Ajaran dari Candi Muarajambi di Relief Borobudur

Bodhi Citta ajaran yang dipelajari di Muarajambi

Jambi, IDN Times - "Di kota Foshi yang bertembok, terdapat Biksu Buddhis berjumlah ribuan, hati mereka bertekad untuk belajar dan menjalankan tindakan bajik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua mata pelajaran persis seperti yang ada di Madhyadesa, India; tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda."

Demikian kutipan dari tulisan Yi Jing (I-Tsing) di Mulasarvastivada-Ekasatakarman 700-703 masehi, seorang Biksu Tiongkok yang mencatat kisah perjalanannya. Dalam kutipan itu, Yi Jing menggambarkan sebuah tempat belajar ribuan Biksu Buddha. Pelajarannya persis sama dengan tempat belajar yang ada di India. Dalam berbagai literatur mengatakan, bahwa Kota Foshi yang dimaksud Yi Jing adalah Swarnadwipa (pulau emas) Muarajambi, sebagai tempat belajar ribuan Biksu Buddha.

Salim Lee, pembina Kelompok Swarnadwipa Muarajambi (Sudimuja) mengungkapkan, masa keemasan Nalanda di India dan Muarajambi sebagai kampus belajar para Biksu Buddha pada awal-awal abad masehi tidak bisa dibantah. Begitu juga ajaran yang dikembangkan di Nalanda dan Muarajambi persis sama. Seperti apa yang digambarkan Yi Jing dalam kisah perjalanannya. "Muarajambi ini pernah menjadi tujuan belajar para Biksu di Dunia," kata Salim yang juga tokoh pemerhati relief Borobudur di Candi Muarajambi, akhir pekan lalu.

1. Dipamkara Srijnana Atisa belajar Bodhi Citta di Muarajambi

Ajaran dari Candi Muarajambi di Relief BorobudurSalim Lee dari kelompok Sudimuja ketika memberikan pengetahuan ajaran yang pernah ada di Candi Muarajambi kepada pemuda desa Muarajambi, Rabu (19/2)/IDN Times/Ramond EPU

Catatan perjalanan Yi Jing menjadi rujukan keberadaan kampus ajaran Buddha di Muarajambi. Pada abad ke-7 dalam perjalanan Yi Jing sudah menemukan ribuan biksu belajar di Muarajambi. Sehingga, Salim meyakini, Muarajambi sudah ada sebelum abad ke-7. “Pada abad ketujuh saja sudah ditemukan ribuan biksu. Saya meyakini bahwa Muarajambi juga sudah ada pada awal abad masehi,” terangnya.

Salah satu guru ajaran Buddha yang sangat terkenal dan pernah belajar di Muarajambi yaitu Dipamkara Srijnana Atisa. Menghabiskan waktu 11 tahun di Muarajambi, Atisa belajar kepada Dharmakirti mengenai Bodhi Citta, ajaran tekad untuk hidup lebih peduli, terampil dan tergugah supaya lebih bermanfaat buat sesama.

Bodhi Citta ajaran yang dipelajari biksu saat datang ke Muarajambi,” ungkap Salim.

Sepulangnya dari Muarajambi, Atisa menjadi sangat terkenal. Karena, dianggap lulusan Muarajambi sebagai kampus ajaran Buddha yang sangat populer pada masa itu. “Atisa datang ke Muarajambi pada abad kesepuluh masehi,” katanya.

Sampai pada masa ketika Atisa diminta menyempurnakan ajaran Buddha Dharma di Tibet. “Ajaran Atisa di Tibet masih berkembang hingga saat ini. Bahkan sekarang, puluhan universitas di dunia mengajarkan ajaran yang didapatkan Atisa dari Muarajambi,” jelasnya.

2. Borobudur dibangun untuk kalangan rakyat belajar ajaran Buddha

Ajaran dari Candi Muarajambi di Relief Borobudurborobudurpark.com

Salim berani menegaskan adanya Candi Borobudur karena adanya Candi Muarajambi sebagai kampus untuk para Biksu mempelajari ajaran Buddha. "Apa buktinya? Kalau kita lihat sutra (ajaran) yang ada di relief Borobudur, adalah sutra yang pernah dipelajari di Muarajambi. Sutra yang ada di relief Borobudur juga masih berkembang di Tibet," ungkap Salim yang juga sudah melakukan pencarian jejak ajaran Buddha di berbagai negara, diantaranya Nalanda India, Muarajambi dan Borobudur.

Jika sudah berbicara mengenai ajaran Buddha yang berkembang di Tibet, maka kata Salim, tidak bisa dibantah, ajaran tersebut berasal dari Muarajambi yang pernah dibawa Dipamkara Srijnana Atisa. "Atisa belajar kepada Dharmakirti, orang asli sini (Muarajambi). Di Tibet, Dharmakirti lebih dikenal dengan sebutan Serlingpa, yang artinya bapak dari pulau emas," jelasnya.

Dharmakirti salah satu guru yang paling dihormati dan disayangi Atisa. Bahkan, dalam kisahnya, ketika nama Dharmakirti disebut, Atisa sampai menangis. “Atisa belajar ke Muarajambi di usia 32 tahun. Saat itu masih Biksu muda,” ungkapnya.

Jauh sebelum Atisa belajar ke Muarajambi, juga ada cucu dari murid guru besar di Nalanda yang datang ke Muarajambi. “Vajrabodhi dan Amoghavajra yang ajarannya saat ini berkembang di Tiongkok juga belajar di Muarajambi,” kata Salim.

Salim mengisahkan bagaimana Borobudur dibangun untuk bisa digunakan rakyat pada masa itu. Berwal dari sutra (ajaran) pada relief Borobudur dibuat para raja pada masa itu untuk dipelajari kalangan rakyat. Berbeda dengan Candi Kalasan, Prambanan dan Candi Sewu. Tiga candi ini dibangun untuk para raja.

“Darimana ajaran-ajaran yang digambarkan di relief Borobudur itu bisa dibuat, kalau tidak ada kampus tempat belajarnya. Sehingga, Muarajambi adalah tempat sutra pada relief Borobudur berasal,” jelasnya.

3. Narasi ajaran di Candi Muarajambi perlu semakin diangkat

Ajaran dari Candi Muarajambi di Relief BorobudurPerayaan Waisak di Candi Gumpung Muarajambi tahun 2018/IDN Times/Ramond EPU

Sementara itu, Sudiarto, Ketua Kelompok Sudimuja mengatakan, mereka sudah melakukan penelitian di berbagai tempat yang masih meninggalkan jejak ajaran Buddha di dunia. Sebelum ke Muarajambi, Sudimuja terlebih dahulu ke Nalanda India untuk mengetahui bagaimana ajaran Buddha berkembang di sana, awal tahun 2000.

Sudimuja juga sudah mendatangi Tibet untuk mengetahui bagaimana ajaran Muarajambi yang dikembangkan Atisa. “Banyak sekali data yang menyebutkan Muarajambi ini adalah kampus yang sangat terkenal di masa ajaran Buddha berkembang di Indonesia dan belahan dunia lainnya,” kata Sudiarto, Kamis (20/2).

Beberapa tahun melakukan penelitian di Muarajambi, Sudimuja juga melakukan penelitian ke Borobudur. Sehingga, mereka semakin mantap mengatakan bahwa Muarajambi adalah sumber pengetahuan ajaran Buddha yang saat ini tersebar di belahan dunia.

“Seperti doa tujuh bagian yang ada di relief Borobudur, saat ini berkembang di Tibet. Tidak akan ada yang bisa membantah jika Tibetan ajaran yang dibawa Atisa dari Muarajambi,” tegasnya.

Dirinya mengakui, selama ini narasi mengenai Muarajambi sebagai pusat ajaran Bodhi Citta sudah ada, namun belum begitu mengemuka. Harapannya, narasi ini makin diperkuat para pemandu wisata yang ada di Muarajambi. Dengan demikian, ketika para tamu datang, khususnya umat Buddha dari luar negeri, bisa mengetahui bagaimana hebatnya ajaran Bodhi Citta yang pernah dipelajari di Candi Muarajambi.

4. Muarajambi warisan nenek moyang, makin dimengerti makin disayang

Ajaran dari Candi Muarajambi di Relief BorobudurGerbang Candi Kedaton Muarajambi/IDN Times/Ramond EPU

Terpisah, Abdul Haviz, Aktivis Pelestari Cagar Budaya Jambi mengaku saat ini pemuda desa Muarajambi semakin bersemangat dalam melestarikan Candi Muarajambi. Karena, baru saja mereka mendapatkan pembekalan selama satu hari setengah yang diadakan Sudimuja.

“Sebelumnya, kawan-kawan mendapatkan literasi dari berbagai seminar dan membaca buku. Sekarang mendapatkan pengetahuan baru mengenai ajaran Bodhi Citta yang pernah ada di Muarajambi,” kata Abdul yang juga Ketua DPD Himpunan Pramuwisata Indonesia Jambi, Minggu (23/2).

Abdul Haviz mengatakan, dengan pengetahuan terkait ajaran yang pernah ada di Candi Muarajambi, para pemuda Desa Muarajambi yang rata-rata pemandu wisata, akan semakin mantap dalam menarasikan Kawasan Candi Muarajambi. “Teman-teman semakin bersemangat untuk menjaga warisan nenek moyang. Karena, Muarajambi makin dimengerti makin disayang,” ungkapnya.

Saat ini mereka menjadi tahu ajaran Lojong yang berarti budi daya, dan meditasi Tonglen yang artinya memberi dan menerima. “Ajaran untuk selalu berbuat baik kepada orang lain dan tidak hanya menerima, tapi juga memberi menjadi ajaran yang pernah hidup di sini,” beber Abdul.

Dirinya berharap, dengan makin kuatnya narasi tentang Candi Muarajambi, berdampak positif kepada masyarakat dan Kawasan Candi Muarajambi itu sendiri.  

Baca Juga: Menikmati Duku Sambil Berwisata di Candi Muarajambi

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya