Risiko Perempuan Pembela HAM, Mengalami Ancaman hingga Kekerasan

Komnas Perempuan mencatat ada 19 kerentanan dan kekerasan

Jakarta, IDN Times - Risiko kerja Perempuan Pembela HAM (PPHAM) kerap dibayangi dengan ancaman, kekerasan, bahkan diskriminasi. Berkenaan dengan Peringatan Hari Internasional Perempuan Pembela HAM, 29 November 2021, yang masuk dalam rangkaian Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, perjuangan PPHAM kembali diangkat.

Komnas Perempuan menyatakan, PPHAM menghadapi ancaman dan serangan yang berbeda dari laki-laki. Menurut pemantauan Komnas Perempuan, ada 19 kerentanan dan kekerasan yang bisa menimpa pembela HAM. Sebanyak 10 bentuk kerentanan khusus dialami pembela HAM perempuan dan 9 lainnya dialami pembela HAM laki-laki.

PPHAM berhadapan dengan kerentanan dan kekerasan khusus yang muncul dalam dua bentuk. "Pertama, serangan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan yang merupakan elemen utama penilaian kesucian, dan harga diri perempuan di dalam masyarakat yang patriarki," tulis Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini, dikutip Selasa (30/11/2021).

"Karenanya tubuh dan seksualitas ini tidak henti-hentinya dijadikan sebagai objek kekerasan. Kedua, serangan terhadap perempuan atas dasar stereotip dan atas dasar peran jendernya," sambung Theresia.

Baca Juga: Menteri PPPA: Media Jangan Sudutkan Korban Kekerasan Perempuan

1. Potensi dapat kekerasan fisik hingga kriminalisasi

Risiko Perempuan Pembela HAM, Mengalami Ancaman hingga KekerasanIlustrasi kekerasan (IDN Times/Sukma Shakti)

Komnas Perempuan tidak mendefinisikan PPHAM sebagai perempuan saja, namun juga pada laki-laki yang turut membela hak-hak perempuan atau HAM.

Pembela HAM berpotensi mendapatkan kekerasan seperti fisik, psikis atau seksual dan kriminalisasi atas kerja-kerja pembelaan HAM.

"Oleh karena itu, saatnya negara membangun mekanisme perlindungan terhadap PPHAM sebagai bagian dari pemenuhan hak konstitusional warga negara perempuan," kata Theresia.

2. Jeratan UU ITE pada PPHAM

Risiko Perempuan Pembela HAM, Mengalami Ancaman hingga KekerasanIlustrasi perempuan Indonesia (IDN Times/Arief Rahmat)

Komnas Perempuan mencatat sepanjang 2018-2021 terdapat 15 kasus kriminalisasi terhadap PPHAM, atas kerjanya baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam komunitas memperjuangkan hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan.

Kriminalisasi terjadi di berbagai segi yaitu sumber daya alam, gerakan antikorupsi, kekerasan berbasis gender, buruh, dan hak menentukan nasib sendiri atau self-determination.

Mereka bekerja sebagai advokat, pendamping korban, aktivis buruh, ibu rumah tangga, mahasiswa, guru SMA, dan ketua RT.

Pasal-pasal yang disangkakan di antaranya adalah tindak pidana melakukan kekerasan terhadap barang (Pasal 170 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), penghasutan (Pasal 160 KUHP), makar (Pasal 107 KUHP), dan penyebaran kabar bohong, penghinaan atau pencemaran nama baik melalui ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik).

"Secara khusus UU ITE digunakan untuk mengkriminalkan upaya para pendamping korban kekerasan seksual, yang menyuarakan hambatan keadilan kasus kekerasan seksual yang didampinginya. Kondisi ini telah menyebabkan korban maupun pendamping bungkam, sehingga mengakibatkan terhambatnya akses keadilan dan pemulihan korban," kata Komnas Perempuan.

3. Masih terdapat kekosongan hukum untuk PPHAM

Risiko Perempuan Pembela HAM, Mengalami Ancaman hingga Kekerasan(IDN Times/Arief Rahmat)

Pada tingkat internasional, Deklarasi tentang Pembela Hak Asasi Manusia yang disahkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 9 Desember 1998, telah mengakui peran penting dari pembela HAM, termasuk PPHAM.

Hal ini diperkuat melalui Deklarasi Marakesh yang mengamanatkan kepada negara untuk terus memajukan narasi positif tentang HAM, dan peran sah pembela HAM, khususnya PPHAM.

Di tingkat nasional, kerja-kerja PPHAM merupakan upaya membantu negara dalam memenuhi hak asasi perempuan yang dijamin UUD 1945 dan UU HAM.

Secara sektoral, PPHAM yang memberikan bantuan hukum dijamin dalam UU Advokat dan UU Bantuan Hukum, di isu sumber daya alam dijamin melalui UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

"Meski demikian, masih terdapat kekosongan hukum untuk PPHAM yang tidak berprofesi sebagai advokat, termasuk saksi dan/atau korban yang tidak terlindungi LPSK untuk dikriminalisasi," ujar Theresia.

4. Rekomendasi Komnas Perempuan

Risiko Perempuan Pembela HAM, Mengalami Ancaman hingga KekerasanGERAK Perempuan lakukan aksi di Monas untuk memeringati hari International Women’s Day, di halaman Monas, Minggu (8/3) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Dengan adanya kondisi ini, Komnas Perempuan merekomendasikan sejumlah hal pada institusi terkait soal isu PPHAM untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

  1. DPR RI untuk segera mengusulkan RUU Perlindungan Pembela HAM sebagai RUU Prioritas Legislasi Nasional;
  2. Panja DPR RI untuk RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual mempertahankan pasal yang memberikan perlindungan kepada korban dan pendamping korban untuk tidak dikriminalisasi atas upaya-upaya pembelaan yang dilakukannya
  3. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, untuk memperkuat pemahaman dan kapasitas terkait penanganan terhadap PPHAM dan tidak menggunakan aturan-aturan hukum untuk tujuan yang bertentangan dengan nilai keadilan dalam masyarakat.
  4. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk mensosialisasikan peran penting Perempuan Pembela HAM dan mendorong adanya kebijakan yang melindungi mereka.
  5. Komnas HAM, Komnas Perempuan dan LPSK membangun mekanisme perlindungan terpadu bagi PPHAM untuk menjawab kekosongan payung hukum nasional.
  6. Organisasi Profesi Advokat, Organisasi Bantuan Hukum dan lembaga layanan korban melengkapi mekanisme kerja pembelaan hak asasi perempuan dengan sistem keamanan pembela HAM sebagai bagian pencegahan kekerasan dan kriminalisasi.

Baca Juga: Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Terus Meningkat

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya