran, maka ada aturan untuk istirahat selama satu setengah bulan. Aturan itu termaktub dalam pasal 4 ayat 2 RUU KIA. Berikut bunyi lengkap pasal tersebut:

(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Ibu yang bekerja berhak: 

a. mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 (enam) bulan; 

b. mendapatkan waktu istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan jika mengalami keguguran; 

c. mendapatkan kesempatan dan tempat untuk melakukan laktasi (menyusui, menyiapkan, dan/atau menyimpan air susu Ibu perah (ASIP) selama waktu kerja; dan/atau 

d. mendapatkan cuti yang diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi Anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

e. mendapatkan cuti yang diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi Anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Baca Juga: Puan: Istri Berhak Cuti Melahirkan 6 Bulan Agar Makin Dekat Anak

2. Ibu yang cuti tak boleh diberhentikan dari pekerjaannya

Poin Penting RUU KIA: Bahas Cuti Melahirkan 6 Bulan dan Tetap DigajiIlustrasi Bekerja (IDN Times/Dwi Agustiar)

Kemudian pada pasal 5 ayat 1 diatur juga bahwa ibu yang tengah melaksanakan hak cuti melahirkan, atau baru mengalami keguguran tak boleh dihentikan dari pekerjaannya. Hak-hak sebagai pegawai pun wajib didapatkan. Berikut bunyi pasal 5 RUU KIA:

(1) Setiap Ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dan huruf b tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Baca Juga: Puan Dorong Cuti Ibu Hamil Jadi 6 Bulan Lewat RUU KIA

3. Gaji penuh pada tiga bulan awal cuti

Poin Penting RUU KIA: Bahas Cuti Melahirkan 6 Bulan dan Tetap DigajiIlustrasi WFO (IDN Times/Besse Fadhilah)

Masih dalam pasal 5, RUU KIA juga mengatur bagaimana ibu yang tengah melaksanakan cuti melahirkan tetap mendapat gaji dengan besaran yang diatur. Berikut bunyi pasal 5 ayat 2 RUU KIA:

(2) Setiap Ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a mendapatkan hak secara penuh 100% (seratus persen) untuk 3 (tiga) bulan pertama dan 75% (tujuh puluh lima persen) untuk 3 (tiga) bulan berikutnya.

Jika nantinya ibu yang tengah cuti diberhentikan dari pekerjaannya atau tidak memperoleh haknya, maka pemerintah harus memberikan pendampingan secara hukum dan memastikan pemenuhan hak Ibu terpenuhi dengan baik. 

4. Suami berhak dapat cuti dampingi istri

Poin Penting RUU KIA: Bahas Cuti Melahirkan 6 Bulan dan Tetap DigajiIlustrasi pasangan suami istri dengan kondisi istri sedang hamil. (Unsplash.com/johnlooy)

RUU ini juga dilengkapi dengan hak pendampingan dari pasangan atau keluarga bagi pekerja perempuan yang mengalami keguguran atau melahirkan.

Suami pekerja bisa mendapatkan cuti mendampingi melahirkan paling lama 40 hari dan keguguran paling lama seminggu. Berikut bunyi pasal 6 RUU KIA:

(1) Untuk menjamin pemenuhan hak Ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, suami dan/atau Keluarga wajib mendampingi. Suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berhak mendapatkan hak cuti pendampingan:

a. melahirkan paling lama 40 (empat puluh) hari; atau

b. keguguran paling lama 7 (tujuh) hari. 

5. Akses hak pada ibu penyandang disabilitas

Poin Penting RUU KIA: Bahas Cuti Melahirkan 6 Bulan dan Tetap DigajiIDN Times/Prayugo Utomo

Pada pasal 6 RUU KIA juga dijelaskan bagaimana ibu dengan penyandang disabilitas mendapatkan hak sebagai pekerja. Berikut bunyinya:

Selain mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5, Ibu penyandang disabilitas memperoleh hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyandang disabilitas.

6. Akses fasilitas, sarana dan prasaran ramah ibu dan anak

Poin Penting RUU KIA: Bahas Cuti Melahirkan 6 Bulan dan Tetap DigajiIlustrasi anak-anak (IDN Times/Besse Fadhilah)

Dalam naskahnya, RUU KIA juga mengatur bagaimana ibu dan anak harus dapat kemudahan dalam akses fasilitas, sarana dan prasarana umum yang tertuang dalam Pasal 22:

(1) Penyedia atau pengelola fasilitas, sarana, dan prasarana umum harus memberikan kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum bagi Ibu dan Anak. 

(2) Pemberian kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum bagi Ibu dan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 

a. dukungan fasilitas, sarana, dan prasarana di tempat kerja;

 b. dukungan fasilitas, sarana, dan prasarana di tempat umum; dan 

c. dukungan fasilitas, sarana, dan prasarana di alat transportasi umum. 

(3) Dukungan fasilitas, sarana, dan prasarana umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:

a. penyediaan ruang laktasi; 

b. penyediaan ruang perawatan Anak; 

c. tempat penitipan Anak; 

d. tempat bermain Anak; dan/atau 

e. tempat duduk prioritas atau loket khusus. 

(4) Dukungan fasilitas, sarana dan prasarana di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan kepada Ibu yang bekerja dalam bentuk penyesuaian tugas, jam kerja, dan/atau tempat kerja dengan tetap memperhatikan kondisi dan target capaian kerja. 

Topik:

  • Rendra Saputra

Berita Terkini Lainnya