Tak Penuhi Unsur Pidana, YLBHI Minta Polisi Setop Kasus Holywings

Minta perkara ini dihentikan oleh polisi

Jakarta, IDN Times - Promosi minuman keras (miras) oleh Holywings Indonesia yang menggunakan nama 'Muhammad' dan 'Maria' berujung penangkapan enam orang pekerjanya.

Polisi menetapkan enam tersangka dan dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1946 tentang berita bohong, Pasal 156 atau pasal 156a KUHP tentang ujaran kebencian dan penistaan agama, serta Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian berbasis elektronik.

Terkait hal ini, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) dan Paritas Institute ikut berkomentar. Menurut mereka, perbuatan yang dilakukan Holywings mungkin bersifat sensitif dan kontroversial di masyarakat.

Akan tetapi, pendekatan yang digunakan dikatakan jelas bukan pidana. 

“Pidana harus diletakan sebagai upaya terakhir, pun juga dalam perbuatan yang dilakukan tidak merupakan sasaran dari pasal-pasal pidana yang digunakan aparat,” tulis tiga lembaga itu dalam rilis bersama, dilansir Rabu (29/6/2022).

1. Pasal tentang berita bohong tak tepat, karena ini promosi

Tak Penuhi Unsur Pidana, YLBHI Minta Polisi Setop Kasus HolywingsSejumlah outlet Holywings di DKI Jakarta resmi dicabut izin usahanya. Penutupan outlet ini dilakukan oleh Satpol PP DKI Jakarta, Selasa (28/6/2022). (dok. IDN Times/Istimewa)

Ada sejumlah alasan yang membuat tiga Lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengungkap bahwa kasus ini tak tepat jika dijerat dengan sejumlah pasal pidana.

Pertama penggunaan pasal berita bohong tidak tepat. Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 tahun 1946 tentang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, atau yang patut diduga berita bohong dengan sengaja untuk menimbulkan keonaran.

Terdapat syarat bahwa orang yang disangkakan harus mengetahui atau patut mengetahui bahwa informasi yang diberitakan bohong, lalu harus dipastikan bahwa niatnya adalah menimbulkan keonaran yang lebih dari sekedar kegoncangan hati penduduk, juga perlu mengarah pada keonaran secara fisik, misalnya kerusuhan. 

“Sedangkan dalam kasus ini, penyidik sudah memberikan keterangan bahwa niat yang dilakukan untuk melakukan promosi bukan untuk membuat keonaran, apalagi menyiarkan berita bohong, sehingga pasal ini jelas tak dapat digunakan,” tulis ICJR.

2. Promosi yang dilakukan bukan untuk nyatakan permusuhan

Tak Penuhi Unsur Pidana, YLBHI Minta Polisi Setop Kasus HolywingsPoster promo minuman keras oleh Holywings (instagram.com/holywingsindonesia)

Kemudian terkait dengan pasal ujaran kebencian dan penistaan agama juga dianggap tak dapat digunakan. Dalam Pasal 156 dan Pasal 156 a KUHP harus terdapat perbuatan pertanyaan di muka umum perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, dan di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Harus berupa pernyataan ditujukan untuk melakukan permusuhan. “Sedangkan yang dilakukan adalah promosi untuk meningkatkan penjualan, bukan menyatakan permusuhan,” ujar tiga lembaga itu. 

Baca Juga: Ini Kata Wagub DKI Soal Nasib Karyawan Holywings Pasca Izinnya Dicabut

3. Penyidik dirasa perlu baca lagi rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE

Tak Penuhi Unsur Pidana, YLBHI Minta Polisi Setop Kasus Holywingsilustrasi rancangan undang-undang (IDN Times/Aditya Pratama)

Kemudian, pasal ujaran kebencian pada Pasal 28 ayat (2) UU ITE dianggap tidak ditujukan untuk perbuatan ini. Penyidik dirasa perlu membaca kembali rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE bahwa perbuatan yang dapat dijerat dengan pasal ini adalah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

“Harus ada unsur rasa kebencian dan permusuhan. Lagi-lagi, tindakan yang dilakukan Holywings bukan menyebarkan kebencian dan permusuhan."

Pun dalam penilaian tentang ujaran kebencian, ada syarat begitu rigid yang harus digunakan: Rabat Plan of Action tentang larangan ujaran kebencian, menjelaskan bahwa untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai ujaran kebencian harus selalu dilihat: (1) konteks dari ujaran tersebut; (2) posisi dan status Pengujar; (3) niat dengan maksud harus mengujarkan kebencian dan permusuhan; (4) isi dan bentuk, termasuk sejauh mana ujaran tersebut dinilai provokatif dan langsung; (5) jangkauan dan dampak; dan (6) kemungkinan potensi bahaya dari ujaran tersebut,” pungkas tiga lembaga itu.

4. Penggunaan hukum pidana dirasa harus hati-hati

Tak Penuhi Unsur Pidana, YLBHI Minta Polisi Setop Kasus HolywingsSidang Mantan Sekda Jabar Iwa Karniwa di Pengadilan Negeri Bandung (IDN Times:Galih Persiana)_3261.jpg

ICJR, YLBHI dan Paritas Institue mengatakan, penggunaan hukum pidana apalagi pasal-pasal yang tersebut menambah deret panjang tidak akuntabel-nya sistem peradilan pidana di Indonesia.

Penggunaan hukum pidana dirasa harus hati-hati dan harus ditempuh sebagai upaya terakhir, juga pasal yang digunakan harus dikaji berdasarkan dasar pembentukan pasal-pasal tersebut. Mereka juga meminta jangan meneruskan penerapan hukum yang tidak berdasar.

“Sekalipun perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai di masyarakat, maka penyelesaian dengan memperhatikan nilai-nilai sosial perlu diperhatikan, pun juga dapat ditujukan langsung kepada Holywings secara kelembagaan, bukan pada aktor-aktor rentan,” ungkap mereka.

Baca Juga: 3 Outlet Holywings di Surabaya Ditutup, Bagaimana Nasib Karyawannya?

5. Tiga lembaga ini minta Polisi hentikan penyidikan

Tak Penuhi Unsur Pidana, YLBHI Minta Polisi Setop Kasus HolywingsIlustrasi tersangka (IDN Times/Bagus F)

ICJR, YLBHI dan Paritas Institue lalu meminta agar Polisi dapat menghentikan penyidikan perkara ini, mengingat tidak terpenuhinya sejumlah unsur pidana sebagaimana dijelaskan.

Pihaknya juga meminta Kejaksaan apabila perkara ini tidak dihentikan penyidikannya, sebagai dominus litis, harus menolak penuntutan, karena tidak layaknya perkara ini untuk diajukan ke persidangan.

“Aparat penegak hukum untuk lebih hati-hati menggunakan ketentuan di dalam KUHP tentang berita bohong, ujaran kebenciaan, dan penistaan agama, serta UU ITE dan menerapkannya dengan ketat sesuai dengan batasan-batasan yang sudah ditentukan,” pungkas tiga lembaga ini.

Bukan hanya itu, pemerintah dan DPR juga diminta memprioritaskan perbaikan dan pengetatan perumusan norma terkait yaitu di dalam RKUHP dan diselaraskan dengan proposal revisi UU ITE.

Topik:

  • Rendra Saputra

Berita Terkini Lainnya