Polri Bantah Survei Indikator yang Sebut Polisi Makin Semena-Mena
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Hasil survei Indikator Politik Indonesia menyebutkan bahwa mayoritas publik merasa setuju atau sangat setuju pada tindakan aparat yang dirasa semena-mena.
Melansir dari situs resmi Indikator, pengambilan data dilakukan pada 24-30 September 2020 dengan melibatkan 1.200 responden secara acak. Hasilnya menunjukkan bahwa 19,8 persen responden memilih sangat setuju, 37,9 persen agak setuju, 31,8 persen tidak setuju ketika ditanya pendapat tentang aparat yang semakin semena-mena. Selain itu 4,7 persen tidak setuju sama sekali, dan 5,8 persen tidak tahu.
Menanggapi hal tersebut Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono mengatakan bahwa Polri selama ini bergerak berdasarkan konstruksi hukum.
“Polri selama ini bergerak terkait dengan penangkapan atau penindakan, semua berdasarkan laporan polisi model A atau model B. Tentunya kami proses berdasarkan konstruksi hukum,” ujar dia di Mabes Polri, Senin (26/10/2020).
1. Mengklaim tidak semena-mena pada perbedaan pendapat
Awi menjelaskan jika seseorang dijerat tindak pidana, maka sudah ada peristiwa serta unsur pelanggaran dalam kasusnya. Dia mengatakan jika masyarakat tidak puas pada tindakan polisi, jalannya adalah melakukan praperadilan.
“Kami tidak semena-mena terhadap yang berbeda pendapat. Tentu semua unsurnya ada di undang-undang,” ujarnya.
Baca Juga: Pengakuan Relawan Ambulans Dianiaya Aparat, Dipaksa Mengaku Bawa Batu
2. Polri diajarkan HAM selama pendidikan
Awi mengklaim bahwa dalam pendidikan, anggota Polri juga diajarkan tentang hak asasi manusia. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polri kata dia sangat tipis batasnya.
Editor’s picks
Bila ada terduga pelaku yang melawan, polisi bakal melakukan upaya secara terukur.
“Namun jika yang bersangkutan (terduga pelaku) sudah dipiting, diborgol, itu batasnya. Sudah tidak boleh lagi ada pemukulan,” ujar dia.
Jika dalam proses hukum terdapat pemukulan, Awi menegaskan bahwa itu adalah pelanggaran. Dia mengatakan bahwa polisi akan menindak personel yang melanggar hukum.
3. Warga semakin takut suarakan pendapat
Survei ini juga turut menunjukkan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Hasilnya mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga semakin takut untuk menyuarakan pendapat, yakni dengan persentase 79.6 persen.
Sebanyak 73,8 persen responden juga merasa makin sulit berdemonstrasi atau melakukan protes, dan 57,7 persen merasa aparat makin semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa.
4. Tindakan kekerasan aparat dan pembungkaman pada demo UU Ciptaker
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga sempat mengeluarkan pendapat tentang gelombang aksi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang direspons oleh Polri dengan berbagai bentuk pembungkaman.
Salah satunya adalah pelarangan aksi, pencegatan massa menuju titik aksi, penangkapan hingga penyiksaan pada massa aksi yang dilakukan aparat kepolisian, bahkan patroli digital.
Bahkan ancaman melalui pendidikan berupa MoU antara rektorat dan mahasiswa hingga ancaman Drop Out (DO) dan penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) bagi pelajar yang demo.
Baca Juga: KSPI Ancam Gelar Demo Besar Jika Jokowi Teken UU Cipta Kerja