Riuh Polemik Cipta Kerja, Komnas Perempuan: UU yang Grusa-Grusu!

Soroti tentang poin pekerja penyandang disabilitas

Jakarta, IDN Times - Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Bahrul Fuad, turut berpendapat dengan pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Menurut dia, UU ini dibuat secara tidak cermat dan tampak tergesa-gesa atau dalam Bahasa Jawa disebut grusa-grusu.

"Kata grusa-grusu dalam Bahasa Jawa bukan sekadar dimaknai tergesa-gesa, namun juga mengandung muatan cara berpikir tidak cermat dan dorongan nafsu yang kuat untuk segera mengambil keputusan. Ternyata tak perlu membaca cermat untuk mengatakan bahwa UU Cipta Kerja ini dibuat dengan grusa-grusu," kata dia dalam keterangannya, Rabu (7/10/2020).

Beberapa hal yang disoroti oleh Bahrul adalah soal pekerja dengan penyandang disabilitas.

1. UU ini salah menyebutkan istilah penyandang disabilitas

Riuh Polemik Cipta Kerja, Komnas Perempuan: UU yang Grusa-Grusu!Disabilitas Cimahi Produksi Masker. (IDN Times/Bagus F)

Menurut Bahrul, ada sejumlah bagian di UU Cipta Kerja yang tidak sejalan dengan UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Beberapa pasal di UU Cipta Kerja masih menggunakan istilah Penyandang Cacat bukan Penyandang Disabilitas sebagaimana yang tertulis di dalam UU Penyandang Disabilitas.

"Hal ini akan menguatkan kembali stigma negatif bagi penyandang disabilitas," kata dia.

Baca Juga: Perbedaan Pasal-pasal Omnibus Law Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan

2. Menyoroti pasal tentang pemutusan hubungan kerja yang berdampak pada pekerja disabilitas

Riuh Polemik Cipta Kerja, Komnas Perempuan: UU yang Grusa-Grusu!Disabilitas Cimahi Produksi Masker. (IDN Times/Bagus F)

Selain itu, pada pasal 154 A UU Cipta Kerja menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan (l) pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan.

Bagi dia, pasal ini bertentangan dengan pasal 53 UU Penyandang Disabilitas, yang memberi syarat tersedianya kuota tenaga kerja penyandang disabilitas sebanyak 2 persen untuk BUMN dan 1 persen untuk Badan Usaha Swasta.

"Hal tersebut akan menghambat peran aktif penyandang disabilitas dalam pembangunan dan menghambat peningkatan kualitas hidup penyandang disabilitas," ujar Bahrul.

3. UU Cipta Kerja bertentangan dengan UU sebelumnya

Riuh Polemik Cipta Kerja, Komnas Perempuan: UU yang Grusa-Grusu!Ribuan buruh di Kabupaten Bandung Barat turun ke jalan tolak Omnibus Law. (IDN Times/Bagus F)

Dia juga menyoroti banyaknya pasal dalam UU Cipta Kerja yang bertentangan dengan semangat pembangunan inklusif disabilitas secara umum.

"Sepanjang sepengetahuan saya, undang-undang atau peraturan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan UU yang dibuat sebelumnya," kata dia.

Jika bertentangan, maka UU atau peraturan yang dibuat sifatnya menggantikan atau menghapus UU atau peraturan sebelumnya.

"Apakah dengan terbitnya UU Cipta Kerja ini artinya meniadakan / menghapus UU No.8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang merupakan buah kerja panjang advokasi gerakan disabilitas di Indonesia.Dengan melihat dari satu sudut pandang ini saja, memang UU Cipta Kerja tersebut layak untuk DITOLAK," ujar dia.

Baca Juga: Muncul Gelombang Protes, UU Cipta Kerja Jadi Sorotan Media Asing

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya