Kisah Perempuan Hadhrami Bangkit dari Gempuran Citra Konservatif

Perempuan Hadhrami lekat dengan stigma dapur, sumur dan kasur

Jakarta, IDN Times - Bagi perempuan Hadhrami - yang merujuk pada keturunan Arab Yaman - sekolah tinggi, menjadi pemimpin, dan masuk dalam ruang-ruang publik merupakan hal yang tak lazim. 

Para perempuan keturunan ini sebagian besar dididik untuk bisa melayani suami dan mengurus keluarga, serta beribadah tanpa harus mempedulikan persoalan duniawi. 

Namun, ternyata ada beberapa perempuan Hadhrami yang tetap sukses, berpendidikan tinggi, berkarier, dan berpolitik. Mereka tetap mampu mempertahankan budaya Hadhrami, meskipun mesti menjadi perempuan yang tidak biasa di antara kelompoknya.

1. Stigma konservatif: dapur, sumur, dan kasur, tidak selalu benar

Kisah Perempuan Hadhrami Bangkit dari Gempuran Citra KonservatifIDN Times/Linda Juliawanti

Di antara perempuan sukses hadhrami, nama Tsamara Amany Alatas menjadi sosok yang dikenal publik karena berani memasuki ranah politik. Dia bahkan menempati posisi Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dalam partai politik peserta pemilu baru, Partai Solidaritas Indonesia (PSI). 

Menurut dia, satu hal yang penting bagi perempuan Hadhrami yakni tetap mengembangkan diri. Ini merupakan pembuktian yang penting.

"Konstruksi sosial yang terbangun tentang perempuan Hadhrami itu pasti konsenvatif, kuasanya terbatas pada ruang domestik; dapur, sumur, dan kasur. Konstruksi sosial semacam ini memang harus dibantah dengan pembuktian bahwa perempuan Hadrami bisa bergerak ke arah yang lebih progresif, bisa hadir dalam ruang publik," ujar Tsamara dalam diskusinya di Auditorium FIB UI, Depok, Kamis (26/4). 

Baca juga: Ini Pandangan Tsamara Amany Soal Pernikahan di Komunitas Hadhrami

2. Bagi Tsamara, bergaul dengan masyarakat non Hadhrami juga penting 

Kisah Perempuan Hadhrami Bangkit dari Gempuran Citra KonservatifIDN Times/Linda Juliawanti

Tsamara melanjutkan perempuan Hadhrami juga bisa keluar dari fanatisme buta dan tidak berkutat pada perilaku superior. Artinya, perempuan Hadhrami tidak selalu merasa berasal dari komunitas yang paling hebat. 

Hal ini yang memicu dia untuk dapat bergaul dengan kelompok masyarakat lain di luar Hadhrami.

"Jadi Ini yang mendorong saya dan saya percaya bahwa itu yang membuat saya bertahan karena saya merasa menjadi bagian Indonesia secara utuh bukan lagi satu atau dua kelompok yang lainnya," kata Tsamara. 

3. Tsamara tetap merasa beruntung dilahirkan sebagai keturunan Arab

Kisah Perempuan Hadhrami Bangkit dari Gempuran Citra Konservatifwww.instagram/@tsamaradki

Tsamara bercerita, sekalipun dia telah berani keluar dari isu konservatif yang mengelilingi perempuan Hadhrami, ia tetap tidak bisa menghindari kritik yang datang dari keluarga besar maupun Komunitas Hadhrami sendiri.

"Apalagi posisi saya perempuan Hadhrami yang maju di ruang publik, saya juga pernah berada dalam posisi yang bertentangan dengan mayoritas Kelompok Hadhrami terutama dalam posisi politik," katanya. 

Namun, di sisi lain ia tetap merasa beruntung dilahirkan sebagai perempuan Hadhrami. Menurutnya, hingga saat ini ia dan keluarga masih mempertahankan tradisi Hadhrami. 

"Mempertahankan budaya Hadhrami bukan berarti menjadi penghalang saya untuk maju. Saya bersyukur dilahirkan sebagai keturunan Arab dengan kultur yang luar biasa tradisi Hadhraminya. Tapi saya tetap bisa belajar banyak dan menerima saran dan kritik dari banyak orang sebagai keturunan Hadhrami," katanya lagi. 

Baca juga: Tiga Tokoh Hadhrami Ini Ikut Merintis Kemerdekaan Indonesia

4.  Sofia Balfas, perempuan Hadhrami yang berani jadi pemimpin di perusahaan besar 

Kisah Perempuan Hadhrami Bangkit dari Gempuran Citra KonservatifIDN Times/Linda Juliawanti

Sofia Balfas saat, Direktur Keuangan perusahaan manufaktur dan konstruksi multinasional, PT Bukaka Teknik Utama, merasakan dilema yang sama dengan Tsamara. Sebagai keturunan Yaman, dia merasakan kesulitan ketika hendak terjun di dunia bisnis. Beruntung, ia memiliki ayah yang mendukung apapun jalan hidupnya.

"Menurut saya ketika saya masuk ke dunia bisnis, buat perempuan Keturunan Arab agak sulit, tapi ayah saya walaupun Hadhrami, namun dia membiarkan anak-anaknya boleh mencari pendidikan setinggi mungkin walaupun ke luar negeri. Sejauh apa pun itu boleh," ujar Sofia di hadapan peserta Festival Hadhrami yang hadir kemarin. 

Sejak lulus perguruan tinggi di usia 25 tahun, dia juga tak segan membaca banyak buku, mendapat training dan manajemen keuangan. Menurut dia, banyak hal berharga yang dia dapat ternyata pernah diterapkan oleh sang ayah ketika mendidiknya.

"Jadi setelah belajar di ilmu bisnis ada yang namanya face to fair jadi rasa takut itu dihadapi, itu pelajaran dari Hadhrami yang mendidik kita tegas, sama dengan apa yang dididik ayah saya," ujar perempuan dari 15 bersaudara ini.

5. Hadapi kesulitan ketika menjadi seorang isteri

Kisah Perempuan Hadhrami Bangkit dari Gempuran Citra KonservatifIDN Times/Linda Juliawanti

Namun, hambatan sebagai perempuan Hadhrami yang terjun di dunia bisnis justru ia rasakan ketika hendak menikah. Dia kesulitan mencari lelaki dari kelompok Hadhrami yang sepadan dan mau menerimanya bekerja. 

"Alhamdulillah dapet memenuhi kriteria tapi dalam perjalanannya gak mudah. Suami membolehkan saya bekerja, asal tugas perempuan saya terpenuhi," katanya mengisahkan. 

Alhasil, sebagai perempuan Hadhrami, ia merasakan kesulitan dua kali lipat lebih besar dibandingkan karyawan perempuan lainnya. 

Selain harus bangun dini hari, dia juga merasa kesulitan mendapatkan izin jika harus melakukan perjalanan dinas ke luar kota dan ke luar negeri.

"Jadi itu perjuangannya luar biasa bagi perempuan Arab. Tapi itu komitmen. Tidak ada alasan kita perempuan Hadhrami untuk tidak menikmati posisi karier yang cukup tinggi karena yakinlah dengan mental kuat yang diberikan oleh keturunan Hadhrami, kita bisa fight," ujarnya mengakhiri rangkaian acara Festival Hadhrami tahun ini.

Baca juga: Teater Koma 'Bius' Penonton di Festival Hadhrami UI

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya