WHO Sarankan 2 Hal Ini agar Kasus COVID-19 di Jakarta Bisa Berkurang
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Peningkatan kasus COVID-19 di DKI Jakarta kian mengkhawatirkan di tengah perayaan HUT ke-494 DKI Jakarta. Isu penarikan rem darurat atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga kian disuarakan untuk mengantisipasi lonjakan kasus yang semakin masif.
Namun Senior Advisor Gender and Youth for the Director General di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sekaligus Founder Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Saminarsih, mengatakan ada dua hal lain yang bisa dilakukan DKI Jakarta selain menarik rem darurat.
"Tidak ada silver bullet, jadi gak ada magic pakai satu selesai semua, dulu waktu di awal kita sudah bilang bahwa restriction not the only option, WHO bilang begitu," kata dia dalam program "Ngobrol Seru: Darurat COVID-19 di Tengah HUT DKI ke-494”, Selasa (22/6/2021).
1. Melaksanakan survei seroprevalensi dan teruskan vaksinasi
Cara pertama yang menurutnya bisa dilakukan adalah dengan fokus pada vaksinasi. Kegiatan ini, kata Diah, jangan sampai terhenti. Lalu kemudian Pemprov DKI Jakarta bisa terus melaksanakan survei seroprevalensi.
"DKI sudah melakukan di kecamatan Tanjung Priok. Kecamatan yang lain harus juga melakukannya," ujarnya.
Baca Juga: Penasihat Dirjen WHO Ungkap Alasan Terjadi Lonjakan Kasus di Jakarta
2. Petakan infeksi di tiap wilayah padat penduduk
Cara survei seroprevalensi adalah dengan memetakan infeksi di setiap kantong-kantong padat penduduk sehingga vaksinasinya akan tepat dan tes yang dilakukan, kata Diah, juga bisa tepat.
"Pembangunan shelter juga bisa disiapkan dengan sebaik-baiknya di lokasi yang tepat," ujar dia.
3. Jika sebuah wilayah sudah dipetakan kondisinya, maka penanganannya disesuaikan
Dengan adanya survei yang memetakan kondisi suatu wilayah, menurut Diah, kebijakan pemerintah akan lebih mudah disesuaikan, sesuai dengan kondisi yang ada di masing-masing wilayah. Contohnya jika kecamatan A punya risiko infeksi 30 persen dan kecamatan B punya risiko 15 persen maka upayanya bisa dilihat dari angka risiko yang ada.
"Itu akan membuat kebijakan tersebut menjadi duabel jadi actionable, jadi bisa dipakai nah ini harus digunakan dan menurut saya ini belum pernah dicoba," ujarnya.
Baca Juga: [UPDATE] Kasus COVID-19 Bertambah 13.668, Jabar Lampaui DKI Jakarta