75 Tahun Merdeka, Sudahkah Indonesia Menjaga Nasib Para Perempuan?

Sudah aman dan ramah belum negara ini untuk para perempuan?

Jakarta, IDN Times – Tujuh puluh lima tahun kemerdekaan Indonesia diperingati pada Senin (17/8/2020). Merayakan kemerdekaan, mengenang perjuangan para pahlawan, tapi sudahkah semua insan di Tanah Air ini merdeka? Sudahkah para perempuan yang kerap dibilang sang srikandi bangsa, sosok Kartini bagi tiap anak-anak Indonesia, mendapatkan kemerdekaannya?

Nyatanya, perempuan masih kerap menjadi korban kekerasan. Rumah bahkan tak lagi menjadi tempat yang aman bagi perempuan di tengah pandemik COVID-19 yang masih mewabah di Tanah Air dan penangkalnya belum ditemukan.

Komnas Perempuan dalam catatan tahunannya merekam bahwa sepanjang tahun 2019 ada 431.471 pelaporan kasus yang masuk ke Komnas Perempuan. Angka ini jauh lebih banyak dibanding 2018 di mana Komnas Perempuan mencatat ada 406.178 laporan yang masuk.

Di tengah pandemik, kasus kekerasan perempuan tak berakhir. Alih-alih berhenti, angka kekerasan yang dialami perempuan justru terus meningkat. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi pelaporan terbanyak yang masuk.

1. Angka kekerasan seksual di Indonesia, perempuan masih terancam keselamatannya

75 Tahun Merdeka, Sudahkah Indonesia Menjaga Nasib Para Perempuan?Ilustrasi (IDN Times/Mia Amalia)

Analisis Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dalam 12 tahun terakhir, tahun 2019 menjadi catatan kasus kekerasan seksual tertinggi bagi perempuan. Tak main-main, kenaikannya mencapai delapan kali lipat. Pada 2008, sebanyak 54.425 kasus kekerasan terjadi pada perempuan. Peningkatannya kian pesat hingga mencapai 321.752 kasus pada 2015.

Pada tahun 2016, Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami penurunan hingga total 259.150 kasus. Namun angka itu kembali meningkat cukup pesat hingga 2019.

Laporan dari LBH APIK juga menunjukkan hasil yang tak jauh berbeda.

“Kekerasan seksual setahun terakhir sangat beragam motifnya. Apalagi di beberapa bulan ketika pandemi covid ini bagaimana tren kekerasan seksual dengan berbagai macam modus cyber itu sangat banyak sekali,” kata Siti ketika dihubungi IDN Times pada Selasa 11 Agustus 2020.

Angka kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat menimbulkan tanda tanya besar terkait dengan keamanan perempuan di Indonesia.

Catatan tahunan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang 2019, kasus KDRT menempati urutan tertinggi dengan angka 11.105 kasus (75 persen). Posisi kedua diisi kekerasan di ranah publik dengan angka 3.602 kasus (24 persen). Dan ketiga kekerasan di ranah negara dengan angka 12 kasus (0,1 persen).

Pada kasus KDRT, 43 persen (4.782 kasus) kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik yang kemudian diikuti kekerasan seksual sebesar 25 persen (2.807 kasus), kekerasan psikis 19 persen hingga kekerasan ekonomi 13 persen (1.459).

Di ranah publik, tercatat 58 persen kasus yang terjadi merupakan kasus kekerasan seksual.

2. Kekerasan gender berbasis online semakin tinggi di tengah pandemik

75 Tahun Merdeka, Sudahkah Indonesia Menjaga Nasib Para Perempuan?Ilustrasi kekerasan pada perempuan (IDN Times/Mardya Shakti)

Siti menyebutkan, ada lima jenis kekerasan berbasis gender yang dilaporkan ke LBH APIK hingga Selasa, 11 Agustus 2020, yang cukup besar jumlah laporannya. Kasus kekerasan berbasis gender online menjadi peringkat kedua terbesar dengan total 138 laporan.

KDRT berada di peringkat pertama dengan 144 kasus. Menempati peringkat ketiga hingga kelima berturut-turut adalah kekerasan dalam pacaran (51 laporan), pemerkosaan (22 laporan), dan pelecehan seksual (22 laporan).

"Kekerasan berbasis gender online ini nomor dua paling tinggi setelah kasus KDRT, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, itu tetap mendominasi dalam urutan pertama," kata Siti.

Data LBH APIK sepanjang tahun 2019 menunjukkan ada 794 pengaduan yang masuk ke LBH APIK. Artinya, pengaduan sepanjang PSBB 2020 ini sudah melampaui 50 persen dari total aduan sepanjang tahun 2019 lalu.

Dari total 794 pengaduan yang masuk, 249 kasus di antaranya merupakan kasus KDRT. LBH APIK juga mencatat sepanjang 2019 ada 148 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. Dari angka tersebut, 17 di antaranya merupakan kekerasan seksual berbasis gender. Angka ini naik drastis dibanding dengan laporan terbaru LBH APIK.

Menurut Siti, tidak semua korban kekerasan seksual langsung melakukan pelaporan baik ke lembaga seperti LBH APIK atau ke kepolisian. Mayoritas alasannya karena malu akan stigma yang mungkin diberikan masyarakat kepada korban.

"Karena kan perempuan itu cenderung malu akan stigma dari masyarakat ketika dia menjadi korban," kata Siti.

"Dia (korban) akan mencoba melakukan mencoba menyelesaikan dulu," tambah Siti.

Menyelesaikan di sini menurut Siti dalam artian mayoritas korban akan menuruti keinginan pelaku hingga kemudian memutuskan melaporkan ke LBH.

"Kita menyadari bahwa kadang pilihan sulit buat korban untuk bercerita kepada kami menyampaikan kasusnya karena takut akan stigma masyarakat," kata Siti.

Baca Juga: Cara Perempuan-perempuan Ini Bertahan di Tengah Wabah COVID-19

3. Bahkan rumah aman juga tak lagi aman untuk perempuan korban kekerasan

75 Tahun Merdeka, Sudahkah Indonesia Menjaga Nasib Para Perempuan?Ilustrasi pelecehan kepada anak dibawah umur (IDN Times)

Berita pedih sempat mencuat di awal Juli 2020 lalu di mana seorang anak korban perkosaan mengalami kekerasan seksual. Kekerasan ini terjadi di rumah aman, tempat seharusnya korban kekerasan dapat berlindung dengan tenang sembari menyembuhkan trauma psikis dan fisik.

Pusat Pelayanan terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung menjadi lokasi peristiwa mengerikan itu terjadi. Korban dititipkan di rumah aman sejak Maret 2020 untuk menjalani pemulihan. Namun nyatanya, korban malah mendapat intimidasi dan pemerkosaan.

“Mungkin perlu evaluasi dalam perekrutan. Harusnya negara mikirnya itukan PNS, apakah kemudian passion-nya di situ? Apakah kemudian evaluasi perekrutan yang memang itu bekerja untuk korban?” kata Siti.

“Karena dibutuhkan keahlian, niat yang serius, perspektif terhadap perempuan yang bagus,” lanjut Siti.

Menurut dia, ketika seseorang menjadi korban, kondisi orang tersebut menjadi sangat lemah dan bisa dengan mudah percaya kepada siapa saja.

“Pentingnya evaluasi ke sistem perekrutan dan penguatan kapasitas orang-orang yang bekerja untuk isu kekerasan seksual maupun kekerasan terhadap perempuan pada umumnya,” kata Siti lagi.

Menurut dia, yang harus dibangun sejak awal adalah perspektif dan keberpihakan pada korban.

4. Butuh media dan peran warganet untuk terus bantu korban suarakan agar kasusnya dibawa ke ranah hukum

75 Tahun Merdeka, Sudahkah Indonesia Menjaga Nasib Para Perempuan?pexels.com/Tracy Le Blanc

Kasus kekerasan seksual belakangan juga banyak menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Belakangan kasus kekerasan seksual menjadi viral di media sosial hingga akhirnya warganet turut mendesak agar kasus bisa dilanjutkan ke ranah hukum.

Hal ini menurut Siti sangat diperlukan di kondisi saat ini. Siti mengatakan kini masyarakat bisa menilai sendiri kinerja aparat penegak hukum Indonesia.

“Kenyataannya banyak kemudian kasus-kasus yang gak jalan hanya karena gak diliput oleh media,” kata Siti kepada IDN Times.

“Makanya kekerasan terhadap perempuan, dorongan dari masyarakat itu sangat kuat untuk bisa membantu negara ini menjadi lebih baik lagi,” kata Siti lagi.

Siti bahkan berkata, kondisi sekarang justru sangat memerlukan bantuan warga net untuk memviralkan kasus kekerasan seksual yang sudah diungkapkan korban untuk dapat dikawal hingga bisa menempuh jalur hukum.

“Netizen yang budiman itu jangan sampai lelah untuk mengawal kasus kekerasan terhadap perempuan,” kata Siti.

“Kasihan korbannya kalau hanya berjuang sendiri. Jadi dukungan masyarakat itu sangat luar biasa besar untuk membawa kasus ini ke ranah hukum atau memberikan dukungan secara psikologis kepada korban,” tambah dia menjelaskan.

Siti berharap masyarakat dapat membuang jauh-jauh pemikiran kekerasan terhadap korban adalah aib. Justru warganet diharapkan dapat membantu menguatkan korban dan menginspirasi korban perempuan lainnya agar berani bersuara.

5. RUU PKS tak lagi masuk Prolegnas, bagaimana nasib perempuan?

75 Tahun Merdeka, Sudahkah Indonesia Menjaga Nasib Para Perempuan?Massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat melakukan aksi unjuk rasa di Taman Vanda, Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/7/2020). Mereka menyuarakan sejumlah aspirasi diantaranya agar pemerintah agar membuka pembahasan RUU PKS, menarik Omnibus Law dan memberikan pendidikan gratis selama pandemi COVID-19. (ANTARA FOTO/Novrian Arbi)

Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly memutuskan dalam  rapat evaluasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 untuk mencabut 16 RUU dari Prolegnas 2020. Salah satu di antaranya RUU Penghapusan kekerasan Seksual (PKS).

“Bapak pimpinan Baleg mohon catatan kami ini dijadikan catatan kesimpulan, sehingga nanti kita proses ke tingkat lebih lanjut bahwa PKS minta RUU HIP ini di-drop dalam Prolegnas Proritas 2020,” kata Anggota Baleg Fraksi PKS Mulyanto dalam rapat yang disiarkan secara virtual di TVR Parlemen, Kamis, 2 Juli 2020 lalu.

Hal ini ditanggapi serius oleh LBH APIK. Keputusan ini menurut Siti merugikan korban-korban kekerasan seksual. Termasuk perempuan. Menurut dia, banyak kasus kekerasan seksual saat ini tidak bisa diproses karena tidak diakomodir oleh undang-undang.

“Jadi kekerasan seksual itu semakin beragam di zaman sekarang, sementara KUHP kita atau undang-undang yang ada di negara kita cuman mengakomodir pelecehan seksual, pencabulan sama perkosaan,” kata Siti.

Kepada perempuan korban kekerasan seksual, Siti berharap agar korban tak memendam permasalahannya sendiri.

“Karena kita butuh pemulihan,” kata Siti.

“Jangan sampai kita juga terjebak dalam rantai kekerasan yang diciptakan oleh pelaku karena ketidakberanian itu, kemudian kita menjadi takut atau terjebak dalam permainan si pelaku,” kata Siti lagi.

 

Baca Juga: Prolegnas 2020: RUU PKS Dicabut, RUU HIP Melenggang

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya