[WANSUS] Pengalaman Dokter Tangani Pasien COVID-19, Pengap Gunakan APD

Dokter Hafiz bertugas di RS Universitas Indonesia

Jakarta, IDN Times - Dokter spesialis penyakit dalam, dr. Muhammad Hafiz Aini membagikan kisahnya sebagai tenaga medis yang merawat pasien COVID-19 di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RS UI).

Kepada IDN Times dia menceritakan bagaimana rasanya menjadi garda terdepan penanganan COVID-19. Dia telah menjadi dokter di RS UI sejak Oktober 2019 dan kini bertugas pada pelayanan non COVID-19 dan COVID-19.

Kedua hal ini dilakukan dr. Hafiz karena RS UI menerapkan shift pagi dan malam. RS UI sudah menangani pasien COVID-19 sejak akhir Maret.

“Di mana operasionalnya mulai bulan April. RS UI memang ditunjuk jadi RS rujukan di Depok dan Jawa Barat,” ujar dr. Hafiz lewat live streaming IDN Times, Sabtu (18/4).

Berikut adalah cerita lengkap dr. Hafiz selama menjalani pengalaman merawat pasien COVID-19.

1. Apa saja yang dilakukan tenaga medis selama merawat pasein COVID-19? Lalu apakah sulit mengenakan APD yang ketat dan panas?

[WANSUS] Pengalaman Dokter Tangani Pasien COVID-19, Pengap Gunakan APDDokter Hafiz (kiri) dalam kampanye #dirumahaja (Dok. Pribadi)

Jadi pasien ini dirawat di ruang khusus dan petugasnya pun khusus dengan protokol yang telah disepakati di RS UO, dan cara pengobatan yang sudah diatur oleh Kemenkes dan persatuan dokter Indonesia (colegiun) ditangani dengan tingkat kegawatannya. Apakah pasien harus dirawat di ICU, atau dirawat biasa. Di RS UI punya area yg untuk ICU-nya, intensif care-nya, dan ruang biasanya.

Di RS UI ada tiga zona, hijau itu aman, jadi seperti biasa seperti di ruang jaga tak perlu pakai APD lengkap. Kalau di zona merah dan ruang perawatan COVID-19, kita otomatis pakai APD yang lengkap, dari ujung rambut ke ujung kaki dengan berlapis-lapis. Sarung tangan saja berlapis dua, rambut juga ditutupi dengan berlapis dua. Kaki juga dilapisi ganda dengan sepatu boot.

Kalau ditanya nyaman? Sangat tidak nyaman memang. Panas dan hanya cukup 5 menit saja kita bisa megap-megap (pengap). Sejam mungkin otak kita sudah gak bisa berkonsentrasi, sungguh panas, sampai baju dalaman pasti basah. Apalagi kalau kita yang menggunakan tipe google, itu benar-benar berkabut, jarak pandang terbatas.

Jadi penggunaan APD tergantung shift-shift, biasanya paling lama 6 jam. APD ini sebaiknya tidak dipakai lebih dari 6 jam. Pakai APD ini sungguh tidak menyenangkan, apalagi kalau mau buang air kecil. Kita itu (ada rekan) kadang-kadang yang memakai pampers. Jadi dia pakai pampers, daripada tidak kuat.

Karena pergantian antara luar masuk itu memang kita harus sesuai protokol untuk menghindari penyebaran karena potensi terbesar itu paling besar saat perlepasan atau pertukaran dan penggunaan APD, jadi kita harus hati-hati. Bahkan saat kita merawat pasien dalam satu area, di mana area tersebut tidak boleh berulang lagi, kita harus bergantian, ya tidak menyenangkan pakai APD itu, ya tapi kita harus tahan-tahan, dan berusaha kuat.

Baca Juga: Trik Ampuh Dokter Hafiz Aini Agar Pasien Virus Corona Berkata Jujur

2. Apakah benar jika sudah mengenakan APD tidak bisa makan dan minum, serta apa yang ingin dilakukan setelah COVID-19 berakhir?

[WANSUS] Pengalaman Dokter Tangani Pasien COVID-19, Pengap Gunakan APDIlustrasi tenaga medis dengan APD Lengkap. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Kita anggap aja kita puasa. Bahkan di luar sana kan shift-nya per 12 jam. Cuma kalau di RS UI berusaha menjaga Sumber Daya Manusia (SDM) terbaik kami untuk bisa menangani pasien. Jadi SDM diusahakan bisa cooling down, istirahat cukup, sehingga besok bisa merawat pasien dengan sebaik mungkin.

Di sini Alhamdulillah bisa teratur dengan baik. Minum juga di sini kita tahan-tahan dulu, nanti pas keluar memang tak bisa langsung minum. Karena ada aturan, karena pakai APD ini lama, melepasnya juga lama, dan jangan lupa untuk mandi dulu, rekor saya mandi bisa 7 kali sehari sampai masuk angin. Rekan saya di radiologi harus minta izin karena panas dingin bolak balik ruangan.

Sujud syukur, yang kedua adalah nyukur (rambut). Karena sekarang kita kena physical distancing saya gak mikir-mikir, kalau sendiri susah jadi kalau saya nanti selesai kalau rambutnya panjang harus cukur. Kalau sudah setelah itu saya akan bersenang-senang kumpul-kumpul sama teman-teman.

3. Lalu, apakah dokter dan rekan tenaga medis pernah khawatir membawa virus ke keluarga?

[WANSUS] Pengalaman Dokter Tangani Pasien COVID-19, Pengap Gunakan APDSuasana dokter hafiz dan teman-temannya ketika bertugas (Dok. Istimewa)

Kita ada yang disediakan di asrama, ada yg bisa pulang pergi (PP). kalau saya on off. Jadi pulang abis itu menginap, terutama ketika sebelumnya merawat di ruangan perawatan, biasanya saya menginap, karena biar free 24 jam di RS dan besoknya bisa kembali ke rumah dengan rasa aman.

Ketika sampai di rumah saya biasanya mandi lagi, walaupun sebelumnya sudah mandi. Terus minta perbedaan seperti alat makan dipisahkan sendiri. Di rumah saya pakai masker, awal-awal memang dipertanyakan oleh keluarga, kenapa begini kenapa begitu. Seiring dengan perjalanan, mereka menerima dan akhirnya mengetahui alasannya kenapa dan sekarang sudah berjalan seperti biasa.

Harus beri komunikasi lebih ya di awal, ibarat berperanglah. Jangan maju berperang tanpa ada persiapan. Jadi di keluarga juga kita persiapkan bahwa kondisi begini, kenapa kita berjarak, mengisolasikan diri. Bahkan ada rekan saya yang punya kamar sendiri, makan sendiri.

Memang COVID-19 ini kan bisa menyerang siapapun dan kelompok yang berisiko tinggi adalah orang tua dan usia rentan, karena anak kecil biasanya tidak terlihat. Oleh karena itu saya sarankan saat lagi tenaga kesehatan, mungkin di rumah saya tidak ada orang tua dan anak kecil, tapi rekan saya yang serumah dengan orangtua memang harus kontak dengan orangtuanya dan anak yang masih kecil. Sedih sih dengarnya, karena yg biasanya mencium anaknya, untuk sementara tidak bisa.

Banyak tenaga kesehatan yang curhat soal itu. Jadi pas pulang, mereka sedih gak bisa ketemu orang tuanya, atau mencium anaknya. Bahkan banyak yang diminta untuk kita tidak pulang. Untuk menginap saja. Fisik dan mental terpengaruh. Cuma kita anggap ini penugasan, tugas kami. Jadi kita harus tetap semangat dan jaga diri seperti istirahat.

Baca Juga: Pasien Tidak Jujur Membuat Banyak Tenaga Medis COVID-19 Gugur 

4. Apa saja hiburan yang dilakukan tenaga medis dan bagaimana cara kalian menghibur pasien?

[WANSUS] Pengalaman Dokter Tangani Pasien COVID-19, Pengap Gunakan APDDokter Hafiz (Dok. Istimewa)

Saling ngobrol aja, bercanda dengan aplikasi zoom, google meeting. Kita tetap bercanda tersenyum, bahkan saat visit ke pasien kita juga saling bercanda. Saya prinsipnya saling menguatkan. Kalau ada teman saya yang kelelahan, saya bertugas untuk membangkitkan semangatnya, ya kita bercanda lagi. Seperti bilang bahwa kita ini minions ya pakai baju hazmat. Terus bikin video foto, karena saya pecinta video dan foto-foto.

Kami dianggap garda terdepan, tapi bagi kami adalah garda terakhir. Karena kami pihak yang paling terakhir menangani pasien, dan kami harus berdiri sampai pandemi ini berakhir. Garda terdepan adalah masyarakat, jika masyarakat bisa disiplin saat ini maka InsyaAllah pandemi bisa lebih cepat berakhir. Maka garda terdepannya adalah masyarakat, kami hanya membantu. Tugas tambahan kami sebenarnya adalah edukasi ke masyarakat agar mereka lebih aware.

Kalau pasien ada yang serius dengan komplikasi, saya tidak bisa tanyakan. Tapi kalau pasien yang gejalanya tak terlalu berat biasanya mereka rasakan hanya batuk dan  deman biasa, mereka curhat sedih jauh dari rumah. Karena memang proses pemulihannya tidak bisa cepat, karena bahkan ada yg bisa 2-3 minggu. Jadi mereka curhat mulai bosan, bahkan mereka ada yg ingin pulang. Tapi kami berusaha jelaskan walau ekspresi kami tidak bisa terlihat (terhalang APD) tapi kami berusaha menjelaskan. Alhamdulillah pasien-pasien tersebut jadi agak tenang. Karena memang psikis mereka juga terkena, selain fisiknya. Alhamdulillah RS UI sudah buat edukasi-edukasi mental untuk pasien.

5. Apakah kebutuhan APD di RS UI aman, apa saja yang dibutuhkan?

[WANSUS] Pengalaman Dokter Tangani Pasien COVID-19, Pengap Gunakan APDDok.IDN Times/Istimewa

Alhamdulillah APD sampai saat ini aman, cuma saya selalu bilang untuk saat ini karena kalau kita harus dipikirkan bahwa APD itu ada dua, ada yang re-use yang diulang, ada yang disposable yang cuma sekali pakai. Nah kalau yang re-use itu masih bisa digunakan tinggal dibersihkan.

Jadi jumlah yang banyak, yang didapatkan donasi kami anggap banyak akan banyak, tapi ketika berhubungan dengan APD yang disposable yang cuma sekali pakai maka kata banyakpun tidak akan cukup. Jadi pemerintah donasi mengirimkan sekian banyak toh itu juga akan habis dalam sehari,  yang terpenting adalah bukan banyaknya, tetapi konsisten dan berkesinambungan memberikan APD.

Kasih 10.000 langsung habis sehari, percuma besok masih ada virus, jadi kalau ditanya ke ketersediaannya maka saya jujur, saya hanya bilang untuk saat ini. Karena besok ya besok, lusa ya lusa, makanya kami meminta kesediaan dari pemerintah baik donatur bahwa, kami tidak butuh banyak tapi kami butuh konsisten dan komitmen secara kontinu karena kata banyak pun untuk pakaian yang hanya sekali pakai akhirnya jadinya cuma Besok juga akan berkurang besok juga akan berkurang.

Makanya banyak teman-teman kita yang akhirnya banyak menggunakan jas hujan, bahkan ada yang di Italia itu karena habis dia menggunakan plastik sampah, bahkan untuk pelayanan yang bukan non COVID-19 yang zonanya zona kuning beberapa tempat terpaksa mengirit seperti menggunakan N95 ada yang sehari ada yang 3 hari.

Memang secara patokan dia bisa dipergunakan untuk lebih lama, tapi untuk perawatan masuk ke COVID-19 otomatis kita gak bisa, itu harus kali pakai bahkan masuk dan keluarpun sudah gak bisa dipakai, kita masuk ada yang lupa kita keluar lagi harus dilepas semua, jadi kita memang harus ada APD setiap hari karena ini prosesnya awal masih kita gak tahu sampai kapan maka yang terpenting adalah bagaimana APD itu selalu ada bukan banyak.

Kalau dibilang membutuhkan kita sebenarnya yang dibutuhkan utama ya tadi adalah APD yang bersifat sekali pakai contohnya N95, baju hazmatnya itu yang full sekarang luar biasa banyaknya donasi, malah jadi warna-warni malah kita kadang bercanda itu menganggap seperti "Teletubbies" cuma kita gak bisa pelukan, jaga jarak seperti itu, sarung tangan, masker, pengukur suhu badan, penutup kepala, penutup sepatu itu yang dibutuhkan ibaratnya langsung gunakan langsung buang seperti itu.

6. Apa pernah dokter mendapati pasien yang berbohong, lalu bagaimana cara menghadapinya?

[WANSUS] Pengalaman Dokter Tangani Pasien COVID-19, Pengap Gunakan APDDokter Hafiz (Dok. Istimewa)

Agak sulit ya karena prinsip kami nomor satu adalah percaya sama pasien. Kalau di RS UI kita screening, jadi pertanyaannya beruntun, jadi kami bisa menilai dia masuk zona hijau, kuning atau merah. Memang kita harus tanya berulang-berulang, karena ketika pasien ditanya oleh satu orang, dia jawab tidak, tapi ketika ditanya kemudian barulah berkata jujur.

Jadi konsepnya harus ditanyakan lebih detail. Jadi pas masuk gak bisa bilang batuk pilek, jangan. Karena harus tahu dahulu mereka habis pulang dari mana, karena sekarang gak bisa berpatokan dengan perjalanan dari luar negeri, sekarang sudah transmisi lokal, dari Jabodetabek juga sudah bisa kami curigai. Bahkan ditanya ulang setelahnya, karena biasanya lebih jujur setelahnya.

Mereka ini kadang-kadang pas datang sudah takut, apalagi yang pas ditemui ini sudah pakai hazmat. Jadi nomor satu adalah kita pakai cara jangan kaya interogasi kaya polisi. Jadi pelan-pelan aja agar mereka bisa jujur. Cuma kami ga bisa menebak pasien berkata bohong. 

Jadi nomor satu adalah ketika ditanya kita membina rapor gitu jadi pertanyaannya jangan seperti polisi tetapi pelan, pada akhirnya nanti juga mereka menjawab ini enakan, mereka akan mengatakan hal yang jujur cuma memang kita tidak bisa menebak ada pasien yang sengaja untuk melakukan bohong seperti itu.

Baca Juga: Pemerintah Minta Dokter yang Tidak Tangani COVID-19 Juga Pakai APD

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya