Samakan Istri dengan COVID-19, Mahfud MD Dikecam Solidaritas Perempuan

#NormalBaru dan #HidupBersamaCorona

Jakarta, IDN Times - Menanggapi pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, yang mengibaratkan virus corona sama seperti seorang istri, yang tidak bisa ditaklukkan suami, Solidaritas Perempuan mengecam pernyataan tersebut.

"Pernyataan ini bukan hanya mencerminkan dangkalnya daya pikir pemerintah, untuk memecahkan persoalan pandemik COVID-19, tetapi juga menunjukkan pola pikir seksis dan misoginis pejabat publik," ujar Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Dinda Nisa Yura melalui keterangan tertulis, Kamis (28/5).

Lelucon seperti ini, menurut Dinda, akan melanggengkan budaya kekerasan pada perempuan.

1. Perempuan dianggap hanya menjadi objek

Samakan Istri dengan COVID-19, Mahfud MD Dikecam Solidaritas PerempuanIlustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Dinda menjelaskan pernyataan Mahfud menunjukkan cara pikir patriarkis, yang melihat perempuan hanya sebagai objek. Menurut dia pernyataan itu jelas mengandung kehendak untuk menguasai istri atau perempuan. 

"Perempuan dianggap sebagai liyan (the other), atau the second sex, sehingga memiliki kedudukan yang tidak setara dengan laki-laki, bahkan dianggap objek hak milik laki-laki," ujar dia.

2. Tak sesuai dengan komitmen negara yang akan menghapus bentuk diskirminasi perempuan

Samakan Istri dengan COVID-19, Mahfud MD Dikecam Solidaritas PerempuanMenko Polhukam Mahfud MD (kanan) didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (kiri) (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Ungkapan ini, menurut Dinda, juga bertentangan dengan komitmen pemerintah yang telah meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan sejak 1984. Serta, mengingkari eksistensi perempuan sebagai manusia yang setara dan juga berdaya.

Pernyataan yang dikeluarkan pejabat publik, menurut dia, menjadi tantangan bagi perjuangan penghapusan kekerasan pada perempuan, dan menjadi upaya agar negara bisa menghormati, memenuhi, dan melindungi hak perempuan.

3. Pernyataan Mahfud MD dianggap sebagai pengakuan gagalnya negara tangani COVID-19

Samakan Istri dengan COVID-19, Mahfud MD Dikecam Solidaritas PerempuanMenkopolhukam Mahfud MD. Dok. Humas Menko Polhukam

Pernyataan Mahfud juga, membuat Dinda membandingkan dengan cara negara lain menangani COVID-19, salah satunya adalah keterlibatan perempuan dalam penanganan virus corona.

Padahal, menurut Dinda, angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia sekarang ini terus meningkat, namun lelucon tersebut dianggap tidak bertanggung jawab dan mempertontonkan kegagalan negara sebagai lelucon di hadapan rakyat.

"Sebaliknya, pernyataan Mahfud MD secara gamblang mengakui bahwa pemerintah gagal dan tidak mampu mengendalikan virus corona, sehingga satu-satunya pilihan adalah menerima untuk hidup dengan virus tersebut (In easily you try to control it, then you realize that you can't. Then, you learn to live with it)," Dinda memungkasi.

4. Pernyataan lengkap Mahfud MD saat acara halal bihalal secara virtual, bersama keluarga besar Universitas Sebelas Maret

Samakan Istri dengan COVID-19, Mahfud MD Dikecam Solidaritas PerempuanMenkopolhukam Mahfud MD (Dok. Humas Menko Polhukam)

Mahfud MD dalam acara halal bihalal secara virtual bersama keluarga besar Universitas Sebelas Maret pada Selasa (26/5) pukul 10.00-12.00 WIB, menganalogikan virus corona seperti suami menaklukan istri.

Berikut pernyataan lengkap Mahfud MD dalam acara tersebut:  

Syawal. Syawalan itu apa sih? Syawalan itu artinya peningkatan. Mendaki. Syawala, yusyawilu, syawil bahasa Arabnya. Mendaki. Naik. Move on. Jadi Syawalan itu move on. Jangan terkurung oleh satu situasi karena situasi yang statis itu tidak akan menyebabkan anda maju. Oleh karena itu dikatakan syawal. Orang mengatakan syawal dong. Mulai dari cara baru.

Kalau istilah sekarang, nah mumpung ada ini, saya mau masuk ke yang ada. Istilah sekarang itu namanya new normal (normal baru). Membuat kenormalan yang baru karena dia kebiasaan. Karena sesuatu yang tidak bisa dihindari. Kemudian apa kita mau mengurung diri ndak? Kita menyesuaokan dengan keadaan itu tapi tetap menjaga diri. Seperti corona ini.

Saya kemarin mendapat meme dari temen, dari Pak Luhut Panjaitan itu begini. Judulnya itu. Dalam bahasa Inggris. Corona is like your wife. In easily you try to control it, then you realize that you can't. Than you learn to live with it. Corona itu seperti istrimu, ketika kamu mau mengawini kamu berpikir kamu bisa menaklukan dia. Tapi sesudah menjadi istrimu, kamu tidak bisa menaklukan istrimu. Sesudah itu. Than you learn to live with it. Ya sudah, sudah begitu.

Nah saya ingin menyampaikan ini, pada sebuah wacana yang sekarang berkembang di tengah-tengah masyarakat mengenai lockdown dan tidak lockdown. Saudara sekalian, lockdown itu bagus. Karena nabi mengajarkan lockdown. Ketika wabah berkembang, nabi mengatakan, hei kamu jangan masuk ke daerah itu, dan yang di dalam jangan keluar. Karena apa, kalau kamu masuk kamu ketularan. Kalau kamu keluar menulari orang lain.

Itu ajaran karantina wilayah, ajaran lockdown pertama ketika pada zaman nabi ada wabah seperti sekarang ini. Jadi lockdown itu bagus. Lockdown itu dalam arti, kita tidak pakai istilah lockdown, lockdown itu istilah yang umun saja, orang dikurung, tidak boleh pergi, tidak boleh keluar masuk, tapi kalau kita istilahnya pakai pembatasan gerakan. PSBB, Pembatasan Sosial Berskala Besar. Jadi membatasi gerakan. Itu zaman nabi sudah ada.

Oleh karena itu kamu jangan datang ke masjid, kerumunan masjid. Kemarin ada orang berteriak di jalan, karena dihalangi pulang kampung dia ngamuk, lalu dia bilang orang yang kena corona itu orang yang tidak salat. Ini mau salat kok kamu larang? Loh, yang di Iran itu mati karena salat di masjid, ribuan orang. Di Makkah itu masjid ditutup karena kalau salat rame-rame itu bisa menular.

Episentrum-episentrum baru itu kan karena kerumunan orang. Bahkan karena, mohon maaf ya, yang di Palu itu kan karena kegiatan keagamaan, majelis tabligh karena kegiatan keagamaan. Yang di Bogor itu karena kegiatan gereja juga. Jadi sama. Oleh sebab itu membatasi kgerakan itu bagus. Tapi apakah kita akan terus begitu? Coba saudara bayangkan. Menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) tidak jelas kapan corona akan berakhir. Apakah kita terus begitu?

Oleh sebab itu timbulah keadaan di balik sekarang, orang-orang yang tadinya mengadakan lockdown sekarang mengadakan apa yang disebut relaksasi. Longgarkan. Masa begini terus. Relaksasi itu bahaya, bahaya. Muncul istilah pengurangan pembatasan. Masak, pembatasan gak boleh dikurangi. Muncul istilah new normal. Bikin kernormalan baru saja. Seperti tadi, kita tidak bisa menaklukan corona, corona sudah ada di depan kita. Lalu kita yang hidup, tapi tahu bahwa ada corona.

Apa kenormalan baru? Ya besok kalau kita bekerja misalnya. Ya pakai masker, jaga jarak, cuci tangan, kemarin Menteri Kesehatan sudah mengeluarkan peraturan baru protokol kesehatan di berbagai sektor. Peraturan nomor berapa itu? Nomor HK1.07 dan seterusnya itu sudah keluar.

Nah besok new normal live itu dengan cara itu. Karena tidak mungkin. Katanya, ini saya sudah baca di berbagai jurnal ini. Sekarang justru yang lebih banyak membunuh karena orang di-lockdown.

Saudara saya kira kita juga jangan berlebihan takut ya. Karena begini ya. Ada data yang disiarkan oleh Kompas. Berapa data orang mati di dunia ini karena penyakit. Saya katakan, di Indonesia itu orang mati setiap hari 4.884 orang rata-rata setiap hari. Yang mati karena corona, dari tanggal 1 Januari sampai dengan akhir April, 131 hari itu, sehari rata-rata cuma 17.

Angka kematian karena kecelakaan lalu lintas itu sembilan kali lebih banyak dari corona. Berkali-kali lebih banyak orang mati karena AIDS dan karena diare. Di dunia itu yang mati karena diare selama 131 hari itu 560 ribu, yang mati karena corona cuma 280 ribu. Itu seluruh dunia. Yang mati karena kanker itu 3 juta orang.

Maksud saya, saudara jangan anggap enteng corona. Tapi juga jangan takut betul. Dulu waktu awal-awal corona itu kita sudah antisipasi lama. Maaf ya, waduh pemerintah itu main-main, ada corona baru sadar segala macam. Sejak awal juga ndak ada.

Tetapi ingat, corona itu muncul akhir Desember dan baru dinyatakan serius lockdown di Wuhan 23 Januari. Tanggal 28 Januari pemerintah sudah mengumumkan tutup penerbangan Jakarta Beijing. Artinya apa, serius kita sejak awal. Dua hari sudah tutup penerbangan Jakarta Beijing, kita serius juga menjemput orang dari Wuhan 340 WNI di Wuhan kita bawa ke Natuna.

Di Natuna ada demo, kita sadarkan mereka. Ndak. Ini ndak bahaya. Pokoknya dikarantina begini, di-treatment karantina begini, apa? Jadi itu terjadi pada awal Februari sebulan lebih sebelum kasus pertama ditemukan. Jadi kita memang sudah sejak awal mengantisipasi. Bahkan 6 Februari, yang saya katakan ini bener atau tidak nanti, Googling saja nanti. Misalnya, peristiwa lockdown. Buka, Wuhan, akan ketemu 23 Januari.

Indonesia menutup penerbangan akan ketemu bahwa itu 28 Januari. Dijemput ke Wuhan akan ketemu bahwa itu 4 Februari. Bahwa pemerintah memutuskan, saya rapat dengan Pak Terawan (Menteri Kesehatan) untuk membuat rumah sakit khusus itu sudah 6 Februari. Baru ditemukan 2 Maret. Sesudah ditemukan 2 Maret lalu ada yang ngomong pemerintah ini lalai. Januari ini sebenarnya sudah ada, lah kalau sudah ada kenapa tidak lapor, kok baru bilang sekarang?

Jurnal internasional 29 Februari kemarin terakhir, itu masih muat Indonesia adalah satu-satunya negara besar di Asia yang belum ada corona. Memang belum ada waktu itu. Maksud saya saudara, kita tidak pernah main-main, oleh sebab itu jangan main-main juga. Kita sejak awal sudah serius. Bahwa sejak awal kita mengajak tidak panik, ya karena itu tadi. Sebenarnya orang mati karena influenza biasa itu jauh lebih besar dari karena corona. TBC jauh lebih besar. Demam berdarah jauh lebih besar.

Kita tidak menyepelekan, tapi ingin mengatakan jangan takut berlebihan, karena kata Bapak Ilmu Kedokteran Ibnu Sina, Avicenna, itu mengatakan kepanikan itu separuh dari penyakit, kesabaran itu separuh dari kesembuhan, dan doa itu pintu menuju kesembuhan.

Itu sebabnya Pak Terawan dulu itu mengatakan, gimana Pak menghadapinya? Ya banyak berdoa lah. Itu Ibnu Sina, bapak kedokteran dalam Islam yang mengatakan yang dikutip oleh Pak Terawan. Bukan kita menyepelekan. Tapi sungguh-sungguh kita serius menghadapi corona ini.

Oleh karena itu kita buat berbagai kebijakan. Kebijakan sosial, betapa kita kasih uang kepada orang miskin, sebanyak 110 juta orang miskin selama tiga bulan kita subsidi 600 ribu per kepala selama tiga bulan. Ini sungguh-sungguh.

Kita membuat rumah sakit. Ketika orang-orang berebutan alat kesehatan, kita kaget semua, di mana yang ada, di luar negeri ada, tidak bertanya berapa harganya, pokoknya langsung pesen kita karena rebutan dengan negara lain yang pada waktu itu juga gamang semua.

Saudara, sekarang ini pemerintah, karena tadi disebut Menko Polhukam, ada wacana, belum keputusan. Wacana bagaimana tentang new normal itu. Oleh karena itu ada model-model penghitungan. Penghitungan matematis. Di dalam sidang kabinet itu ada tiga sumber. Metode begini bagaimana, metode begini bagaimana. Yang satu diajukan oleh menteri..., yang satu diajukan oeh Ketua Bapennas (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Kemudian ada yang dari KSP (Kantor Staf Presiden). Ketemu semua.

Oh ini ada penurunan kalau ada pembatasan. Tapi semuanya bisa dihitung. Jakarta sekarang sudah 0,9 (tingkat penularan kasus COVID-19). Ada sembilan provinsi yang sekarang di bawah satu, nih lumayan bagus. Tapi ada juga yang tinggi sekali, di Gorontalo, Jawa Timur, dan macem-macem itu. Itu ada penghitungannya. Nah di dalam keadaan itulah kita berpikir bagaimana kita hidup normal dengan fakta-fakta itu.

Karena apa? Ndak mungkin kita, begitu ya, orang mau jualan tidak bisa, mau membeli tidak bisa, ini tidak bisa. Nah itulah wacana yang berkembang. Kalau setuju tidak setuju itu antar dokter saja tidak bisa. Ada dokter IDI (Ikatan Dokter Indonesia) yang mengatakan, jangan sekali-sekali diadakan pelonggaran, itu berbahaya, itu pembunuhan masal. Tapi wakil ketua IDI ketika ketemu Sri Sultan mengatakan, ngapain takut-takut. Lockdown itu malah membunuh orang banyak.

Ulama juga berbeda-beda. Kata ulama yang satu kenapa masjid ditutup? Ulama yang satu harus ditutup. Sosiolognya juga berbeda beda. Dan kita harus mengambil keputusan yang terbaik. Bagaimana yang terbaik, mari kota diskusi, belum ada keputusan soal itu, semua masih dalam wacana dan kontroversi masih ada. Dan kita harus terbiasa, harus menghadapi itu. Seperti yang saya katakan tadi, corona is like your wife. In easily you try to control it, then you realize that you can't. Than you learn to live with it.

Baca Juga: Korban Kecelakaan 9X Lebih Banyak, Mahfud: Corona Bukan Pembunuh Utama

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya