Sunat Perempuan Masih Ditemukan, Banyak Dilakukan Oleh Bidan Tanpa SOP

Ada 51,2 persen anak perempuan di Indonesia pernah disunat

Jakarta, IDN Times - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terus menyuarakan agar tak ada lagi praktik sunat terhadap perempuan. Sunat perempuan atau Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) atau Pemotongan/Perlukaan Genital perempuan dalam sisi medis, dinilai tidak memiliki manfaat. Tapi faktanya, sunat perempuan masih sering ditemukan di Indonesia.

Menurut Asisten Deputi Partisipasi Organisasi Keagamaan dan Kemasyarakatan Kementerian PPPA Maydian Werdiastuti, sunat perempuan banyak dilakukan oleh bidan yang tak memiliki prosedur standar atau SOP.

“Ada beberapa pengalaman yang kami dengar bahwa ketika ibu yang baru melahirkan dan belum pulang ke rumah, kadang kala ditawari paket untuk anak perempuannya untuk ditindik dan disunat. Sering kali ada tawaran-tawaran seperti itu. Padahal sebenarnya dokter dan perawat atau bidan itu tidak memiliki SOP (Standar Operasional Prosedur) untuk melakukan sunat perempuan,” kata Maydian seperti dikutip IDN Times dari situs resmi KemenPPPA, Jumat (26/11/2021).

Baca Juga: KemenPPPA Libatkan Tokoh Agama hingga Anak Muda Cegah Sunat Perempuan

1. Sebanyak 51,2 persen anak perempuan di Indonesia pernah disunat

Sunat Perempuan Masih Ditemukan, Banyak Dilakukan Oleh Bidan Tanpa SOPIlustrasi anak-anak (IDN Times/Besse Fadhilah)

Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) Kementerian Kesehatan pada 2013, secara nasional terdapat 51,2 persen anak perempuan berusia 0-11 tahun pernah disunat.

Praktik ini menyasar kelompok anak berusia 1-5 bulan sebesar 72,4 persen. Pelaksanaan praktik sunat perempuan paling banyak dilakukan oleh bidan sebanyak 50,9 persen dan 40 persen oleh dukun bayi. Sedangkan pemberi saran sunat paling banyak oleh orang tua yakni 81, persen dan tokoh agama 19,7 persen.

2. Pasangan suami istri beralasan sunat perempuan perintah agama

Sunat Perempuan Masih Ditemukan, Banyak Dilakukan Oleh Bidan Tanpa SOPIlustrasi oleh Rappler Indonesia

Dalam dokumen Sunat Perempuan/FGM Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP), dari sudut pandang kesehatan, Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan dr. Erna Mulati menjelaskan sejumlah riset di Indonesia terkait praktik sunat perempuan, salah satunya dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM 2017 yang menjelaskan bahwa 92,7 persen istri dan 91,6 persen suami beralasan sunat perempuan terjadi karena perintah agama.

3. Komplikasi dan dampak psikologis sunat perempuan

Sunat Perempuan Masih Ditemukan, Banyak Dilakukan Oleh Bidan Tanpa SOPilustrasi demam (IDN Times/Mardya Shakti)

Berbeda dengan sunat laki-laki yang menggunakan obat bius atau anestesi, sunat pada perempuan atau P2GP biasanya tak menggunakan obat bius sehingga perempuan dapat mengalami nyeri yang hebat.

Organ genitalia eksterna perempuan memiliki syaraf dan pembuluh darah yang banyak, sehingga tindakan P2GP dapat menimbulkan perdarahan yang hebat. Kemudian, pelukaan jika tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan infeksi, pembengkakan pada jaringan, dan sulit berkemih.

Komplikasi jangka panjang praktik ini adalah dapat menyebabkan penurunan respons serta kepuasan seksual. Dampak psikologisnya, anak akan punya trauma dan menimbulkan masalah kesehatan jiwa.

4. Sunat perempuan adalah masalah yang sangat kompleks karena dilakukan turun-temurun

Sunat Perempuan Masih Ditemukan, Banyak Dilakukan Oleh Bidan Tanpa SOPMenteri PPPA Bintang Puspayoga (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga menuturkan, sunat perempuan menjadi masalah yang sangat kompleks di Indonesia karena dilakukan berdasarkan nilai-nilai sosial secara turun-temurun.

“Padahal, dengan berbagai dampak yang merugikan perempuan dan manfaat yang belum terbukti secara ilmiah, sunat perempuan merupakan salah satu ancaman terhadap kesehatan reproduksi, serta salah satu bentuk kekerasan berbasis gender, bahkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” kata Bintang (30/9/2021).

Pemerintah, kata dia, berkomitmen mencegah terjadinya sunat perempuan, yakni dengan KemenPPPA bersinergi dengan berbagai pemangku kepentingan telah menyosialisasikan roadmap dan menyusun Rencana Aksi Pencegahan P2GP dengan target hingga tahun 2030.

"Adapun berbagai strategi yang akan dilakukan yaitu melalui pendataan, pendidikan publik, advokasi kebijakan, dan koordinasi antar pemangku kepentingan," ujarnya.

Pemerintah pernah membahas isu ini dan berkomitmen mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017, khususnya pada tujuan 5.3, yaitu: “menghapuskan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa, serta sunat perempuan.”

Baca Juga: Apa Bedanya Sunat dan Tidak Sunat? Ini Dampaknya bagi Pria!

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya