Reaksi Anak Penyintas Kekerasan Seksual soal UU TPKS yang Baru Disahkan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - DPR di hadapan masyarakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang pada Selasa 12 April 2022. Euforia pengesahannya terasa di berbagai sisi, salah satunya terdengar dari korban penyintas kekerasan seksual.
Ade (bukan nama sebenarnya) anak perempuan penyintas kekerasan seksual asal Bengkayang, Kalimantan Barat menyambut senang pengesahan UU TPKS. Dia berharap ke depannya tak ada lagi anak Indonesia yang alami kekerasan seksual.
“Terima kasih bapak dan ibu anggota DPR dan dari lembaga-lembaga terkait lainnya yang telah mewakili suara anak dalam pengesahan undang-undang TPKS. Dan bagi para penyintas, jangan takut untuk melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat sekalipun karena sudah ada perlindungan hukumnya,” ujar Ade, yang merupakan salah satu peserta program Wahana Visi Indonesia (WVI) Area Program Bengkayang, dilansir Kamis (14/4/2022).
1. Berharap UU TPKS ciptakan efek jera
Ade mengungkapkan hadirnya UU TPKS dapat menciptakan efek jera kepada para pelaku kekerasan seksual serta memberikan perlindungan bagi para penyintas agar berani melapor kepada pihak berwajib.
Untuk itu, anak berusia 14 tahun ini berterima kasih kepada para wakil rakyat yang telah mendengarkan aspirasi anak-anak untuk Indonesia bebas dari kekerasan seksual.
Baca Juga: UU TPKS Sudah Sah, Apa Langkah Pemerintah Selanjutnya?
2. Delik laporan pada kekerasan seksual pada anak
Editor’s picks
Sementara, analis Kebijakan Publik WVI, Lia Anggiasih menjelaskan pengesahan UU TPKS adalah momen bersejarah dalam upaya perlindungan anak terhadap kekerasan seksual di Indonesia. Menurutnya, UU ini memberikan jaminan perlindungan cukup menyeluruh bagi anak. Kekerasan seksual terhadap anak bukan lagi delik aduan, tapi menjadi delik laporan.
“Selama ini penegak hukum mendasarkan pemeriksaan berdasar adanya aduan atau tidak, nantinya jika kontak seksual tersebut dilakukan terhadap anak atau kelompok disabilitas, aparat sudah bisa bergerak tanpa menunggu aduan,” katanya.
Lia juga berpendapat, UU TPKS secara tegas mengatur tentang peniadaan persetujuan kontak seksual terhadap anak, pemaksaan perkawinan, dan dana bantuan korban. Apresiasi juga diberikan pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang dinilai senantiasa menerima masukkan organisasi fokus anak terkait pasal-pasal dalam RUU TPKS, serta lembaga swadaya masyarakat, jaringan, dan berbagai aliansi.
3. Ingatkan pengimplementasian UU TPKS terutama di wilayah 3T
Namun, dia mengingatkan bahwa implementasi UU tetap perlu dikawal agar layanan perlindungan terhadap anak, terutama di wilayah Terdepan, Terpencil dan Tertinggal (3T) seperti Ade benar-benar efektif. Dia menjelaskan bahwa anak-anak di daerah 3T saat ini belum mendapatkan fasilitas dan pelayanan perlindungan anak yang memadai.
“Terutama Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di lingkup kepolisian, serta UPTD PPA yang masih sangat banyak belum terbentuk di kabupaten/kota. Kedua unit ini merupakan layanan terdepan, demikian juga halnya dengan kesadaran lingkungan untuk segera merespon jika mengetahui ada kasus kontak seksual terhadap anak,” katanya.
WVI telah terlibat proses perumusan dan pengesahan RUU TPKS dimulai sejak akhir tahun 2019. Upaya ini merupakan upaya gabungan antara divisi Perlindungan Anak dan Advokasi, baik di tingkat nasional maupun Area Program WVI. Data-data insiden safeguarding dan laporan-laporan kisah kekerasan seksual yang dikumpulkan oleh tim di Area Program menjadi acuan dan landasan dalam perumusan poin undang-undang. Selain itu, WVI juga ikut bergabung dengan Indonesia Joining Forces (IJF), Jaringan Aksi dan Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) dalam melakukan advokasi RUU TPKS.
Baca Juga: Dear DPR, Ini 3 Isu Anak yang Belum Diakomodasi RUU TPKS