Asmania, Perempuan Pejuang Nelayan di Pulau Pari

Asmania bersama warga Pulau Pari harus melawan korporasi

Jakarta, IDN Times - Aas memperkenalkan diri dengan singkat. "Saya perempuan nelayan. Suami saya nelayan, orangtua saya nelayan," ujar perempuan dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu itu, dengan nada lembut saat berbagi cerita di kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Jakarta Pusat, Kamis (28/11).

"Tempat kami sedang tidak baik-baik saja," ucap perempuan bernama lengkap Asmania itu, melanjutkan dengan suara bergetar. Air matanya tiba-tiba menetes hingga pipinya basah.

1. Asmania adalah nelayan yang membantu Pulau Pari mendapatkan banyak wisatawan

Asmania, Perempuan Pejuang Nelayan di Pulau PariKantor Komnas Perempuan di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat. (Google Street View)

Sebagai warga yang lahir dan besar di Pulau Pari, Aas bersama warga Pulau Pari lainnya berusaha mengembangkan pariwisata di pulau yang ia tinggali.

"Itu semua swadaya dari masyarakat," kata Aas, kepada IDN Times.

Aas bersama warga Pulau Pari lainnya bergotong-royong mulai dari menebangi pohon hingga menyediakan tempat wisatawan untuk mengembangkan pariwisata di salah satu pulau Kepulauan Seribu itu.

Tak hanya mengembangkan pariwisata, lapangan pekerjaan juga masyarakat berupaya sendiri tanpa mengandalkan bantuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

"Dinas Pariwisata baru tahun lalu masuk ke Pulau Pari. Ketika sudah ramai pengunjung," kata perempuan 36 tahun itu.

Bahkan, anak-anak muda di Pulau Pari bisa bekerja menjadi pemandu wisata dan kaum perempuan membuka usaha katering untuk wisatawan yang datang.

2. Aas menangis menceritakan permasalahan di Pulau Pari

Asmania, Perempuan Pejuang Nelayan di Pulau PariKonferensi pers di Komnas Perempuan, Jakarta, Kamis 28 November 2019. (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Aas bercerita tentang berbagai permasalahan di Pulau Pari. Awalnya, dia menuturkan tentang usaha nelayan, sebagai pembudidaya rumput laut yang hancur akibat reklamasi Pulau H.

Perusahaan yang menjadi investor di pulau tersebut mengklaim 90 persen bagian dari Pulau Pari adalah milik mereka. Menurut Aas, hanya 10 persen yang tidak termasuk di dalamnya, yakni gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tempat di mana para peneliti melakukan penelitian.

Perjuangan Aas dan warga Pulau Pari berjalan panjang. Alih-alih berdiskusi atau menuruti harapan masyarakat setempat, investor justru kini memasang talang yang bertuliskan di sana akan dibangun sebuah resort.

Keberadaan resort ini menurut Aas akan mematikan sumber mata pencaharian nelayan di Pulau Pari. Berulang kali masyarakat di sana melakukan demonstrasi untuk mempertahankan tanah kelahiran mereka.

Bahkan, perempuan-perempuan di Pulau Pari sempat mengalami bentrokan dengan polisi hingga terinjak-injak. Kenangan pahit ini menjadi trauma sendiri bagi perempuan di pulau ini, termasuk Aas.

Lebih ironis lagi, Aas mengetahui pemerintah daerah tempatnya tinggalnya mulai dari RT, RW, hingga camat bersekongkol dan membiarkan investor menguasai Pulau Pari.

"Tidak ada yang pro dengan kami. Kami sebagai warga Pulau Pari ingin legalitas tempat tinggal hidup kami. Kami tidak butuh investor. Kami hanya butuh laut. Kami hanya butuh tempat tinggal untuk beranak-pinak," ucap perempuan berhijab itu, terisak.

Aas menjadi salah satu perempuan yang aktif membantu perjuangan masyarakat Pulau Pari. "Kenapa saya mempertahankan tanah kelahiran saya? Karena anak saya lahir di sana, suami saya lahir di sana, mungkin kami bakal mati di sana," kata dia.

3. Sertifikat perusahaan yang datang sebagai investor di Pulau Pari, ternyata sudah dinyatakan mal administrasi

Asmania, Perempuan Pejuang Nelayan di Pulau PariAas, perempuan nelayan pejuang warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Aas dan warga Pulau Pari bukan tak mau menerima bantuan dari pemerintah. Namun, mereka khawatir tanah kelahiran mereka dikuasai pemodal.

"Kalau bantuan pemerintah kami akan terima. Ini ujung-ujungnya perusahaan yang bangun di sana. Mata pencarian kami akan mati di sana," kata dia, lirih.

Ibu tiga anak itu menuturkan, seharusnya pemerintah merasa bangga dengan warga Pulau Pari, karena mereka dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, tanpa menyusahkan pemerintah.

Aas bersama warga Pulau Pari juga sudah bertemu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Hasilnya, sertifikat perusahaan yang datang sebagai investor di Pulau Pari ternyata sudah dinyatakan mal administrasi.

"Tapi kenapa perusahaan mengklaim semua? Kami menuntut sertifikat perusahaan itu dicabut. Kami sekarang masih berjuang. Mohon doanya," kata dia.

4. Warga Pulau Pari punya harapan untuk Gubernur Anies Baswedan

Asmania, Perempuan Pejuang Nelayan di Pulau PariGubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. (IDN Times/Gregorius Aryodamar P)

Aas menyebut mayoritas masyarakat di Pulau Pari merupakan pendukung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sejak masa pilkada. Namun yang sekarang dirasakan masyarakat justru kekecewaan, lantaran Anies dianggap abai terhadap masalah yang terjadi di Pulau Pari.

Aas dan warga Pulau Pari berpesan kepada Aies bahwa mereka ingin legalitas tempat tinggal mereka dan tidak butuh investor. "Kami hanya butuh laut. Kami hanya butuh tempat tinggal untuk beranak-pinak."

Aas bersama warga Pulau Pari juga berharap Anies meninjau langsung kondisi masyarakat di sana. "Harus nya Pak Gubernur bangga dengan warga Pulau Pari yang tidak meminta bantuan apa-apa."

"Kami bisa mengelola pulau kami sendiri, merawat pulau kami sendiri," kata Aas, menambahkan.

Baca Juga: Habibie Sempat Minta Anies Hati-hati dengan Reklamasi Pantai Jakarta

Topik:

  • Rochmanudin
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya