Soal Hak Imunitas, Ini Komentar Pakar dan KPK

Hati-hati melangkah biar tidak jatuh

Jakarta, IDN Times - Mangkirnya Ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) dalam panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP), menjadi perdebatan.

Baik hak imunitas maupun perlunya surat izin dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, ditanggapi beragam oleh sejumlah pihak.

Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis, menilai hak imunitas sebagai dalih Setnov merupakan hal yang tepat. 

"Hak imunitas tepat, DPR memang punya imunitas. Dan hal itu diterjemahkan dalam UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3. Ada dalam pasal 245 ada 3 ayat, imunitas anggota DPR ada di situ kalau mau diperiksa," ujar Margarito saat dihubungi IDN Times, Rabu (15/11).

Baca juga: Setnov Tersangka Lagi, Pimpinan DPR Bilang Gak Ngaruh

Soal Hak Imunitas, Ini Komentar Pakar dan KPK nawacita.co

Dia juga menyebut penetapan Setnov sebagai tersangka pun sebuah keputusan yang salah. "Untuk tersangka dalam pidana khusus (korupsi) hak imunitas memang tidak berlaku. Tapi saya tanya, apa dia (Setnov) sudah jadi tersangka? Kalau sudah, kapan dia diperiksa sebelumnya. Sebelumnya calon tersangka? Belum toh? Di situ salahnya KPK," ujarnya.

Untuk itu, Margarito menyarankan KPK meminta izin resmi kepada Presiden Joko Widodo. 

"Minta izin dong ke Presiden. Karena dalam UU KPK Pasal 56 ayat 1 jelas kok. Poinnya adalah orang itu harus jadi tersangka dulu, untuk diperiksa harus ada izin Presiden, kalau tidak ada maka penetepan tersangka itu tidak sah," ungkapnya.

Menurut dia, jika KPK tetap bersikukuh memanggil Setnov, maka bisa saja Ketua Umum Golkar lolos lagi di praperadilan seperti sebelumnya. 

"KPK nanti kalah lagi tuh di praperadilan. Kecuali KPK ngeyel mau tipu-tipu dan bohongin menggiring pendapat masyarat bisa saja menang. Tapi kalau bicara hukum kalah lagi," tegasnya.

Soal Hak Imunitas, Ini Komentar Pakar dan KPK IDN Times/Linda Juliawanti

Menanggapi komentar tersebut, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, bersikukuh jika tindak pidana korupsi merupakan pengecualian bagi anggota DPR RI untuk memanfaatkan hak imunitas.

"Saya tegaskan bahwa imunitas hanya diatur sebatas pada hal-hal, misalnya diatur di dalam Pasal 224 Undang-Undang MD 3, seperti pernyataan, pertanyaan atau apa yang diungkapkan dalam pelaksanaan tugas anggota DPR, termasuk tindakan-tindakan lain. Tentu saja dalam konteks dugaan tindak pidana korupsi, imunitas tidak bisa digunakan disana, karena beresiko sekali kalau dengan alasan imunitas seseorang anggota DPR kemudian tidak bisa diperiksa atau lebih sulit diperiksa dalam kasus-kasus dugaan korupsi," kata Febri dia saat dikonfirmasi, Rabu (15/11). 

Untuk alasan dibutuhkannya persetujuan tertulis dari Presiden, tambahnya, berdasarkan Undang-Undang MD 3 secara hati-hati, tidak ada ketentuan tentang itu. 

"Persetujuan tertulis dari Presiden karena kita panggil sebagai saksi. Untuk hari ini, SN diagendakan pemeriksaannya sebagai tersangka jadi ini hal yang sangat berbeda saya kira," jelasnya.

Soal Hak Imunitas, Ini Komentar Pakar dan KPK IDN Times/Margith Juita Damanik

"Karena kalau kita baca secara lebih lengkap Undang-Undang MD 3 tersebut, ada penegasan pengecualian persetujuan tertulis dari Presiden jika disangkakan melakukan tindak pidana khusus, artinya sebenarnya klausul itu tidak bisa digunakan lagi," lanjutnya.

Meski tak sepakat dengan alasan Setya Novanto, KPK sejauh ini belum merencanakan memanggil paksa Ketua DPR RI tersebut.

Febri menyebut pihaknya masih fokus pada upaya pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan pemanggilan terhadap tersangka.

"Kita lihat saja apakah hari ini dia datang atau tidak datang. Tapi saya kira ini seharusnya menjadi bentuk kepatuhan kita terhadap hukum, kalau kemudian dipanggil oleh penegak hukum sebaiknya datang," pungkasnya.

Baca juga: Setnov Andalkan Hak Imunitas, Pakar Hukum: Tidak Berlaku untuk Kasus Korupsi

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya